Menuju konten utama

Regulasi Bertubrukan, Menjamurlah Vila dan Resort di Hulu Ciliwung

Dalam 15 tahun ke depan, bila deforestasi jalan terus seperti sekarang, hutan di Bogor akan lenyap.

Regulasi Bertubrukan, Menjamurlah Vila dan Resort di Hulu Ciliwung
Vila-vila berdiri di tebing-tebing curam di Kawasan Puncak, kawasan hutan lindung yang jadi benteng terakhir Jakarta dari banjir. tirto.id/bhaga

tirto.id - Sutisna benar-benar gregetan atas kerusakan hutan di daerah aliran sungai Ciliwung di Puncak, Bogor. Upayanya bersama Komunitas Pencinta Ciliwung membersihkan sampah setiap Minggu dan mengedukasi warga seakan sia-sia. Hutan masih terus hilang, hulu Ciliwung terus dirusak, dan aliran sungai masih juga dikotori sampah.

Hatinya makin mencelos setelah mendengar kabar sembilan bangunan resort dibangun di pinggir Taman Wisata Alam Telaga pada 2016. Ia mendatangi Telaga Warna untuk memastikan kabar tersebut. Ternyata benar, tepat di pinggir Telaga, berdiri sembilan bangunan dan sebuah restoran.

“Gimana mungkin bangun resort seperti itu tidak merusak hutan? Itu pas banget di pinggir Telaga lagi, sudah pasti merusak vegetasi!” kata Sutisna, geram.

Sutisna membuat sebuah petisi daring untuk menolak pembangunan resort tersebut, ditujukan kepada Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ia juga membuat pengaduan ke Kementerian.

Ia menulis DAS Ciliwung adalah "pertahanan terakhir Jakarta dari banjir." Bila praktik penggundulan kawasan lindung di Puncak terus dibiarkan, dalam 15 tahun, tulisnya, "kita akan kehilangan hutan di Bogor."

Ia menuntut keseriusan pemerintah mengembalikan kawasan lindung Puncak. Seruannya mengajak semua orang yang peduli isu lingkungan, termasuk dan terutama warga Jakarta, untuk paraf petisi tersebut.

Sesudah kekhawatiran Sutisna terbukti pada Senin, 5 Februari lalu, saat terjadi longsor di Puncak dan banjir di Jakarta, petisinya secara kilat mendapat lebih dari 9.500 dukungan suara, dari target 10 ribu orang.

Di kantor Siti Nurbaya, baik petisi maupun pengaduannya tak digubris. Belakangan, setelah peristiwa longsor, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan baru buka suara.

Yuliarto Joko Putranto, Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengelolaan DAS dari Kementerian, mengatakan kepada Tirto "akan mengevaluasi pembangunan vila dan warung-warung di kawasan Puncak."

"Seharusnya ada pembatasan aktivitas manusia di sana. Kalau sekarang vila-vila itu ada, karena tata ruang bisa diubah oleh pemerintah daerah dalam lima tahun sekali," katanya pada 8 Februari lalu.

Sayangnya, evaluasi yang akan dilakukan Kementerian tak bisa serta merta digunakan untuk membongkar vila. Evaluasi ini hanya bersifat rekomendasi.

Aturan Tidak Sinkron

Pokok yang jadi kecemasan Sutisna salah satunya berhulu dari regulasi pemerintah yang tumpang-tindih. Jika menilik aturan, DAS Ciliwung adalah salah satu dari lima DAS prioritas, sebagaimana ditetapkan dalam Perpres No. 2/2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Lampiran Perpres ini menjamin DAS Ciliwung dalam prioritas pemulihan kesehatan dan perlindungan mata air.

Perpres itu menguatkan Perpres No. 54/2008 tentang Penataan Ruang di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur. Perpres ini menetapkan kawasan Puncak sebagai kawasan lindung.

Namun, SK Menteri Kehutanan No. 195/2003 yang menunjuk kawasan Puncak sebagai hutan produksi, cagar alam, dan taman nasional masih berlaku.

Berdasarkan analisis Forest Watch Indonesia, organisasi lingkungan berbasis di Bogor, dampak dari tumpang-tindih regulasi ini ada 3,54 ha kawasan hutan cagar alam dan dan 76,76 ha taman nasional yang tidak sinkron karena menjadi kawasan budi daya. Padahal kedua kawasan ini adalah wilayah konservasi yang memiliki fungsi lindung.

Selain itu, ada 1.712,59 hektare hutan produksi di kawasan hutan lindung gara-gara SK Menteri Kehutanan tersebut.

Perubahan kawasan dari dua regulasi yang saling bertabrakan inilah yang memungkinkan sembilan resort dibangun di Telaga Warna, yang diprotes Sutisna.

Infografik HL Indepth Puncak

Sengkarut tidak berhenti di situ. Kedua aturan ini makin ompong mengingat kawasan Puncak justru jadi tambang pariwisata bagi Pemkab Bogor. Pada 2017, Pemkab Bogor menargetkan 6 juta kunjungan wisatawan ke Puncak. Target ini bisa ditembus dengan capaian 7,3 juta kunjungan.

Itu makin menguatkan hasrat orang-orang berduit untuk membuat hotel, vila, resort, dan sebagainya. Sebagai gambaran, dari situs pemesanan Traveloka, paling tidak ada 347 hotel tersedia di Puncak. Pada 2013 saja paling tidak ada 239 vila ilegal yang dibongkar oleh Pemkab Bogor. Sayangnya, beberapa tahun kemudian, vila yang sudah dibongkar sudah berdiri lagi.

Deforestasi Terus Meluas

Anggi Putra Prayoga dari Forest Watch Indonesia mengatakan inkonsisten regulasi untuk kawasan Puncak berdampak pada penghidupan hutan di DAS Ciliwung. Aturan yang serba abu-abu ini sangat mudah disalahgunakan, kata Anggi.

Mengutip catatan lembaga lingkungan tersebut, di Kecamatan Cisarua, lokasi DAS Ciliwung, laju penyusutan hutan alam seluas 74,41 ha selama 2014-2015. Dan tahun berikutnya seluas 14,87 ha.

Hal serupa terjadi di Kecamatan Megamendung: arus deforestasi seluas 162,90 ha pada 2014-2105 dan 2,80 ha dan setahun berikutnya.

“Kasus kehilangan hutan alam di daerah tangkapan air hulu DAS Ciliwung disebabkan oleh adanya alih fungsi hutan menjadi kebun, tegalan, permukiman dan semak belukar,” kata Anggi.

Dampak lain dari perubahan kawasan lindung terlihat pada pembukaan lahan menjadi perkebunan. Merujuk data yang sama, ada 879,81 ha hutan lindung yang akhirnya dipakai untuk lahan perkebunan atau budi daya. Sementara 337,61 ha hutan konservasi, termasuk taman nasional dan cagar alam, juga menjadi perkebunan. Total alih fungi lahan ini seluas 1.217,42 ha.

“Kita lihat di lapangan sudah jelaslah," kata Anggi. "Ada kebun teh yang luas, kebun teh Ciliwung, dan SSBP (PT Sumber Sari Bumi Pakuan)."

Baca juga artikel terkait BANJIR JAKARTA 2018 atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Hukum
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam