Menuju konten utama

Reaksi Internal Muhammadiyah Atas Larangan Pekik Takbir Haedar

Kalimat takdir dinilai sudah banyak disalahgunakan untuk kepentingan politik.

Reaksi Internal Muhammadiyah Atas Larangan Pekik Takbir Haedar
Menko PMK Puan Maharani bersama Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir usai menandatangani nota kesepahaman bersama antara Kementerian PMK dengan PP Muhammadiyah di Kantor Pusat PP Muhammadiyah, Jumat (24/11/2017). ANTARA FOTO/Rosa Panggabean

tirto.id - Pernyataan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nasir tentang larangan memekikan kalimat takbir di forum internal Muhammadiyah menuai reaksi di kalangan kader. Bagi Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Dahnil Azhar Simanjuntak kalimat takbir tetap boleh diucapkan sepanjang tujuannya untuk menyemangati forum.

“Kami biasanya teriak Allahu Akbar dua kali, lalu teriak merdeka sekali. Itu penyemangat dan memang tradisi kami,” kata Dahnil kepada Tirto, Senin (26/2).

Dahnil mengatakan Pemuda Muhammadiyah akan tetap memekikkan kalimat takbir dalam forum internal seperti rapat Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (Kokam). Meski begitu, Dahnil percaya Haedar punya maksud baik.

Dahnil mengatakan kalimat takbir merupakan kalimat agung, sehingga sebaiknya tidak diucapkan sembarangan. Apalagi dimaksudkan untuk kepentingan politis dan menyerang kelompok lain. “Maksud Pak Haedar itu tentu kalimat takbir disampaikan di tempat yang tepat. Tidak digunakan untuk simbol politik,” ujar Dahnil.

“Jadi kami tidak masalah dengan larangan Pak Haidar. Yang bahaya adalah itu (takbir) digunakan di saat ceramah-ceramah politik.”

Ketua Pimpinan Pusat Aisyiyah, Siti Noordjahan Djohantini menilai memekikkan takbir di dalam forum organisasi bukanlah budaya Muhammadiyah. “Sejak kecil saya aktif di persyarikatan dan tidak ada budaya itu,” kata Noordjanah kepada Tirto.

Sebaliknya, menurut Noordjanah, budaya di dalam forum organisasi Muhammadiyah adalah beramaliah keagamaan, bertauhid dan berpikir secara serius. Bukan beragama secara simbolik belaka dengan pekik takbir. “Tapi kalau organisasi lain punya budaya memekikkan takbir ya silakan saja,” kata Noordjanah.

Noordjanah menilai kalimat takbir terlalu agung untuk dipekikkan di luar ritual keagamaan atau ibadah. Terlebih dijadikan sebagai alat menunjukkan eksistensi politik organisasi. Sehingga, menurut pandangan Noordjanah, pelarangan memekikkan takbir di forum internal Muhammadiyah oleh Haedar merupakan bentuk penghormatan terhadap kalimat itu sendiri.

“Menurut saya itu tepat. Muhammadiyah tidak beragama secara retoris, tapi praktik langsung," kata Noordjanah. “Jadi semua tentunya sepakat dengan Pak Haedar.”

Saat berpidato di Forum Diskusi Persatuan Mahasiswa Indonesia di The University of Queensland (UQISA) Haedar menyatakan larangan memekikkan kalimat takbir Allahu Akbar dalam forum internal Muhammadiyah. Dilaporkan oleh kontributor Tirto yang hadir dalam diskusi, Akhmad Supriadi, Haedar menyebut kalimat takbir telah banyak disalahgunakan untuk kepentingan politik.

Haedar sadar pernyataannya tidak populis. Namun ia terpaksa menyampaikannya demi melawan pihak-pihak yang sudah menyalahgunakan kalimat agung tersebut. Haedar ingin menunjukkan Muslim yang baik adalah Muslim yang berilmu dan berkontribusi positif bagi masyarakat, bukan mereka yang sedikit-sedikit meneriakkan Allahu Akbar untuk sesuatu yang sebenarnya sangat politis dan bukannya religius.

Allahu Akbar adalah kalimat toyyibah (baik), kalimat yang tinggi dan agung, bukan untuk dikorupsi menjadi alat politik atau alat untuk meraih kepentingan sendiri dan kelompok,” kata Haedar.

Baca juga artikel terkait PP MUHAMMADIYAH atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Muhammad Akbar Wijaya