Menuju konten utama

Refleksi Peter Carey (1): Mengapa Saya Jatuh Cinta kepada Sejarah?

Rahasia Peter Carey di masa belia: membaca novel-novel sejarah dan mempelajari babad Inggris kuno kala SMA.

Refleksi Peter Carey (1): Mengapa Saya Jatuh Cinta kepada Sejarah?
Peter Carey. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pada 12 Juni 2020 sahabat dan kolega saya, Akhlis Syamsal Qomar dari Madiun, mengirim pesan WhatsApp kepada saya. Ia meminta saya merenungkan tentang bagaimana saya belajar keterampilan untuk menjadi seorang sejarawan dan siapa saja yang paling berpengaruh dalam perkembangan intelektual saya selama mengabdi kepada Clio. Sebenarnya ini adalah permintaan yang sulit dipenuhi dan saya cuma bisa memberikan pengantar yang sederhana.

Pertama-tama izinkan saya untuk memulai dengan memberikan sedikit latar belakang. Ketertarikan saya terhadap sejarah dan hal-hal bersejarah dimulai jauh sejak saya masih kecil, tidak lama setelah saya membaca novel sejarah sewaktu saya masih duduk di bangku sekolah dasar di Temple Grove, dekat Uckfield, East Sussex (1955-1961).

Sejak dulu saya selalu tertarik dengan sejarah. Saya punya daya khayal yang tinggi dan melahap novel-novel tentang Perang Salib yang ditulis Marguerite Yourcenar (1903-1987), perempuan pertama yang diangkat sebagai salah satu “dewi” kesusastraan Perancis di Académie française. Saya juga memiliki imajinasi bergambar yang kuat—seakan-akan bisa melihat segala yang saya bayangkan dalam bentuk tiga dimensi, seperti sebuah film sedang diputar di depan mata saya.

Saya percaya masa lalu tidak pernah mati. Ia masih ada, namun tenggelam dalam kehidupan kita. À la Recherche du Temps Perdu (1913) karya Marcel Proust (1871-1922) menjadi batu ujian bagi saya karena kemampuannya untuk membangkitkan kembali berbagai dunia secara lengkap melalui suara, bau, dan rasa. Dalam novel yang diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul Remembrance of Things Past itu, Proust menulis bahwa semua orang yang hidup memiliki appel atau ‘panggilan’—panggilan saya tentu saja adalah sejarah.

Saya bisa saja menjadi pembuat film atau penulis novel, tapi saya lebih menyukai memoir mengenai kehidupan nyata dan bukannya novel-novel karena bagi saya kehidupan itu lebih aneh daripada cerita rekaan. Saya juga dengan teguh memegang kata-kata William Faulkner (1897-1962) yang terkenal: “masa lalu tidak mati—bahkan masa lalu belum berlalu!” (‘the past isn’t dead—it isn’t even past!’)

Latihan Pertama sebagai Sejarawan: Winchester College

“Pembaptisan api” saya menjadi seorang sejarawan pemula sebenarnya terjadi kala saya berumur 15-16 ketika masih duduk di bangku SMA. Saya belajar di sekolah swasta yang disebut ‘public school (sekolah umum) di Inggris, yaitu Winchester College. Di sekolah itu saya diajar seorang guru sejarah yang sangat luar biasa. Namanya Mark Stephenson.

Saya mempersembahkan buku yang saya tulis pada 1992, The British in Java, 1811-1816; A Javanese Account, bagi Mark. Pada halaman persembahan buku itu tertulis: “For Mark Stephenson, my history master at Winchester, who first inspired me with an interest in chronicles” (Untuk Mark Stephenson, guru sejarah saya di Winchester, orang pertama yang memberikan inspirasi kepada saya sehingga tertarik membaca babad).

Dia berhasil melakukannya dengan mengajari kami menulis makalah-makalah mengenai ‘Zaman Edan’ (‘Time of Troubles’) atau perang sipil (1139-1154) pada masa kekuasaan raja Inggris, Stephen (bertakhta 1135-1154)—perang yang dikenal di babad sebagai ‘Anarki’. Saya menulis makalah dengan bersumber pada babad-babad berbahasa Latin dari masa itu, yakni (1) Gesta Regis Stephani, sebuah babad yang ditulis pada pertengahan abad ke-12 oleh seorang penulis tanpa nama (tentunya seorang rohaniawan, kemungkinan Uskup Robert dari Bath, bertugas 1136-1166), yang sangat pro-Stephen; dan (2) Historia Novella oleh William dari Malmesbury (1095-1143), sejarawan Inggris paling hebat pada pertengahan abad ke-12, yang sangat kritis terhadap sang raja dan mendukung lawan utamanya.

Tentunya kami tidak diharuskan membaca babad-babad ini dalam bahasa Latin (yang tidak mungkin saya lakukan karena buruknya pengetahuan bahasa Latin saya), namun kami diminta untuk membaca terjemahan Inggrisnya secara saksama dan menarik kesimpulan kami sendiri dengan merujuk pada naskah-naskah aslinya. Kami tidak diperbolehkan menyelinap kabur dan memeriksa karya sekunder yang penting seperti karya Dom David Knowles (1896-1974), Regius Professor of History di Cambridge (1954-1963), The Monastic Order in England, 943-1216 (1949), yang baru saja diterbitkan kembali (1963) ketika saya belajar di Winchester. Jika kami melakukan itu, makalah-makalah kami akan dirobek-robek dan dibuang ke tempat sampah.

Sebenarnya sesi pembelajaran bersama Mark rasanya sangat menegangkan. Itu karena kami pikir tampangnya mirip dengan Heathcliff, karakter dalam novel Emily Brontë (1818-1848), Wuthering Heights (1847). Novel itu diangkat ke layar lebar pada 1939 dan Heathcliff diperankan aktor Laurence Olivier dengan rambut hitam dan pandangan mata tajam.

Namun pelajaran-pelajaran yang diberikannya selalu menyegarkan. Pelajaran ini bersifat kelas pribadi. Kami satu per satu mendatangi ruang studinya di ‘College’—bagian sekolah yang paling tua (abad ke-14) di gedung yang dibuat pada abad pertengahan untuk berdiskusi tentang sejarah abad pertengahan—dan di ruangan tersebut biasanya tersedia sebuah baki yang berisi makan malamnya. Jika tugas yang diberikannya dikerjakan dengan baik dan menghasilkan makalah berdasarkan naskah Latin yang asli (yang tentu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris) dengan kesimpulan yang masuk akal, maka si murid akan diundang untuk berbagi santap malam dengannya. Bila mencoba berbuat curang dengan menggunakan karya sekunder, maka makalahnya akan dibuang ke tong sampah!

Untuk seseorang yang berumur 16, ujian ala Mark benar-benar cobaan berat. Tapi itulah yang mempersiapkan saya secara baik untuk berurusan dengan babad-babad Jawa tentang Perang Jawa dan figur Pangeran Diponegoro (1785-1855) yang sama peliknya—bagaikan Heathcliff-nya Jawa.

Mempelajari sejarah Inggris abad pertengahan dan masa ketika takhta kerajaan Inggris dipertandingkan oleh raja yang tidak becus, Stephen, dan Ratu Matilda (1102-1167), putri penguasa sebelumnya, Henry I (bertakhta 1100-1135), juga menjadi persiapan yang sangat baik untuk menafsirkan berbagai pergolakan politik berdarah dalam sejarah Jawa. Karena itu saya seperti sudah memiliki “cermin sejarah” kala mempelajari Perang Suksesi Jawa Pertama (1704-1708) di mana takhta Amangkurat III (1703-1708) yang penuh pertumpahan darah ditantang oleh pamannya, Pakubuwono I (bertakhta 1704-1719); atau pertumpahan darah di keraton Yogyakarta sewaktu Diponegoro tumbuh dewasa (1808-1812) dan keraton terbelah menjadi faksi yang memihak Kerajan (Raja Putra Narendra—di kemudian hari menjadi Hamengkubuwono III, 1812-1814) dan faksi Kasepuhan (Sultan Sepuh/HB II) pada masa kekuasaan Sultan kedua (1792-1810/1811-1812/1826-1828).

Jadi inilah yang saya dapatkan dari pendidikan saya di Winchester College. Di sisi lain, sekolah itu merupakan tempat api penyucian bagi saya karena di sini banyak terjadi kekerasan (perpeloncoan—institutionalised bullying) dan waktu itu saya adalah seorang pemuda yang pemalu dan pendiam. Namun untuk pertumbuhan saya sebagai seorang sejarawan, ini adalah masa yang penting—yang menjadi dasar untuk pelatihan dan karier saya di kemudian hari sebagai sejarawan ahli Jawa karena pengalaman ini menyadarkan saya akan pentingnya menghormati dan menggunakan sumber-sumber primer. Tidak ada pendidikan lain yang saya kecap setelah itu baik di Oxford, Leiden, Cornell, atau Yogyakarta yang sebanding dengannya.

Tumbuh di Burma Pasca-Penjajahan

Tentunya saya berpikir bahwa pengasuhan saya di Burma (Myanmar) sangat berpengaruh dalam memberikan dorongan batin untuk mengarahkan minat akademis saya ke Asia Tenggara dan Indonesia. Keluarga ibu dan ayah saya sudah lama berhubungan dengan Asia. Ibu saya, Wendy (1915-2006), lahir di Shanghai dan tumbuh dewasa di Tiongkok antara 1915 dan 1935. Sementara itu, ayah saya, Thomas Brian Carey (1910-1970), walau lahir di Liverpool, berasal dari keluarga leluhur kami yang terkenal, William Carey (1761-1834), yang pernah menjadi misionaris Gereja Baptis di Kolkata/Benggala Barat selama 40 tahun dan mengawasi penerjemahan Alkitab ke dalam 27 bahasa India yang berbeda.

Sewaktu kami akhirnya kembali ke kampung halaman pada 1955, semua kerabat dekat keluarga kami memiliki pengalaman yang sama di Asia, karena hampir semuanya adalah ‘kawan kolonial Burma’ (‘Old Burma hands’). Saya tumbuh di lingkungan kolonial akhir. Saya juga sangat beruntung ketika memenangkan beasiswa English-Speaking Union (ESU) untuk mengejar gelar S2 di Cornell University yang pada saat itu memiliki program studi Asia Tenggara yang luar biasa dengan berbagai kesempatan untuk mempelajari bahasa-bahasa Asia Tenggara, terutama bahasa Indonesia.

Di situlah, di Ithaca, Upstate New York, saya memulai studi bahasa Melayu/bahasa Indonesia dengan para penutur asli. Tahun itu juga adalah awal dari fokus khusus saya terhadap Indonesia dan saya telah menulis dengan panjang lebar tentang hal ini dalam “Menyusuri Jalan yang Jarang Dilalui, Sebuah Otobiografi Singkat” yang dimuat di buku Urip iku Urub: Untaian Persembahan 70 Tahun Profesor Peter Carey (2019: 21-26).

Manusia Tak Kasat Mata: Oxford, Remaja, dan Dewasa

Sebenarnya saya tinggal di Oxford—dari usia remaja hingga dewasa—selama 42 tahun dari 1966-2008. Pertama sebagai mahasiswa S1 yang mendapat Gelar Kehormatan (Honours Degree) dalam bidang Sejarah Modern di Trinity College (1966-1969), lalu sebagai mahasiswa S2 (1973-75) (setelah setahun di Cornell [1969-70] dan Leiden [1970-71], dan dua tahun di Indonesia, sewaktu saya tinggal di Jakarta [Pasar Rumput] dan Tejokusuman, 1971-73); lalu sebagai Research Fellow di Magdalen College (1974-79), di mana, selain menjadi asisten dosen, saya menyelesaikan disertasi dengan judul Pangeran Dipanagara and the Making of the Java War, 1825-30 (di bawah bimbingan [1974-1975] dan diuji oleh Merle Ricklefs, November 1975), dan kemudian sebagai Fellow dan Tutor di Trinity College (1979-2008). Akhirnya saya pensiun dari Oxford pada Oktober 2008 setelah mengajar di sana selama 34 tahun. Setelah itu saya menetap di Indonesia.

Keputusan tersebut membawa akibat penting dalam pertumbuhan saya sebagai sejarawan. Di Oxford, kami memiliki lebih dari 100 orang sejarawan yang terdaftar di Fakultas Sejarah—yang terdiri dari 90 staf akademis yang permanen (di mana saya adalah salah satu di antaranya) dan lima belas statutory professor dan reader (asisten profesor). Semuanya sangat mengesankan. Jelasnya kelemahan dari semua ini yaitu di sana hampir tidak ada minat terhadap sejarah Asia Tenggara (apalagi sejarah Indonesia) dan saya tidak pernah menemukan satu pun mahasiswa Indonesia yang datang untuk mengejar gelar PhD di bidang sejarah, tapi ini semua dibuat sepadan salah satunya oleh kolega-kolega saya yang luar biasa yang membuat saya terkesan dalam bidang mereka masing-masing.

Saya juga tidak bisa membayangkan bagaimana—seperti sekarang di salah satu universitas terkemuka di Indonesia—berada di sebuah fakultas yang penuh plagiator dan sejarawan proyekan! Saya tidak akan mau terus menjadi sejarawan dalam kondisi seperti itu, apalagi meniti karier akademis—saya lebih baik menjadi guru sejarah SMA saja!

==========

Artikel ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris di Langgar.co. Penulisnya memercayakan penerjemahan artikel dalam bahasa Indonesia kepada Feureau Himawan Sutanto dan pembelahan menjadi 5 bagian kepada Muhammad Anta Kusuma untuk ditayangkan secara berkala di Tirto.id.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.