Menuju konten utama

Ratifikasi Penghilangan Paksa: Ditakuti Parpol, Keluarga Terabaikan

Pemerintah lagi-lagi menggulirkan wacana untuk meratifikasi konvensi anti penghilangan paksa. Wacana itu makin kabur hingga saat ini.

Ratifikasi Penghilangan Paksa: Ditakuti Parpol, Keluarga Terabaikan
ILUSTRASI INDEPTH 02 Penghilangan Paksa. (tirto.id/Lugas)

tirto.id - Nina Nuryanah masih berada di RS Dr. Cipto Mangunkusumo saat kerusuhan di beberapa titik di Jakarta pecah pada 14 Mei 1998 pagi. Penyakit keturunan akibat kelainan darah thalasemia yang hinggap di tubuhnya sejak kecil, bikin perempuan itu harus rutin tranfusi darah satu sebulan sekali.

Ia sampai rumahnya di daerah Sunter dengan berjalan kaki, setelah terpaksa diturunkan supir bajaj yang tak bisa lewat jalan utama dekat rumahnya akibat kerusuhan. Kedua orang tua dan kakaknya masih di rumah, tapi dia tak melihat adiknya.

“Tadi Yadin ada yang nyamper. Terus dia pergi,” kata kakaknya siang itu.

Yadin Muhidin adalah adiknya yang baru tiba di Indonesia. Yadin pulang hanya untuk ikut ujian sekolah pelajaran. Nina paham, mungkin Yadin dijemput oleh teman yang sudah lama tak bertemu. Ia pikir, nanti Yadin juga pasti akan pulang.

Namun, hari sudah gelap, Nina mulai khawatir Yadin tak kunjung sampai rumah. Hari itu, Jakarta mencekam. Ribuan toko, swalayan, dan pusat perbelanjaan dibakar para perusuh. Kepada keluarga Nani, seorang tetangga yang merupakan penjaga salah satu kompleks perumahan di Sunter cerita bahwa banyak orang yang ditanggap dan dimasukkan ke dua truk.

“Apa ada Yadin ya di situ?” katanya. Kedua orang tua Yadin hanya bisa menunggu.

Keesokan harinya, 15 Mei, Nani berinisiatif untuk melapor ke Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan bertemu dengan Munir. Saat itu Munir dan sejumlah aktivis serta pengacara HAM sedang membuka Komite Independen Penuntasan Pelanggaran HAM—embrio kemunculan KontraS.

Hari itu, keadaan Jakarta makin memanas: kerusuhan di mana-mana, ratusan orang tewas terpanggang.

Setelah laporan itu, Bapak Nina ditemani dengan Munir akhirnya mencari Yadin ke kantor polisi. Ternyata, ada nama Yadin Muhidin dari sekitar 400 nama di papan keterangan warga yang ditangkap aparat. Ketika banyak nama lain tertulis dengan keterangan “penjarahan”, sedangan nama Yadin tanpa keterangan apapun.

“Ini Yadin ke mana?” tanya Munir.

“Sudah kami pulangkan” kata pihak kepolisian.

Sang Bapak pulang dengan tangan hampa. Yadin belum juga ditemukan. Nina juga dapat kabar dari seorang tetangga yang sempat ditangkap dan bertemu dengan Yadin di kantor polisi.

“Yang tetangga pulang, hanya Yadin yang enggak pulang,” kata Nina kepada saya, 7 Desember lalu. “Mungkin setelah Yadin sempat dilepas, namun di jalan “dicomot” lagi.”

‘Dia Sangat Punya Arti buat Saya’

Hari demi hari keluarga jalani tanpa kehadiran Yadin. Usaha mencari Yadin terus dilakukan. Kedua orang tua Yadin perlahan depresi dan jatuh sakit karena kehilangan satu-satunya anak lelaki mereka. Nani bercerita, satu hari pada 2003, saat tubuhnya dihinggapi penyakit gula, Bapak pernah mengigau sedang melihat Yadin di depan rumahnya. Ia berjalan ke luar rumah dan memeluk tiang listrik.

“Bapak ngapain keluar peluk-peluk tiang listrik?” kata Nani.

“Itu Yadin. Dia sudah jemput Bapak.”

Dua hari setelahnya, Bapak meninggal.

Tak hanya sampai di situ, keadaan Mama juga semakin parah. Salah seorang saudara Nina pernah memutuskan membawa Mama ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Grogol karena sudah dianggap gila. Namun, Nina membawa pulang kembali Mama ke rumah. Mama semakin sakit-sakit, bolak-balik masuk rumah sakit, dan akhirnya tutup usia pada 2018 lalu.

Di mata negara, Yadin belum hilang. Ia masih rapi tercatat oleh administrasi negara sebagai warga negara yang masih hidup. Pada Pemilihan Presiden 2019 lalu, Yadin masih mendapat undangan mencoblos. Bahkan, nama Yadin hingga saat ini masih tercatat di Kartu Keluarga (KK) bersama Mamanya.

“Pak RT masih menulis Nurhasanah dan Yadin Muhidin di KK. Kalau ada pembaruan lagi, harusnya tinggal Yadin saja. Saya dan Kakak paling tua sudah KK masing-masing keluarga,” kata Nina.

Tak hanya meninggalkan Nina, Yadin juga meninggalkan seorang putri bernama Novidaniar Dinis Puspahati Muhidin. Saat Yadin hilang, putrinya masih berumur dua tahun. Pada 2014 lalu, Dinis pernah muncul ke publik saat merespons ucapan tokoh militer Kivlan Zen yang klaim tahu di mana lokasi para aktivis 1998 diculik. Ia protes sebab Yadin hanya seorang warga biasa sehingga tak perlu diculik.

“Kenapa dia diculik? Dia bukan aktivis, hanya seorang ayah yang ingin membesarkan anaknya. Yang seharusnya saat ini ada di samping saya. Yang seharusnya bisa menandatangani rapor sekolah saya, mendampingi saya ketika saya mau masuk kuliah. Yang seharusnya saya tidak ketakutan saat saya harus mengisi formulir di belakang nama ayah saya, almarhum atau dibiarkan begitu saja. Karena saya tidak tahu ayah saya dimana. Saya hanya butuh kepastian saja.”

Saat ini, yang bisa dilakukan Nina hanya berharap sembari meneruskan perjuangan orang tuanya untuk mencari tahu di mana keberadaan Yadin. Bagi Nina, Yadin bukan sekadar adik, namun juga penyambung nyawanya. Di antara semua anggota keluarga, hanya Yadin yang memiliki kesamaan darah dengan Nina.

“Dia juga berarti buat saya karena golongan darahnya sama dengan saya. Kalau saat bulan puasa dan stok darah susah, darah dari Yadinlah donor ke saya. Terlepas dari dia Abang saya, dia sangat punya arti buat saya,” kata Nina.

“Kalau memang masih ada, tolong dipulangkan.”

Pemerintah Tak Boleh Hanya Janji

Masa sulit karena kehilangan orang terkasih seperti Nina juga dialami banyak keluarga korban penghilangan paksa lainnya. Ada banyak keluarga korban penghilangan paksa yang terjadi sepanjang republik ini berdiri menanti keadilan datang. Menurut Komnas HAM, total korban penghilangan paksa sejak kasus 1965 lebih dari 30.000 orang.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) punya data yang lebih spesifik soal jumlah korban penghilangan paksa. Ada 1.049 korban penghilangan paksa dengan identitas yang jelas, waktu penghilangan, hingga konteks kasus yang melatarbelakanginya. Yadin termasuk di antaranya.

Pemerintah lagi-lagi menggulirkan wacana untuk meratifikasi konvensi anti penghilangan paksa. Kendati ikut tanda tangan konvensi itu pada 2010 silam, namun tak juga ratifikasi hingga saat ini. Upaya ratifikasi pada 2013 gagal karena ditunda oleh DPR RI dan nasibnya tak jelas hingga saat ini.

Kali ini, Pemerintah ingin ratifikasi itu rampung sebelum 10 Desember 2021—bertepatan dengan Hari HAM Internasional—dan belum juga terjadi.

Direktur Instrumen HAM Kementerian Hukum dan HAM, Timbul Sinaga, mengaku ada banyak faktor yang bikin target itu molor. Salah satunya prinsip kehati-hatian Pemerintah dalam membentuk regulasi setelah UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia juga sedikit banyak membeberkan alasan mengapa rencana ratifikasi pada 2013 ditunda oleh DPR RI, yang akhirnya mangkrak hingga hari ini. Salah satunya soal adanya dugaan ketakutan dari partai politik jika ratifikasi ini memungkinkan mengadili kasus pelanggaran HAM masa lalu.

“Kita yakinkan bahwa ratifikasi ini tidak berlaku surut. Karena kita duga, ketakutan sebagian anggota DPR itu, ini berlaku surut. Kita yakinkan bahwa ratifikasi tidak berlaku surut, artinya, tidak menyangkut dengan pelanggaran masa lalu,” kata Timbul, 6 Desember lalu.

“Setelah mengetahui itu, ada lampu hijau [dari DPR RI].”

Seri laporan ini terbit berkat kolaborasi dengan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) jelang peringatan Hari HAM Internasional tiap 10 Desember.

Baca juga artikel terkait PENGHILANGAN PAKSA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Adi Renaldi