Menuju konten utama

Ray Rangkuti: Ada Kedangkalan dalam Pahami Agama di Kasus Meiliana

Ray Rangkuti mengkritik pemahaman agama kelompok yang selama ini mendesak agar Meiliana dipidana.

Ray Rangkuti: Ada Kedangkalan dalam Pahami Agama di Kasus Meiliana
Meiliana dalam persidangan kasus volume speaker masjid. ANTARA/Septianda Perdana.

tirto.id - Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menilai kasus Meiliana, yang menerima vonis 18 bulan penjara dari majelis hakim PN Medan karena mengeluhkan volume pengeras suara azan, menunjukkan fenomena kedangkalan dalam memahami ajaran Islam.

“Mempergunakan toa [alat pengeras suara] untuk azan tidak ada [diwajibkan] dalam fiqih. Ada kedangkalan dalam memahami inti beragama,” ujar Ray dalam sebuah diskusi di Menteng, Jakarta, pada Kamis (30/8/2018).

Ray juga menilai ada kesan politisasi agama dilakukan oleh kelompok tertentu di perkara yang membelit Meiliana. Dia berpendapat politisasi agama inilah yang membuat nilai-nilai kemanusiaan terabaikan di kasus ini. Ray khawatir politisasi agama seperti ini terus menguat dan mengarah pada pembajakan Islam demi kepentingan politik sesaat kelompok tertentu.

Ray menambahkan kesan politisasi agama itu semakin kuat ketika sebagian kelompok justru merespons keras langkah Kementerian Agama mengingatkan kembali publik mengenai ketentuan penggunaan pengeras suara di masjid.

“Menteri Agama Lukman mengungkapkan kembali fakta pada aturan tahun 1978 yang berhubungan dengan kasus Meliana, malah Menteri Agama dituduh menista agama,” kata Ray.

Aturan yang dimaksud oleh Ray ialah Instruksi Dirjen Bimbingan Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushola. Di instruksi ini, terdapat sejumlah aturan mengenai penggunaan pengeras suara di masjid.

Misalnya, pengguna pengeras suara harus terampil dan bukan hanya coba-coba atau masih dalam tahap belajar agar tidak menimbulkan suara bising atau berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid. Berdasarkan tuntunan nabi, suara azan memang harus ditinggikan karena itu sebagai penanda salat sehingga penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.

Instruksi tersebut juga menyatakan jika saat salat subuh, ashar, magrib dan isya boleh menggunakan pengeras suara. Sedangkan untuk salat dzuhur dan Jumat, semua doa, pengumuman, khotbah menggunakan pengeras suara ke dalam bukan ke luar. Begitu pun saat takbir, tarhim dan Ramadan juga menggunakan pengeras suara ke dalam.

Ray menambahkan langkah kuasa hukum Meiliana mengajukan banding atas vonisnya sudah tepat. “Kita menggunakan hak sebagai warga negara yang diperbolehkan oleh hukum untuk mencari keadilan melalui banding,” ujar dia.

Majelis hakim PN Medan menjatuhkan vonis 18 bulan penjara kepada Meiliana pada 21 Agustus lalu. Hakim menilai Meiliana melanggar Pasal 156a KUHP tentang Penodaan Agama karena warga Tanjung Balai itu sempat mengeluhkan volume pengeras suara azan dari masjid di sekitar tempat tinggalnya.

Keluhan Meiliana itu sebenarnya muncul di perbincangannya saat belanja di warung Kasini (ka Uo) dekat rumahnya di Tanjung Balai. Namun, keluhan itu lalu menyebar dari mulut ke mulut hingga memicu serangkaian intimidasi ke warga Tionghoa penganut Budha itu dan berujung pada pemidanaan dirinya.

Baca juga artikel terkait KASUS MEILIANA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Addi M Idhom