Menuju konten utama

Refleksi Peter Carey (2): Bagaimana Saya Digembleng di Oxford?

Bidang kewilayahan yang ditekuni Peter Carey memang marginal di Oxford, tapi di kampus itulah ia digembleng sebagai sejarawan dan akademisi.

Refleksi Peter Carey (2): Bagaimana Saya Digembleng di Oxford?
Peter Carey. tirto.id/Sabit

tirto.id - Dosen utama dan pembimbing saya di Universitas Oxford adalah Richard Cobb (1917-1996), seorang sejarawan ahli Perancis terkemuka. Ia selalu berbicara tentang pentingnya sejarawan membangun "identitas kedua" di negara, masyarakat, dan era yang menjadi spesialisasinya. Sebuah kebetulan yang sangat menyenangkan ketika artikel ini ditayangkan pada 14 Juli 2020, bertepatan dengan perayaan 231 tahun penyerbuan penjara Bastille yang menandai dimulainya Revolusi Perancis.

Richard Cobb, yang pernah menjadi supervisor saya, mengambil perspektif wong cilik yang dikembangkannya dalam disertasinya. Disertasi tersebut kemudian diterbitkan pertama kali dalam bahasa Perancis (1961) dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Marianne Elliot (1987) dengan judul The People’s Armies (The Armées Revolutionnaires: Instrument of the Terror in the Departments, April 1793 to Floréal Year II). Bukunya yang lain, seperti The Police and the People; French Popular Protest, 1789-1820 (1970), juga mengambil perspektif yang sama. Pandangan Cobb yang sangat individual terhadap penulisan sejarah dan kesimpulan yang idiosinkratik tentang Revolusi Perancis mirip dengan kejeniusan Ong Hok Ham (1933-2007), sejarawan Indonesia seperti yang senang mengungkapkan paradoks dalam tulisan sejarah.

Cobb dan Ong sama-sama mengagumi orang-orang kecil dan sikap mereka. Sebagai sejarawan, mereka tidak tertarik pada gerakan massa atau cakrawala besar sejarah nasional. Kendati keduanya seolah-olah menolak sejarah sosiologis, teori historiografi, dan sejarah berbasis statistik, mereka tahu cara menggunakan statistik dan teknik sosiologis dengan sangat jeli dan efektif. Di tangan mereka, kejadian geografis, asal-usul sosial, usia, pekerjaan, dan berbagai kedekatan dengan wong durjana (bandit), ronggeng/pelacur, gadis yang bekerja, orang yang bunuh diri, dan tentara pembelot menjadi hidup. Itu tampak sekali pada skripsi sarjana muda Ong tentang gerakan Samin (1905-1907)—komunitas di Blora yang membangkang terhadap pemerintah Hindia Belanda dengan menolak membayar pajak dan mengingkari kewajiban kerja rodi—yang ia selesaikan pada 1964.

Sebenarnya, sejarah akar rumput adalah basis buku-buku Cobb dan artikel Ong. Dalam kisah Revolusi Perancis dan dunia priayi Madiun abad ke-19, Cobb dan Ong berbicara untuk rakyat. Bukan untuk aktivis militan, orator yang menyatakan cita-cita, birokrat yang mengatur represi dan kemenangan, atau sukarelawan heroik yang mengabdi pada tentara Republik di perbatasan. Pahlawan, bagi Cobb dan Ong, adalah rakyat biasa yang berharap dapat makan dan minum dan bercinta—tidak ada hubungannya dengan journées (hari aksi politik), gerakan revolusioner, atau perang melawan tentara sekutu pro-monarki. Dua sejarawan nyentrik itu lebih suka pemuda yang membelot dari kewajiban militer dan yang menjadi bagian dari “gerakan populer secara default”.

Ong sendiri mempunyai pedoman yang sangat menarik bagi sejarawan Indonesia. Pedoman ini dikutip T.P. Danang dalam tesis masternya di FIB UGM bertajuk ”Dari Sudut Historiografi Indonesia: Membaca Pemikiran Onghokham” (2016: 77) dari penulis biografi Ong, David Reeve dari Universitas New South Wales: “Ambil tokoh yang sedang mengalami stres berat. Ikuti apa yang terjadi dengan dia [melalui sumber/arsip] [dan tulis kajianmu]. Itulah sejarah yang benar!” Gaya khas Ong ini bisa disimak lebih lanjut dalam Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priayi dan Petani di Keresidenan Madiun Abad XIX (2019), buku yang diangkat dari disertasinya di Universitas Yale, AS.

Sementara itu, bagi Cobb, identitas kedua dalam kehidupan intelektualnya berarti Perancis abad ke-18 dan awal abad ke-19, zaman Napoleon, dan tahun-tahun ketika kekuasaan monarki Bourbon dipulihkan kembali. Ini mencakup periode sejarah Perancis dari 1789 hingga 1830 yang menjadi bidang keahlian Cobb dan ia telah menulis dengan panjang-lebar tentang berbagai tema dalam lingkup periode itu.

Untuk saya, Indonesia telah menjadi identitas kedua terutama dunia Jawa di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 sewaktu Diponegoro hidup. Inilah yang membawa saya kembali ke Indonesia lagi dan lagi. Juga kenyataan bahwa di sini karya saya sangat dihargai dan bisa berkembang, dalam artian bahwa karya-karya ini bisa mengilhami berbagai seniman untuk berkarya.

Landung Simatupang, misalnya, membuat tuturan atau pementasan dramatik bertajuk "Aku Diponegoro" di mana ia mementaskan beberapa bagian Babad Diponegoro di empat lokasi berbeda. Keempatnya berhubungan erat dengan sang pangeran: Magelang, di mana ia ditahan dengan cara khianat pada 28 Maret 1830 (26 November 2013); Tegalrejo yang terletak di barat laut Yogyakarta, di mana sang pangeran tumbuh dewasa (1793-1803) (8 Januari 2014); Museum Fatahillah (bekas balai kota Batavia), tempat sang pangeran ditahan selama hampir satu bulan (8 April-3 Mei 1830) sembari menanti untuk melakukan perjalanan ke pengasingannya di Sulawesi (1830-1855) (6 Maret 2014); dan akhirnya ke Fort Rotterdam, Makassar (5 Juni 2014), di mana ia tinggal selama hampir dua puluh dua tahun hingga akhir hayatnya (8 Januari 1855).

Dosen Muda yang Sibuk

Di Oxford, cara kami mengajar sejarah dibagi menurut periode-periode tertentu. Pembagian utamanya adalah antara Sejarah Kuno dan Sejarah Modern. Yang pertama, Sejarah Kuno, membahas tentang Yunani Kuno dan Romawi hingga akhir kekuasaan Kaisar Konstantin (272-337 M), kaisar Romawi pertama yang memeluk agama Kristen. Kekacauan yang terjadi setelah kekuasaannya berakhir mengakibatkan jatuhnya kerajaan Romawi Barat di akhir abad ke-5 (476 M), sebuah proses yang dimulai dengan serangan kaum "Barbar" (Vandal, Goth, Hun) ke Roma.

Kolega lama saya sewaktu saya mengajar di Trinity College selama hampir 30 tahun, Bryan Ward-Perkins, adalah seorang sejarawan yang meneliti periode akhir Kekaisaran Romawi itu dan periode yang disebut sebagai ‘Zaman Kegelapan’ (Dark Ages) (400-700) yang terjadi setelahnya. Terkenal karena buku karangannya, The Fall of Rome and the End of Civilization (2005), dia membuka mata saya tentang bagaimana arkeologi bisa memperkaya sejarah. Di muka bumi ini kita tidak bisa berharap untuk memiliki kolega yang lebih baik lagi. Dia menjadi inspirasi dalam segala cara.

Namun, fokus saya bertumpu dengan kukuh pada Sejarah Modern yang, untuk tujuan pendidikan di Oxford, dianggap dimulai dengan Zaman Kegelapan di Eropa. Dari rentang waktu satu setengah milenium ini, Oxford History School kami menekankan empat periode penting:

(1) Zaman Pertengahan Awal (Early Medieval), yang mencakup Zaman Kegelapan hingga sekitar 1250, terutama membahas tentang Zaman Pertengahan Atas (High Middle Ages) sewaktu terjadinya pertumbuhan populasi Eropa dengan sangat cepat, urbanisasi, dan Renaisans.

(2) Zaman Pertengahan Akhir (Later Middle Ages), sebuah periode yang menyaksikan penurunan populasi dengan sangat cepat (40-60 persen), penyusutan ekonomi, pemberontakan sipil dan petani seiring dengan terjadinya bencana di Eurasia seperti Maut Hitam (Black Death–pes bubo) (1346-1353) dan peperangan (seperti Perang Seratus Tahun antara Inggris dan Prancis, 1337-1543; dan Peperangan Mawar ketika wangsa Lancaster dan York bertanding untuk memenangkan takhta Inggris, 1455-85).

(3) Periode Modern Awal, yang dalam konteks Inggris dimulai sejak kemenangan Henry Tudor pada Pertempuran Bosworth (Battle of Bosworth Field) (1485) dan kekuasaannya sebagai Henry VII (1485-1509). Periode ini berlangsung sampai sang raja Belanda, William dari Oranye (William III, bertakhta 1689-1702), berhasil "naik takhta di Inggris" (serangan 5 November 1688).

(4) Periode Sejarah Modern (Modern History), yang sebenarnya berfokus pada kebangkitan Inggris, kemunduran, dan kejatuhannya dari status negara adikuasa. Periode ini berakhir, ketika saya mulai mengajar di Oxford pada 1979, dengan Perang Dunia II (1939-1945).

Pembagian periode sejarah yang "sangat Inggris" inilah (Irlandia dan Skotlandia hampir tidak dilirik sedikit pun!) yang harus saya ajarkan sebagai dosen sejarah muda di Trinity College, Oxford. Saya seperti telah diceburkan di kolam yang paling dalam. Sejak awal, saya harus memberikan kuliah mengenai berbagai topik yang sangat luas. Saya harus mengajar semua topik yang terdaftar kepada para mahasiswa Oxford sepanjang karier saya dan harus membaca semuanya agar saya selalu berada satu langkah di depan para mahasiswa. Sering kali mereka sangat pandai dan karena itu menyita banyak waktu saya.

Periode ini, di mana saya bertugas di garis depan sebagai tutorial fellow selama hampir tiga puluh tahun, dimulai dari Oktober 1979, sewaktu saya diangkat sebagai Laithwaite Fellow dan Pengajar dalam bidang Sejarah Modern di Trinity, dan berakhir pada Oktober 2008, ketika saya mengundurkan diri dari fellowship saya untuk pindah dan menetap di Indonesia. Sejarah yang saya ajar mencakup bagian akhir sejarah Inggris modern awal, yaitu pemerintahan James I dan James VI di Inggris dan Skotlandia (1603-1625) hingga Revolusi Agung (Glorious Revolution) 1688 dan reformasi konstitusional yang menetapkan parlemen Inggris sebagai pemegang kekuatan politik tertinggi setelah serangan William dari Oranye.

Saya juga mengajar "abad ke-18 yang panjang" (long eighteenth century) yang mencakup periode 1688 hingga disahkannya Undang-Undang Reformasi (Great Reform Bill) 1832, yang merupakan reformasi besar-besaran pertama di Parlemen Inggris. Selain itu saya harus membaca pula tentang teori politik dan memberikan kuliah mengenai beberapa filsuf politik (Aristoteles, Hobbes, Rousseau, dan Marx), ahli teori ekonomi dan sosiolog (Adam Smith, Edmund Burke, Alexis de Tocqueville, dan Max Weber), sejarawan seperti Edward Gibbon dan Thomas Babington Macaulay (yang menurut Lord Acton "tidak hanya orang paling hebat, tetapi juga contoh orang Inggris terbaik yang hidup pada masa itu"), serta karya Mazhab Annales Perancis (Fernand Braudel, Lucien Febvre, Marc Bloch, dan Emmanuel Leroy Ladurie).

Seolah-olah itu semua tidak cukup, saya juga diharuskan mengajar sejarah Eropa dan non-Eropa tahun 1714 (Perjanjian Utrecht [Peace of Utrecht] yang mengakhiri Spanish Succession War, 1701-1714) hingga tahun 1856 (Perang Krimea [Crimean War, 1853-56]). Ditambah lagi saya mesti mempelajari literatur Perancis (Proust, Flaubert, De Maupassant), seni (Impresionisme dan pasca-impresionisme), dan politik pada awal Republik Ketiga (1871-1940).

Satu-satunya kelas yang saya ajar yang berfokus pada bidang keahlian saya adalah sebuah kelas yang sebagian besar saya kembangkan sendiri. Kelas ini adalah sebuah kelas fakultatif dalam bidang sejarah non-Eropa (yang dikenal di Oxford sebagai ‘bidang studi lanjutan’) mengenai Imperialisme dan Nasionalisme, di mana saya telah membuat kelas bertajuk 'The Making of the Modern States of Maritime Southeast Asia (Malaysia, Singapura, Filipina, dan Indonesia), 1870-1973'. Hanya segelintir mahasiswa S1 yang mengambil kelas ini setiap tahunnya. Paling banyak, saya hanya mendapat setengah lusin mahasiswa. Namun menariknya, sebagian mahasiswa ini berasal dari Asia Tenggara, termasuk Singapura, Thailand, Malaysia, dan Filipina—tidak pernah ada yang dari Indonesia.

Kebanyakan mahasiswa-mahasiswa dari Asia Tenggara ini menjadi teman baik dan saya terus berhubungan dengan mereka sampai sekarang. Beberapa orang menjadi sejarawan akademis profesional di negara-negara asal mereka. Salah satunya adalah Dr. P.J. Thum, sejarawan Singapura sekaligus bekas atlet renang nasional, yang menulis disertasi berjudul ‘Chinese-language political mobilisation in Singapore, 1953-1963’ (Maret 2011). Ia kemudian mendirikan pergerakan New Naratif untuk mendukung demokrasi, kebebasan informasi, dan kebebasan mengemukakan pendapat di Asia Tenggara.

"Orang Marginal" di Oxford

Saya meyakini bahwa mengajar berbagai topik yang sangat luas dalam sejarah Inggris dan Eropa itu "baik untuk jiwa" dan memberikan saya sudut pandang sejarah yang luas yang tidak akan saya dapatkan jika saya mengajar di jurusan sejarah Asia Tenggara yang lebih spesialis, seperti di School of Oriental & African Studies (SOAS). Namun selama hampir tiga puluh tahun saya menjadi dosen di Oxford, riset saya tentang Jawa hampir seluruhnya terbengkalai. Tidak ada institusi untuk menempatkan hal-hal yang bersangkutan tentang Indonesia atau Jawa di kurikulum Oxford.

Karena Jawa tidak menjadi koloni Kerajaan Inggris di akhir masa penjajahan Inggris (1811-1816) yang terjadi di pengujung Perang Napoleon (1799-1815), seperti yang diharapkan Thomas Stamford Raffles, tidak ada pengetahuan umum tentang Indonesia di tengah masyarakat Inggris. Satu-satunya pengecualian adalah kelompok gereja seperti CAFOD (Catholic Agency for Overseas Development) dan lembaga swadaya masyarakat seperti Tapol (1973-sekarang), yang semuanya memperhatikan penjajahan Timor Timur oleh militer Indonesia dan Gerakan 30 September yang mengerikan dan buntutnya penuh pertumpahan darah.

Spesialis saya di bidang sejarah Indonesia Modern sangat marginal di Oxford sehingga sampai sekarang saya masih ingat ketika seorang profesor di bidang sejarah Amerika Latin, Christopher Platt (1934-1989), di pertengahan 1980-an, sewaktu saya masih menjadi dosen muda di Oxford, mengundang saya untuk memberikan kuliah di Fakultas Sejarah mengenai Inggris di Indonesia. Tidak ada yang hadir dalam kuliah itu—sama sekali tidak ada seorang pun yang nongol! Mungkin mereka berpikir saya akan memberikan kuliah tentang pembantaian Amboyna pada 1623 atau sesuatu yang sama asingnya. Sebenarnya saya ingin membahas tentang Raffles di Jawa.

Selama saya tinggal di Oxford, saya hidup dalam lingkungan yang marginal berkenaan dengan bidang spesialis saya. Kesarjanaan saya memang ditoleransi, namun tidak dianggap penting. Seperti yang dikatakan almarhum Hugh Trevor-Roper (1914-2003), Regius Professor kami (1957-1980), pada tahun pertama saya sebagai dosen muda di Oxford, bahwa Jawa "tidak punya sejarah" karena "setelah melampaui Hellespont (Selat Dardanella), cuma ada para Darwis yang menari berputar-putar."

Namun di Indonesia ini, semua yang saya pelajari dan tulis sangat dihargai. Saya sering memberikan ceramah di hadapan ratusan (bahkan ribuan kala menggunakan Live Instagram) orang sekaligus yang semuanya tertarik dengan sejarah Diponegoro. Ada lebih dari 5.000 perserta saat Historia.id mengadakan webinar melalui Instagram pada 16 April 2020 untuk membahas kembalinya "keris Diponegoro". Di Inggris tidak akan ada hadirin sebanyak itu.

==========

Artikel ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris di Langgar.co. Penulisnya memercayakan penerjemahan artikel dalam bahasa Indonesia kepada Feureau Himawan Sutanto dan pembelahan menjadi 5 bagian kepada Muhammad Anta Kusuma untuk ditayangkan secara berkala di Tirto.id.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.