Menuju konten utama

Ratna Sarumpaet dan Mereka yang Ciptakan Tragedi untuk Raih Simpati

Ratna Sarumpaet mengaku awalnya berbohong soal penganiayaan kepada anak-anaknya.

Ratna Sarumpaet dan Mereka yang Ciptakan Tragedi untuk Raih Simpati
Ratna Sarumpaet memberikan keterangan kepada media di kediamannya di Jl. Kampung Melayu Kecil 5, Jakarta Timur, Rabu (3/10/2018). Ia mengaku berbohong terkait penganiayaan yang menimpa dirinya. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Ratna Sarumpaet pasti tahu pepatah lama "sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga". Kejadian yang menimpanya baru-baru ini boleh jadi membuat dia semakin mafhum tentang makna peribahasa tersebut. Pada Selasa (2/10/2018), anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga itu dikabarkan akun Facebook bernama Rusdianto Samawa telah dianiaya sejumlah orang di Kota Bandung.

Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon dan petinggi BPN Prabowo-Sandiaga—Rachel Maryam, Nanik S. Deyang, serta Dahnil Anzar Simanjuntak—menyatakan pada hari yang sama bahwa kabar itu benar. Mereka mendapat berita tersebut langsung dari Ratna Sarumpaet.

Pada sore hari, Prabowo Subianto, Amien Rais, dan Hanum Rais pun menemui Ratna. Dalam pertemuan itu, Ratna masih mengklaim telah terjadi penganiayaan atas dirinya di bandara Husein Sastranegara Bandung, tepatnya pada 21 September 2018.

Selama hampir 24 jam, foto wajah bengkak Ratna beredar luas di media sosial. Ibu aktris Atiqah Hasiholan itu mendapat simpati dari berbagai pihak, mulai dari politikus PKS Fahri Hamzah hingga Kadiv Hukum dan Advokasi Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean. Sepanjang itu pula, berbagai penjelasan alternatif mengenai penyebab bengkak wajah Ratna bertebaran. Mereka menilai bengkak di wajah Ratna bukan akibat dipukul melainkan luka pasca-operasi.

Penjelasan alternatif itu terdengar semakin logis setelah pihak kepolisian menyatakan nama Ratna tidak ada dalam dalam catatan 23 rumah sakit di Bandung atau laporan Polrestabes Bandung plus 28 Polsek per 21 September hingga 2 Oktober 2018.

Pada akhirnya, Ratna Sarumpaet angkat bicara. Dalam konferensi pers, Rabu (3/10/2018) sore, pegiat teater yang pernah menggubah naskah monolog "Marsinah Menggugat" itu mengaku telah membuat hoaks tentang dirinya sendiri.

Ratna mengatakan lebam di wajahnya adalah dampak dari operasi sedot lemak di pipi kirinya. Namun, dia mengatakan kepada anak-anaknya bahwa dia habis dipukuli. Ratna berdalih awalnya hanya menceritakan kepada mereka. Namun, informasi itu menyebar pula ke tim Prabowo-Sandiaga sehingga informasi yang diterima Fadli, Nanik, Dahnil, Prabowo, hingga Hanum Rais adalah wajah Ratna lebam akibat dipukuli.

"Saya minta maaf kepada semua pihak yang selama ini mungkin dengan suara keras saya kritik dan berbalik ke saya, kali ini saya pencipta hoaks," kata Ratna.

Kisah Pastor Penyebar Hoaks

Ratna menciptakan hoaks yang menggambarkan dirinya tengah tertimpa tragedi. Dia bukan figur publik pertama pencipta hoaks semacam itu.

Pada 2016, pernah terjadi kasus serupa di Amerika Serikat. Seorang pastor bernama Jordan Brown dari Austin, Texas bersengketa dengan toko Whole Foods.

Washington Post melansir, Brown secara terbuka mengaku sebagai gay dan biasa berkhotbah tentang kasih dan penerimaan. Dia memberi perhatian khusus kepada lesbian, gay, biseksual, dan transgender yang menjadi jemaat di gereja berjuluk Church of Open Doors di Austin.

Sengketanya dengan Whole Foods bermula kala Brown memesan kue di toko itu pada pertengahan April 2016. Menurutnya, kue itu semestinya bertuliskan "Love Wins", slogan pendukung legalisasi pernikahan sesama jenis. Namun, kue yang diterima Brown bertuliskan "Love Wins Fag". Fag bermakna cemoohan bagi kelompok gay.

"Ketika saya masuk ke kendaraan, saya menengok ke dalam [kotak kue] dan melihat bahwa mereka telah menulis 'Love Wins Fag' di atas [permukaan kue]," kata Brown dalam konferensi pers, Senin (18/4/2016).

Kaplan Law Firm, kantor hukum di Austin yang biasa mendampingi para LGBT, menggugat Whole Foods ke pengadilan distrik Travis County, Texas. Sedangkan Austin Business Journal melaporkan pernyataan Brown ini diamplifikasi secara luas di media sosial. Isinya berupa hujatan kepada Whole Foods.

Dua hari kemudian, seperti dilansir Biz Journals, Whole Foods menunjukkan bukti bantahan. Pada Rabu (20/4/2016), toko yang didirikan di Austin sejak 1980 itu menyatakan pegawainya tidak pernah menyertakan bahasa atau gambar yang ofensif. Whole Foods menyampaikan pegawainya hanya menyertakan tulisan "Love Wins" di kue pesanan Brown. Kamera pengawas di Whole Foods juga mengungkap bahwa label UPC—garis hitam-putih untuk kode harga barang—berada di sisi atas kotak kue, bukan di sisi samping atau dalam seperti yang ditunjukkan Brown.

Brown baru mengaku bahwa apa yang dituduhkannya kepada Whole Foods itu palsu belaka satu bulan kemudian. Pada Senin (16/5/2016), Brown mengatakan, "Perusahaan itu [Whole Foods] tidak melakukan kesalahan."

"Saya salah karena menciptakan masalah ini dan menggunakan media untuk mengawetkan kisah ini. Saya minta maaf kepada komunitas LGBT karena mengalihkan perhatian dari isu-isu nyata," ujar Brown, sebagaimana dilansir New York Times.

Hoaks ciptaan sang pastor membuat psikolog klinis Andrea Bonior bertanya-tanya. Dalam artikelnya di Psychology Today, Bonior menuliskan mengapa seorang pastor membahayakan reputasinya sendiri? Mengapa Brown mesti mempertaruhkan segalanya untuk menjelekkan perusahaan yang mungkin tidak menyakitinya?

Bonior memandang tindakan Brown seperti orang-orang yang memalsukan dirinya atau anak-anak mereka menjadi penderita sakit. Keinginan untuk mendapatkan simpati dan iba boleh jadi motivator terbesar orang-orang itu. Pangkal tindakannya bertempat di pencipta kabar palsu yang merasa telah mengalami berbagai ketidakadilan yang belum diketahui dan mereka ingin seseorang memastikan rasa sakit mereka.

"Ketika orang lain peduli dengan kesengsaraan kita, kita sering merasa lebih baik. Rasa nyaman dari orang lain dapat menjadi suatu daya tarik yang kuat dan seseorang yang merasa putus asa membutuhkan rasa nyaman itu hanya saja dengan pilihan ekstrem: mendapatkannya melalui pemalsuan keadaan bahwa ia adalah korban," ujar Bonior.

Manchausen Syndrome

Laporan mengenai orang-orang seperti disebut Bonior juga telah muncul 67 tahun lalu. Richard Asher, peneliti kesehatan mental di Inggris, pada 1951 menuliskan dalam jurnal The Lancet tentang tiga pasiennya yang selalu datang dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, menganggap diri mereka sakit.

Asher menyebut pasiennya terkena Manchausen Syndrome. Sindrom itu, oleh American Psychiatric Association’s Diagnostic dan Statistical Manual of Mental Disorders, sekarang dikategorikan dalam factitious disorder (gangguan buatan), yakni kondisi seseorang menipu orang lain dengan menunjukkan bahwa dia sakit, cacat, atau terluka dengan berpura-pura, sengaja sakit, atau melukai diri sendiri.

Sementara Live Science melaporkan, Dina Leone, perempuan asal Baltimore, AS, mengirim kabar mengejutkan pada 2008: dia mengaku mengidap kanker perut. Untuk menyampaikan perkembangan penanganan penyakitnya, Leone menyampaikan lewat tulisan di blog dan Facebook. Kisah perempuan itu pun menuai simpati. Leone dapat kiriman kartu ucapan cepat sembuh dan uang.

Namun, hasil penyelidikan kepolisian mengungkap tidak ada rumah sakit yang mencatatnya sebagai pasien. Pada akhirnya, Leone mengaku telah berpura-pura sakit selama lebih dari 3 tahun.

Infografik menciptakan hoax demi memperoleh simpati

Lain lagi dengan cerita Teresa Milbrandt yang terungkap pada 2002. Menurut Guardian, Teresa berkata kepada keluarga dan rekannya bahwa anaknya, Hannah Milbrandt, terjangkit kanker.

Tapi itu hanya kabar palsu. Justru Teresa lah yang membuat anaknya seperti orang sakit. Teresa mencukur rambut Hannah agar mirip seperti orang yang terkena efek samping kemoterapi, menyuruhnya mengenakan masker seolah-olah sistem imunnya melemah, dan menenggakkan obat tidur kepadanya. Hannah juga terus diyakinkan bahwa dia segera meninggal dunia.

Yang dilakukan Teresa itu dapat dikategorikan sebagai Manchausen by Proxy Syndrome (MbPS). Kasus itu pertama kali dideskripsikan peneliti kesehatan Jiwa Roy Meadow pada 1977. Secara gejala, MbPS mirip dengan Sindrom Manchausen. Bedanya, seseorang yang mengidap MbPS tidak mengarang cerita tentang dirinya, melainkan anak atau orang terdekatnya.

Dalam "Monsters in the Closet: Munchausen Syndrome by Proxy" (2010, PDF), Laura Criddle menyebut MbPS sebagai bentuk kekerasan terhadap anak dengan cara berbeda. Orang tua pelaku kekerasan terhadap anak biasanya takut mengobati anaknya. Pada kasus MbPS, orang tua malah tidak mau si anak menghentikan pengobatan atau membuat sakit si anak sakitnya seolah tidak sembuh-sembuh.

Semakin banyak pengguna media sosial juga membuat kasus Sindrom Munchausen semakin beragam. Pada Juni 2016, Washington Post melansir cerita Emily Dirr, mahasiswa kedokteran yang tinggal di Ohio, AS. Selama 11 tahun, Dirr membuat akun dan unggahan Facebook palsu, serta penggalangan dana virtual untuk yayasan anak penderita kanker. Kisahnya yang paling terkenal soal pasangan suami-istri John "J.S" Dirr dan Dana. Keduanya punya 10 anak, salah satunya bernama bernama Cliff Elias. Umurnya 5 tahun dan dia menderita kanker. Pada Hari Ibu 2012, mobil yang ditumpangi Dana kecelakaan. Sebelum meninggal, Dana sempat melahirkan anak ke-11, Evelyn Danika.

"Unggahan J.S. yang memilukan menggambarkan perjuangan istrinya untuk hidup dan kematiannya akhirnya menjadi viral, dan curahan simpati dan dukacita dari ribuan orang asing, termasuk banyak orang tua anak-anak dengan kanker, datang membanjir," kisah Meeri Kim di Washington Post.

Namun, John "J.S" Dirr, Dana, dan 11 anaknya itu tidak ada. Emily Dirr mengarang semua cerita itu. Kasus ini masuk dalam Munchausen Syndrome by Internet.

“Sebenarnya, Munchausen Syndrome by Internet kini menjadi lebih umum daripada sindrom Munchausen kehidupan nyata karena sangat mudah dilakukan. Dulu, pasien Sindrom Munchausen yang harus pergi ke perpustakaan medis, meneliti penyakit yang akan mereka mainkan dan pergi ke klinik dokter untuk memeriksakan kembali gejala-gejalanya,” kata Marc Feldman.

Marc Feldman merupakan psikiater klinis yang berkantor di University of Alabama. Pada 2000, dia menciptakan istilah "Munchausen by Internet". Menurut Feldman, pengidap Sindrom Munchausen dapat bergerak secara online dan menipu ratusan atau ribuan orang.

Survei terhadap 109 doktor penulis makalah di jurnal Psychosomatics pada 2007 menyebutkan komposisi pasien penderita factitious disorder alias gangguan bantuan yang mereka tangani sebanyak 1,3 persen. Namun, prevalensi Munchausen Syndrom by Internet sulit diukur karena begitu luasnya dunia maya dan penggunaan anonimitas di dalamnya.

Baca juga artikel terkait KASUS RATNA SARUMPAET atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan