Menuju konten utama
Sejarah Kerajaan

Ratu Pramodhawardani: Kawin Beda Agama, Menganjurkan Toleransi

Pernikahan Pramodhawardhani dengan Rakai Pikatan menghadirkan harmonisasi Buddha-Hindu di Jawa pada pertengahan abad ke-7 M.

Ratu Pramodhawardani: Kawin Beda Agama, Menganjurkan Toleransi
Sketsa lukisan Pramodyawardani, Ratu Jawa yang meresmikan candi Borobudur. FOTO/Istimewa

tirto.id - Keputusan Maharaja Samaratungga lengser keprabon pada 833 Masehi itu memantik pergolakan di Kerajaan Medang atau yang juga dikenal sebagai Kerajaan Mataram Kuno. Samaratungga sebenarnya sudah menunjuk penggantinya, namun ada yang tidak terima dan merasa lebih berhak melanjutkan takhta kerajaan terbesar di Jawa tersebut.

Pramodhawardani lah yang ditetapkan sebagai putri mahkota Mataram. Nantinya, sang putri berhasil memenangkan persaingan berkat bantuan suaminya yang berbeda agama, Rakai Pikatan. Duet keduanya menghasilkan toleransi beragama antara Buddha dan Hindu di tanah Jawa, meski harmonisasi itu tidak berlangsung lama.

Berebut Takhta Samaratungga

Orang yang tidak terima dengan pengangkatan Pramodhawardani sebagai penerus singgasana Samaratungga adalah Balaputradewa. Ada dua teori mengenai tokoh ini. Teori pertama menyebutkan, Balaputradewa dan Pramodhawardani merupakan adik-kakak (Masatoshi Iguchi, Java Essay: The History and Culture of a Southern Country, 2017: 214).

Samaratungga menetapkan anak pertamanya, Pramodhawardani, sebagai penerusnya. Penunjukan ini ditentang Balaputradewa yang merasa lebih berhak menjadi raja karena ia seorang laki-laki meskipun bukan anak tertua sehingga terjadilah perang saudara untuk memperebutkan takhta Medang/Mataram Kuno.

Slamet Muljana dalam Sriwijaya (2006) membantah teori pertama ini (hlm. 235). Berdasarkan penelusurannya, Balaputradewa bukanlah adik Pramodhawardani, melainkan saudara Samaratungga. Dengan kata lain, Balaputradewa adalah paman Pramodhawardani yang merasa lebih pantas mengambil-alih kekuasaan karena Samaratungga tidak punya anak laki-laki.

Terlepas dari perbedaan versi atas dua teori tersebut, yang jelas terjadilah pertikaian sengit antara dua kubu itu. Dalam menghadapi Balaputradewa, Pramodhawardani dibantu suaminya yang bernama Rakai Pikatan.

Balaputradewa akhirnya kalah sehingga terpaksa menyingkir ke Sumatera. Ia kemudian mewarisi Kerajaan Sriwijaya dari kakeknya, Dharmasetu. Diyakini, Dharmasetu berputrakan Samaragrawira yang tidak lain adalah ayahanda Samaratungga dan Balaputradewa.

Bersatunya Dua Wangsa Beda Agama

Pernikahan Pramodhawardani-Rakai Pikatan cukup unik. Pasangan ini berbeda agama dan berasal dari dua dinasti besar di Jawa. Dalam Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia (1973), R. Soekmono menyebutkan, Pramodhawardhani dari wangsa Syailendra memeluk Buddha aliran Mahayana, sedangkan Rakai Pikatan adalah pangeran dari wangsa Sanjaya yang beragama Hindu aliran Syiwa (hlm. 44).

Boleh jadi, Pramodhawardani adalah ratu pertama yang tercatat dalam sejarah Indonesia melakukan perkawinan lintas agama. Baru tiga abad kemudian, Ken Arok, Raja Singhasari penganut Hindu, mengawini Ken Dedes yang beragama Buddha (Gatra, Volume 12, Masalah 29-32, 2006: ii).

Dinasti Sanjaya dan Syailendra sebenarnya saling bersaing. Wangsa Sanjaya pernah berkuasa di tanah Jawa dan harus berakhir pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran (770-792 M), yang kemudian beralih ke Wangsa Syailendra. Rakai Panangkaran adalah keturunan Ratu Shima (674-732 M), penguasa Jawa dari Kerajaan Kalingga.

Perkawinan Pramodhawardani dengan Rakai Pikatan disebut-sebut sebagai momen bersatunya dua keluarga besar yang sebelumnya berseteru (Thomas Wendoris, Mengenal Candi-candi Nusantara, 2008: 18). Penyatuan dua wangsa ini tentu saja berdampak positif terhadap toleransi beragama antara pemeluk Buddha dan Hindu di Jawa kala itu.

Agama Buddha masih lebih dominan pada dekade awal abad ke-7. Salah satu buktinya adalah Candi Borobudur. Kompleks candi besar di kawasan yang kini termasuk wilayah Kabupaten Magelang ini dibangun pada era Samaratungga. Namun, yang meresmikan Borobudur adalah putrinya, Pramodhawardani, tahun 824 M.

Setelah Pramodhawardani resmi bertakhta sejak 833 M, didampingi Rakai Pikatan, nuansa toleransi beragama semakin terasa. Pramodhawardani mengizinkan sang suami merintis dibangunnya candi-candi Hindu di wilayah kekuasaan kerajaannya.

Sebaliknya, Rakai Pikatan pun tak segan-segan membantu pendirian candi-candi umat Buddha (Sukamto, Perjumpaan Antarpemeluk Agama di Nusantara, 2015: 146). Bahkan, ia turut menyumbang pembangunan candi-candhi Buddha tersebut, termasuk di wilayah Plaosan, dekat Prambanan (kini perbatasan antara Yogyakarta dan Kabupaten Klaten).

Candi-candi di Plaosan yang diperuntukkan bagi pemeluk Buddha didirikan secara gotong-royong antara para penganut agama Buddha dengan orang-orang beragama Hindu. Situasi ini menunjukkan betapa padu dan damainya pemeluk dua agama berbeda di bawah naungan Pramodhawardani sebagai Ratu Mataram (Kuno) saat itu.

Pramodhawardani Diperdaya?

Seiring berjalannya waktu, Rakai Pikatan ternyata yang lebih berpengaruh dalam menjalankan pemerintahan dibandingkan istrinya, Pramodhawardani. Beberapa referensi bahkan menyebut bahwa sebenarnya Rakai Pikatan mengusung misi khusus dalam pernikahannya dengan Pramodhawardani.

Asmito (1992) dalam Sejarah Kebudayaan Indonesia, misalnya, menyebutkan bahwa Rakai Pikatan sejatinya ingin melenyapkan kekuasaan Sailendra. Untuk mencapai maksud tersebut, maka ia menikahi Pramodhawardani, juga akhirnya berhasil mendepak Balaputradewa (hlm. 90). Dua orang itu menjadi sasaran utama karena merupakan kandidat pewaris takhta Dinasti Syailendra.

Setelah berhasil mengusir Balaputradewa dan memikat hati Pramodhawardani sekaligus turut memimpin kerajaan milik Wangsa Syailendra, Rakai Pikatan mulai menanamkan pengaruh dan sedikit demi sedikit mengambil-alih kendali kekuasaan, meskipun itu dilakukannya dengan sabar selama bertahun-tahun.

Salah satu manuver Rakai Pikatan untuk menunjukkan bahwa pengaruhnya di Kerajaan Medang semakin kuat adalah dengan memindahkan pusat pemerintahan yang semula berada di Mataram (sekitar Yogyakarta) ke daerah Kedu (dekat Temanggung, Jawa Tengah).

Selain itu, Rakai Pikatan juga memprakarsai pembangunan Candi Prambanan yang merupakan candi Hindu termegah di Jawa. Beberapa sejarawan berpendapat bahwa tujuan dibangunnya Prambanan adalah untuk menandingi Borobudur yang merupakan simbol kebesaran agama Buddha.

Infografik maharatu pramodhawardhani

Ahli epigrafi Jawa asal Belanda Johannes Gijsbertus de Casparis, misalnya, seperti dikutip dari Memuji Prambanan: Bunga Rampai Para Cendekiawan Belanda tentang Kompleks Percandian Loro Jonggrang karya Roy Jordan (2009), melihat bahwa pembangunan Candi Prambanan merupakan bentuk perebutan kekuasaan Dinasti Syailendra dan kebangkitan kembali Dinasti Sañjaya.

Tentang hal ini, de Casparis menulis: “Konsolidasi dinasti Rakai Pikatan menandai permulaan zaman baru, yang mesti diresmikan oleh pembangunan sebuah kompleks percandian besar” (hlm. 54). Percandian atau kompleks candi besar yang dimaksud adalah Candi Prambanan.

Belum diketahui secara pasti kapan tepatnya Pramodhawardani meninggal dunia. Tapi diperkirakan pemerintahannya berakhir pada 856 M. Dan di tahun-tahun terakhirnya itu, kendali kekuasaan sudah beralih kepada Rakai Pikatan.

Setelah era Rakai Pikatan, Dinasti Sanjaya memang berkuasa lagi, namun tidak pernah benar-benar mampu menjadi kerajaan besar karena banyak terjadi pemberontakan.

Hingga akhirnya, usai era Rakai Bawa (924-929 M), keturunan Rakai Pikatan, Kerajaan Medang diperintah oleh menantunya, yakni Mpu Sindok. Ia lantas memindahkan pusat kerajaan ke Jawa bagian timur karena letusan dahsyat Gunung Merapi.

Mpu Sindok kemudian mendeklarasikan dinasti baru bernama Isyana, sekaligus menutup riwayat wangsa Sanjaya. Dari sinilah nantinya lahir kerajaan-kerajaan besar di tanah Jawa, termasuk Majapahit hingga Mataram Islam, yang pada akhirnya terbelah menjadi dua pusat kekuasaan: Surakarta dan Yogyakarta.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan