Menuju konten utama

Redneck Revolt: Gerakan Kiri Kaum Kulit Putih AS Plus Senjata Api

Mereka kulit putih yang pro-hak kulit hitam, LGBT, dan kaum imigran.

Redneck Revolt: Gerakan Kiri Kaum Kulit Putih AS Plus Senjata Api
Anggota John Brown Gun Club dan Redneck Revolt memprotes di luar Phoenix Convention Center, Selasa, 22 Agustus 2017, di Phoenix. Protes diadakan terhadap Presiden Trump ketika ia menjadi tuan rumah sebuah demonstrasi di dalam pusat konvensi. (Foto AP / Matt York)

tirto.id - Jika sebutan “redneck” biasanya lekat dengan stereotip kelas sosial pekerja kulit putih yang cenderung puritan dalam urusan agama dan rasis kepada kaum kulit “berwarna”, tidak demikian dengan mereka yang tergabung dalam Redneck Revolt.

“Redneck” merupakan istilah slang untuk menggambarkan anggota kelas sosial pekerja berkulit putih di daerah pedesaan, terutama yang tinggal di negara-negara bagian selatan (Southern States) Amerika Serikat seperti Mississipi, Alabama, Virginia, Oklahoma, atau South Carolina. Istilah “Redneck” juga bermakna harfiah, menandakan leher merah para pekerja lapangan yang sering terpanggang sinar matahari.

Lantaran umumnya berasal dari pedesaan, sebutan “redneck” juga kerap dijadikan olok-olok atau guyonan bagi warga kulit putih yang berperilaku udik dan tidak berpendidikan. Selain itu, “redneck” bisa juga merujuk kepada orang-orang yang sangat konservatif secara politik, cenderung berpandangan sempit, serta intoleran terhadap pendapat yang berbeda.

Penggunaan istilah “redneck” tidak berbeda jauh dengan penyebutan atau makna dari kata “cracker” di daerah Georgia, Texas, serta Florida. Demikian pula dengan istilah “hillbilly” yang populer di daerah Appalachia dan Ozarks. Sementara dalam tataran yang ofensif, biasanya kata “redneck” kerap pula diganti dengan “white trash” yang merujuk kepada tindak-tanduk moral mereka.

Dalam monografnya yang berjudul A Short History of Redneck: The Fashioning of a Southern White Masculine Identity (1995), Patrick Huber menekankan bahwa istilah “Redneck” lahir pada awal abad ke-20, ketika kultur maskulinitas tengah mewabah di kalangan masyarakat AS: "Redneck telah distereotipkan oleh media dan dalam budaya populer sebagai istilah untuk menyebut orang kulit putih Selatan yang miskin, kotor, tidak berpendidikan, dan rasis."

Redneck Revolt tentunya juga golongan yang secara genetis termasuk ke dalam kategori “redneck”: kelas pekerja berkulit putih yang banyak bermukim di pedesaan Selatan Amerika. Hanya saja, pandangan politik mereka jauh berbeda, untuk tidak menyebut berkebalikan, dengan kaum “redneck” pada umumnya.

Pro Kulit Hitam, LGBT, Imigran, dan Mendukung Penggunaan Senjata Api

Redneck Revolt didirikan pada 2009. Gerakan ini merupakan sempalan dari organisasi John Brown Gun Club: tempat pelatihan senjata api dan proyek pertahanan masyarakat yang dibentuk di Lawrence, Kansas, pada 2004.

Penggunaan istilah “redneck” dalam Redneck Revolt sejatinya mengacu kepada makna kata tersebut ketika digunakan pada masa Coal Wars: perselisihan para buruh dan penambang batu bara di AS yang terjadi dari sekitar 1890 hingga sekitar 1930. Sedangkan simbol bandana berwarna merah terang yang menjadi identitas mereka merujuk kepada para buruh yang mogok kerja saat Battle of Blair Mountain berlangsung pada 1921.

Secara politik, Redneck Revolt banyak terpengaruh dengan John Brown, seorang abolisionis (aktivis anti-perbudakan) yang hidup di abad ke-19, serta beberapa gerakan seperti Young Patriots Organization, Deacons for Defense and Justice, dan Rainbow Coalition, sebuah aliansi yang dibentuk di Chicago pada medio 1960an antara Black Panther Party, Young Lords, dan Young Patriots. Dengan sederet hal ini, dapat dikatakan bahwa Redneck Revolt sejatinya hendak mengklaim kembali makna “redneck” ke posisi politiknya sebagai identitas kelas pekerja.

Salah satu pendiri Redneck Revolt bernama Dave Strano. Sebelumnya ia bergabung dengan Kansas Mutual Aid Network, gerakan sosial yang fokus dalam isu-isu kemiskinan, pengawasan kinerja aparat, menolak rekrutmen militer, hingga mengadvokasi hak-hak mantan tawanan perang, dan turut mendorong penggunaan senjata api bagi warga sipil. Pada 2004, gerakan ini pertama kali mengorganisir protes terhadap Konvensi Nasional Partai Republik yang digelar pada tahun yang sama.

Selepas itu, Strano aktif mengadvokasi hak-hak penggunaan senjata api bagi warga sipil melalui John Brown Gun Club. Adapun aksi besar John Brown Gun Club dimulai pada 2005. Ketika itu, mereka mengonfrontasi langsung konferensi Minuteman Project yang tengah diselenggarakan. Minuteman Project adalah ormas bersenjata yang fokus mengawasi (sekaligus memberantas) masuknya imigran ilegal di perbatasan Amerika-Meksiko.

Sebagaimana John Brown Gun Club, Redneck Revolt juga mendukung penggunaan senjata api bagi warga sipil untuk pertahanan diri. Namun demikian, posisi politik mereka cenderung sangat “kiri”: mengecam kapitalisme dan pro-pemerataan ekonomi, menolak rasisme, mendukung hak-hak LGBT juga kaum imigran, serta memprotes kekerasan polisi terhadap warga kulit hitam sebagaimana yang diperjuangkan selama ini oleh Blacks Live Matter. Sikap politik tersebut jelas tertulis dalam selebaran rekrutmen mereka.

"Siapa yang tinggal di rumah atau trailer di lingkungan yang sama dengan kita? Siapa yang bekerja bersama kami di pabrik, atau memasak bersama kami di restoran? Pasti bukan orang kaya kulit putih. Mereka adalah kaum kulit berwarna, kulit hitam, dan kelas pekerja kulit putih lainnya. Mereka adalah orang-orang yang berada dalam situasi yang sama dengan kita, hidup berdasarkan upah, berusaha menafkahi keluarga seperti kita. Jadi kenapa kita mesti membedakan-bedakan dan memusuhi mereka?”

Kendati memiliki misi politik yang cukup segaris, Redneck Revolt menolak dimasukkan ke dalam kategori yang sama dengan Antifa. Menurut George, salah seorang anggota Redneck Revolt, perbedaan utama antara organisasinya dengan Antifa terletak pada taktik perjuangan. Jika taktik Antifa bersifat anonim (dengan memakai topeng), merusak properti, dan konfrontatif, Redneck Revolt menilai tujuan mereka harus diperjuangkan dalam koridor hukum yang berlaku.

“Jika para pengusung supremasi kulit putih itu menggelar aksi unjuk rasa, datang saja ke sana dan pastikan bahwa segala tahi kucing yang mereka utarakan tidak akan pernah berhasil. Namun, kami tidak akan melakukan (yang Antifa lakukan). Kami melakukan segalanya sesuai hukum,” ujarnya tegas.

Pada November 2017 lalu, Redneck Revolt bersama beberapa anggota dari Partai Sosialisme dan Pembebasan (Party for Socialism and Liberation/PSL), menggelar seminar dan klinik sederhana yang diperuntukkan kepada para pecandu narkotika. Menariknya, konsep acara amal seperti ini sebetulnya bukan sesuatu yang mereka harapkan terjadi. Sebab, seperti dijelaskan oleh Kevin, anggota Redneck Revolt wilayah Suffolk County, salah satu daerah suburban di Long Island, New York:

"Derma adalah hal paling rendah yagn kami lakukan. Yang ingin kami lakukan adalah membantu masyarakat untuk mengorganisir diri—menata ulang kondisi hidup mereka sehingga tidak harus bergantung pada orang lain untuk hidup," ujarnya kepada Independent.

Redneck Revolt pada dasarnya memang organisasi resmi lintas nasional yang cabangnya tersebar lebih dari 30 daerah di AS. Di Suffolk County sendiri, kalangan Redneck Revolt kerap berkumpul bersama organisasi kiri lainnya seperti PSL, Democratic Socialists of America (DSA), juga Industrial Workers of the World (IWW).

Mike, anggota Redneck Revolt lainnya, pegiat lingkungan yang mendaku seorang Marxis-Leninis, mengatakan bahwa perkumpulan bersama antara organ kiri tersebut adalah sesuatu yang menyenangkan karena “dapat menyatukan kelompok-kelompok yang biasanya tidak memiliki kesamaan.” Selain itu, ia menambahkan: “Melihat kaum kiri dalam jumlah besar membawa senjata itu rasanya keren juga.”

Hak memiliki dan menggunakan senjata api memang menjadi isu prioritas di kalangan Redneck Revolt. Dalihnya pun juga tidak terlalu berbeda dengan kalangan konservatif: untuk pertahanan diri. Hanya saja, bagi Redneck Revolt, isu tersebut lebih ditekankan kepada kalangan minoritas yang keamanannya kerap terancam oleh kesewenangan-wenangan mayoritas.

"Kami bersedia mengambil risiko untuk membela orang-orang di komunitas kami yang hidup di bawah ancaman kekerasan akibat warna kulit, identitas gender, seksualitas, agama, atau negara kelahiran mereka. Itu artinya kami akan menemui langsung orang-orang di sekitar kami dan mendampingi mereka ketika diancam,” demikian pernyataan mereka di situsweb resmi Redneck Revolt.

INFOGRAFIK REDNECK REVOLT

INFOGRAFIK REDNECK REVOLT. tirto.id/Fuad

Sikap politik Redneck Revolt kian beralasan seiring dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS. Ideologi supremasi kulit putih merebak di mana-mana dan kaum ultra konservatif-kanan makin sewenang-wenang menindas kaum minoritas. Hal inilah yang membuat Redneck Revolt terus mengorganisir diri di berbagai daerah, melancarkan protes demi protes, penolakan demi penolakan.

Salah satu protes anti-Trump menarik yang pernah dilakukan Redneck Revolt terjadi di Harrisburg, Pennsylvania, Juli 2017. Protes ini sempat diliput khusus oleh Cecilia Saixue Watt dari Guardian. Aksinya sederhana saja: sebuah bilik kecil didirikan di suatu taman, dan di sana, seorang anggota Redneck Revolt akan membagikan potongan kardus kepada siapapun yang ingin menuliskan bentuk kekesalan mereka terhadap Trump dengan cuma-cuma.

Syahdan, segerombolan anak muda datang meminta selembar potongan kardus lalu menuliskan kalimat dengan huruf kapital: “TRUMP’S A BITCH.” Kalimat itu jelas amat menohok, tapi menurut Max Neely, salah seorang anggota Redneck Revolt lain yang berada di sana, apa yang mereka tulis cenderung merendahkan perempuan.

Ia pun menghampiri anak-anak muda tadi dan mengatakan: “Sepertinya kalian lebih baik mengganti kalimat itu, deh. Kalian tahu, dong, kalimat itu merendahkan perempuan, dan di sini juga banyak perempuan yang hadir.”

Anak-anak muda itu berunding dan mereka sepakat untuk mengganti kalimat yang, meski tidak terlalu ofensif, tapi cukup telak untuk dipertontonkan ke wajah Trump langsung: “FUCK TRUMP.”

Baca juga artikel terkait RASISME atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Windu Jusuf