Menuju konten utama

Razia Buku Paham Komunis: Presiden Diminta Tegur Jaksa Agung

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) meminta Presiden Joko Widodo untuk segera menegur Jaksa Agung Muhammad Prasetyo terkait  pernyataan razia buku paham komunis yang dilakuka secara besar-besaran.

Razia Buku Paham Komunis: Presiden Diminta Tegur Jaksa Agung
Komandan Kodim 0712/Tegal Letkol Inf Hari Santoso menunjukkan lima judul buku yang disita dari sebuah pusat perbelanjaan di Kodim 0712/Tegal, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. ANTARA/Oky Lukmansyah

tirto.id - Presiden Joko Widodo diminta segera menegur Jaksa Agung Muhammad Prasetyo atas usulannya melakukan razia besar-besaran dan perampasan buku berpaham komunis.

Hal ini dinyatakan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto, Senin (28/1/2019). PSHK menilai, tindakan jaksa agung tersebut telah melegalisasi tindakan main hakim sendiri dan bertentangan dengan berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk UUD RI 1945.

"Pernyataan Jaksa Agung tersebut merupakan preseden buruk dan mengancam praktik demokrasi di Indonesia. PSHK mendorong Presiden Joko Widodo untuk memberikan teguran kepada Jaksa Agung atas pernyataannya yang tidak mencerminkan perannya sebagai pimpinan tertinggi Kejaksaan Republik Indonesia sebagai institusi penegak hukum," ujar Peneliti PSHK Fajri Nursyamsi.

Fajri mengatakan, penyitaan terhadap buku secara sewenang-wenang tanpa proses hukum adalah tindakan melanggar hukum, karenanya harus dihentikan.

Selain itu, Presiden juga perlu segera membentuk Peraturan Pemerintah (PP) pelaksanaan Undang-undang (UU) Sistem Perbukuan dengan meminimalisir peran Kejaksaan dalam pelaksanaan pengawasan dan memperkuat peran organisasi profesi terkait dengan pengawasan perbukuan

"Tujuannya agar dapat terwujud ekosistem perbukuan yang kuat," ucapnya.

Aparat penegak hukum, kata dia, seharusnya hanya bertindak pasif dengan menunggu laporan dari masyarakat yang merasa dirugikan terkait substansi buku.

"Peran Kejaksaan dalam pengawasan sistem perbukuan tidak tepat. Penyitaan suatu barang adalah bentuk dari upaya paksa atau pembatasan hak asasi seseorang yang sudah dijamin pemenuhannya oleh Konstitusi," terang Fajri.

Dia mengatakan, segala penyitaan barang yang dilakukan sebaiknya memperhatikan aspek hukum acara dan prosedur yang berlaku.

"Hal itu dilakukan untuk menghindari kesewenang-wenangan dari aparat penegak hukum, termasuk Kejaksaan," katanya.

Fajri pun menyarankan untuk menghidupkan ekosistem perbukuan dengan mengaktifkan peran organisasi profesi yang berhubungan dengan penciptaan dan peredaran buku, seperti penulis dan penerbit.

"Organisasi profesi inilah yang harus mampu menciptakan mekanisme internal dalam membangun nilai-nilai, melakukan pengawasan, bahkan sampai kepada penindakan yang berdampak secara internal anggotanya," kata dia.

Mekanisme ini, ujar Fajri, akan memicu terciptanya penilaian yang lebih obyektif karena menilai profesinya sendiri dibandingkan melibatkan Kejaksaan yang sebenarnya tidak hidup dalam dunia perbukuan.

Sistem pengawasan itu, lanjutnya, seperti halnya yang dibangun dalam dunia pers di Indonesia. Sedangkan penyelesaian secara pidana, dapat berakhir pada upaya paksa atau sanksi pidana.

"Seharusnya ini [sanksi pidana] merupakan cara yang paling terakhir (ultimum remidium)," tukasnya.

Dalam Pasal 38 KUHAP menyatakan, penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat, yang maknanya berarti penyitaan oleh Kejaksaan dilakukan dalam konteks proses peradilan.

Kewenangan pengawasan terhadap barang cetakan yang dimiliki oleh Kejaksaan saat ini juga diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Dalam Pasal 69 ayat (3) yang menyebutkan bahwa Kejaksaan turut melakukan pengawasan terhadap substansi buku untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman umum.

UU Sistem Perbukuan tidak menjelaskan tindak lanjut dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh Kejaksaan.

Ketentuan mengenai pengawasan itu akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, yang mana pembahasannya harus dilakukan secara akuntabel dan transparan agar kemudian tidak bertentangan dengan Putusan MK Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010.

Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa tindakan penyitaan terhadap buku seharusnya merupakan perintah dari putusan pengadilan, bukan sekadar hasil pengawasan Kejaksaan.

Baca juga artikel terkait RAZIA BUKU atau tulisan lainnya dari Dewi Adhitya S. Koesno

tirto.id - Politik
Penulis: Dewi Adhitya S. Koesno
Editor: Maya Saputri