Menuju konten utama
Miroso

Rawon, Sop, Warung Lawasan: Rasa dan Kenangan yang Diwariskan

Warung-warung lawasan biasanya punya ciri khas yang sama, termasuk desain interiornya.

Rawon, Sop, Warung Lawasan: Rasa dan Kenangan yang Diwariskan
Header Miroso Rawon dari 1.000 Tahun Lalu. tirto.id/Tino

tirto.id - Ketika membahas soal warung-warung legendaris yang telah melampaui usia puluhan tahun, pikiran saya selalu terbayang menu-menu rumahan. Yang terbayang, misal, warung makan Bu Spoed di kawasan Wijilan di Yogyakarta. Atau warung sate gebug di Malang yang sudah ada sejak 1920-an. Juga rawon Bu Katun di Lumajang yang sudah nyaris berusia lima dekade.

Selain makanan, ada sesuatu yang khas dari warung-warung ini: penataan dan desain interiornya. Misal, meja dan kursi dari kayu solid yang usianya sudah setua warungnya. Deretan kalender dari toko emas dan dealer motor. Juga pigura foto kunjungan tokoh dan artis.

Temboknya seringkali sudah pudar atau telah melalui proses pengecatan ulang beberapa kali hingga terlalu mencolok bedanya. Bekas jelaga yang terus menerus digosok setiap harinya hingga halus. Daftar menu di dinding mulai kehilangan warna aslinya hingga tak lagi terbaca tulisannya.

Semua menguarkan aroma nostalgia. Waktu seperti berhenti dan membeku.

Awal-awal merantau ke Yogyakarta, orangtua saya pernah mengajak ke sebuah kedai nasi pecel di sekitar kampus Bulaksumur. Kata ibu, warung ini jadi andalan ketika ada teman yang ulang tahun atau ada yang baru lulus ujian. Salah satu menu yang kerap dipesan ibu adalah nasi sop yang ditambahkan bayam rebus dan masih ada hingga saat ini. Sejak zaman ibu berkuliah, hingga sekarang mereka masih mempertahankan menu, tata letak, dan juga pelayanannya.

"Meja saji dan jendela dapurnya masih sama seperti dulu," kenang beliau.

Karena sudah populer dan para bekas pelanggannya sudah jadi penggede, warung ini pun turut beradaptasi, termasuk menaikkan harganya. Menu sederhana favorit ibu harganya dua kali lebih mahal ketimbang menu yang sama di warung ramesan lain. Toh ibu tetap memilih makan di tempat ini.

"Makan di sini rasanya kayak kembali ke zaman kuliah dulu," kata ibu tertawa kecil.

Kalau sudah begini, harga tak lagi jadi perkara. Dan itu terjadi bagi para penyuka kuliner dengan motivasi nostalgis. Rasa dan harga itu nomor dua dan tiga, yang penting kenangannya. Holtzman (2006) dalam Food and Memory menyebut fenomena ini sebagai gustatory nostalgia: ketika sebuah hidangan mengandung ingatan dan kenangan tertentu yang tersimpan dalam diri seseorang.

Soal gustatory nostalgia ini, saya jadi ingat kenangan lama.

Infografik Miroso Selera yang Melintas Zaman

Infografik Miroso Selera yang Melintas Zaman. tirto.id/Tino

Suatu hari, seorang kawan lelaki mengajak makan rawon yang cukup populer. Saat itu tahun 2009, dan dia bilang rawon di sini juara dunia.

"Ini warung rawon yang terkenal enaknya, kujamin kamu pasti suka,” ujarnya sambil mengunyah mendol dan tak melepaskan pandangan dari saya.

Ketika mulai menyuap nasi rawon panas yang dihidangkan bersama pugasan kecambah segar dan sedikit sambal dan mendol, saya agak terdiam. Rasa rawonnya, menurut saya, tak jauh berbeda dengan buatan tante saya di Malang. Kuahnya tak sepekat dugaan saya dan empat kerat daging yang dipotong kubus itu masih sedikit alot. Padahal secara harga, rawon di sini lebih mahal dengan porsi yang lebih sedikit.

Masalahnya, selama kami makan, lelaki saya ini tak berhenti senyum, terus memandang saya lekat-lekat, dan tiba-tiba saja bercerita kalau ia sudah lama suka saya. Saat itu, rawon yang tadinya terasa biasa saja, jadi terasa lebih lezat.

Hitung maju belasan tahun kemudian, saya datang ke tempat yang sama, memesan hidangan yang sama pula. Porsinya makin mengecil. Begitu pula mendolnya. Dan seperti hukum alam di jagat ekonomi, harga makanan jarang sekali turun, malah terus naik menyesuaikan inflasi. Rasanya juga sama.

Bedanya, saya tak lagi berpacaran dengan pria itu.

Meskipun kami sudah tak lagi bersama tapi warung rawon itu menyimpan memori kami berdua. Dan setiap makan di sini, mau tak mau saya akan ingat kenangan itu. Atau, bisa juga jika ingin mengenang tentang mantan saya itu, saya akan pilih makan di sini.

Jadi, mungkin tidak tepat juga kalau kita melulu bicara soal rasa atau harga ketika membincang sebuah tempat makan. Ini juga akan sangat bergantung pada selera, dan memori seseorang.

Saya pernah diajak ke sebuah warung soto legendaris di Solo. Warung soto ini memiliki ciri seperti warung lawasan lainnya; menempelkan foto si pemilik dan mencantumkan tahun berdirinya. Tata letak warungnya pun masih terasa sisa-sisa zaman dulu dengan kotak display wadah lauk dari kayu dan meja kursi yang tua tapi kokoh. Warung ini beberapa kali dipromosikan sepupu dan keponakan saya yang tumbuh besar di Solo sebagai soto paling enak se-Solo raya.

Sama seperti ketika menyantap rawon di Malang itu, ekspektasi saya tak benar-benar terpenuhi. Soto di sini enak, gurih, tapi tak seenak warung soto langganan saya di sisi lain kota Solo. Namun setelah banyak mengobrol dengan sepupu dan keponakan, saya bisa memahami kenapa soto ini amat dipuji oleh mereka. Warung ini sudah membersamai mereka tumbuh dewasa.

Pendek kata, mereka punya kenangan kuat terhadap warung ini lebih dari saya yang cuma datang sesekali. Faktor kenangan di antara kami sudah berbeda, dan itu sah saja.

Warung klasik ini biasanya punya kesadaran untuk merawat kenangan dan warisan dari para pendahulunya. Cara meneruskan legacy-nya adalah dengan cara memakai resep warisan, juga daftar menu yang nyaris tak berubah. Begitu pula desain ruangan dan menunya. Walau ada juga beberapa tempat makan klasik yang berkembang seiring waktu, baik dari segi desain maupun cara berjualan.

Tentunya upaya-upaya merawat kenangan ini sebaiknya berlaku dua arah. Warungnya menjaga kualitas menu dan kalau bisa desain interiornya; dan si pelanggan akan datang dengan ingatan selera yang mungkin sama seperti dulu seraya mewariskan rasa itu pada anak cucu mereka. []

Baca juga artikel terkait WARUNG MAKAN atau tulisan lainnya dari Lina Maharani

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Lina Maharani
Editor: Nuran Wibisono