Menuju konten utama
2 November 1965

Rasuna Said, Singa Podium yang Menentang Poligami

Rasuna Said gigih memperjuangkan hak-hak kaum wanita, sekalipun harus dibui. Ia memilih bercerai dengan suaminya karena bisa memberi kebebasan bagi perempuan.

Rasuna Said, Singa Podium yang Menentang Poligami
Rasuna Said. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Rasuna Said menentang adat. Perempuan asli Minangkabau ini menolak dijodohkan dengan lelaki yang bukan pilihan hatinya. Apalagi pria yang disodorkan kepadanya itu sudah beristri. Rasuna Said tak sudi dimadu. Ia memilih tidak kawin dulu ketimbang dinikahkan paksa lewat perjodohan.

Rasuna Said memang tidak secara frontal menentang praktik poligami, kendati ia tetap saja sulit menerimanya. Rasuna berbeda dengan Kartini, yang demi rasa hormat kepada orangtua terpaksa bersedia dinikahkan dengan Bupati Rembang yang pernah kawin tiga kali.

Membebaskan Perempuan

Seperti diungkap Jajang Jahroni dalam Haji Rangkayo Rasuna Said: Pejuang Politik dan Penulis Pergerakan (2002), Rasuna Said akhirnya menikah pada 1929, ketika usianya menginjak 19. Ia menerima pinangan laki-laki yang pernah menjadi mentornya, Duski Samad (hlm. 70). Sekali lagi, ia menentang kehendak keluarga yang tidak memberinya restu atas perkawinan tersebut.

Sebagian orang di keluarga Rasuna Said menentang pernikahannya itu karena perbedaan status sosial yang masih dipandang sangat penting dalam adat Minang kala itu. Duski Samad memang taat beragama, cerdas pula, namun berasal dari keluarga biasa. Kendati ditentang, Rasuna dan Duski tetap menikah.

Tetapi, pernikahan itu ternyata tidak bertahan lama. Pasangan ini terpaksa berpisah yang konon disebabkan kurangnya komunikasi, masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri. Umasih dalam Sejarah Pemikiran Indonesia sampai dengan Tahun 1945 (2006) menyebut, Rasuna memilih bercerai lantaran itu lebih memberikan kebebasan kepada kaum perempuan (hlm. 165).

Namun, setelah perceraiannya, Rasuna Said tiba-tiba bicara keras soal poligami. Faktor poligami disebut salah satu penyebab meningkatnya angka kawin-cerai, yang dianggap biasa bagi masyarakat Minang waktu itu.

Tsuyoshi Kato dalam Matriliny and Migration: Evolving Minangkabau Traditions in Indonesia (1982) memaparkan, menurut survei pada 1930, Sumatera Barat menempati peringkat pertama dalam urusan kawin-cerai. Dari 100 orang wanita dewasa di Minang, 14 orang adalah janda. Dan dari 100 orang pria dewasa, 10 orang adalah duda, dan 10 orang melakukan poligami (hlm. 180).

Rasuna Said, tidak setuju dengan budaya kawin-cerai seperti itu. Ia bahkan menganggapnya sebagai bentuk pelecehan terhadap kaum wanita. Boleh saja seorang pria berpoligami sebab hal itu memang ada ketentuannya dalam agama. Namun, sekali lagi, jika harus memilih antara dimadu atau dicerai, Rasuna lebih memilih bercerai.

Entah apa yang sebenarnya terjadi antara Rasuna Said dan Duski Samad sehingga perceraian itu terjadi. Yang jelas, ia rela melepaskan suaminya ketimbang dimadu, seperti diungkapkanya dalam sajak yang dikutip dari buku The Indonesian Women Struggle and Achievments karya Cora Vreede-de Stuers (1970) berikut ini:

Itu memang ketentuan adat

Agama pun menetapkan demikian

Biarkan suamimu pergi dengan tenang

Biarkan ia tersenyum dan bernyanyi

Dan kau jangan sakit hati

Kendati telah bercerai, hubungan Rasuna Said dengan Duski Samad tetap terjalin baik hingga sekian lama, bahkan saat keduanya berbeda haluan dalam pandangan politik. Duski adalah pendukung Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang dideklarasikan pada 1958, sementara Rasuna menentangnya dan lebih dekat dengan Sukarno.

Pada masa-masa itu, menurut buku Ulama Prempuan Indonesia (2002) yang disunting Jajat Burhanudin, Duski sering mengunjungi Rasuna di Jakarta. Bahkan, Duski kerap menginap di rumah Rasuna sampai berhari-hari padahal mereka bukan lagi suami istri yang sah.

Tokoh nasional yang juga berasal dari Sumatera Barat, Mohammad Natsir, sempat khawatir hal itu akan menjadi fitnah. Tapi, Natsir tidak berani menegur langsung lantaran Duski masih terbilang pamannya. Samad sendiri akhirnya memberikan penegasan bahwa ia mengerti agama, tahu mana yang halal dan mana yang haram (hlm. 88).

Garang Sejak Remaja

Rasuna Said memang berasal dari keluarga bangsawan. Lahir pada 15 September 1910 di Desa Panyinggahan, Maninjau, Agam, Sumatera Barat, ayah Rasuna, Muhammad Said, termasuk tokoh terpandang di ranah Minangkabau.

Tidak banyak anak perempuan di Padang yang semujur Rasuna. Lantaran dari keluarga terhormat dan ayahnya yang melek pendidikan, Rasuna bisa mengenyam sekolah yang baik. Dari sekolah dasar, ia kemudian dikirim sang ayah ke pesantren Ar-Rasyidiyah. Rasuna adalah satu-satunya santri perempuan di pesantren itu.

Dari Ar-Rasyidiyah, Rasuna Said hijrah ke Padang Panjang untuk masuk ke Madrasah Diniyah Putri yang didirikan oleh Rahmah El Yunusiyah, salah satu tokoh emansipasi wanita di Sumatera Barat. Madrasah Diniyah Putri merupakan sekolah khusus perempuan pertama di Indonesia, didirikan pada 1923.

Rahmah El Yunusiyah adalah pendukung gerakan Soematra Thawalib yang dipengaruhi oleh pemikiran Mustafa Kemal Ataturk, tokoh nasionalis-Islam dari Turki. Dari gurunya inilah Rasuna Said mulai tertarik menceburkan diri ke ranah pergerakan dan nantinya bergabung dengan Soematra Thawalib.

Namun, organisasi pergerakan pertama yang dipilih Rasuna Said adalah Sarekat Rakyat (SR) dengan Tan Malaka sebagai salah satu tokoh sentralnya. Pada 1926, Rasuna diangkat menjadi sekretaris di SR cabang Sumatera Barat. Saat itu, usianya baru menginjak 16.

Terjadinya perlawanan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Sumatera Barat terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 1926/1927 berdampak serius kepada SR yang sebenarnya tidak terlibat secara langsung. Situasi ini membuat para aktivis SR, termasuk Rasuna Said, semakin sulit bergerak.

Rasuna Said kemudian sepenuhnya fokus berkecimpung di Soematra Thawalib. Sebenarnya, ia sudah sering ikut andil bersama gerakan ini, termasuk turut merintis pendirian sekolah Thawalib dan mengajar di sekolah tersebut meskipun umurnya masih sangat muda.

Dibui karena Orasi

Tahun 1930, Soematra Thawalib melahirkan PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia). Rasuna Said pun menjadi salah satu perintisnya. Selain itu, Rasuna mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan PERMI, juga memimpin sekolah Kursus Putri dan Normal Kursus di Bukittinggi.

Bersama PERMI, Rasuna kerap menyampaikan orasi yang isinya mengecam pemerintah kolonial. Bahkan, tak jarang pidatonya dihentikan paksa oleh aparat. “[…] pidato-pidato Rasuna kadang-kadang laksana petir di siang hari,” tulis A. Hasymi seperti dikutip Burhanudin (hlm. 76).

Puncaknya adalah ketika Rapat Umum PERMI di Payakumbuh pada 1932. Saat Rasuna berpidato, datang aparat yang memaksanya berhenti. Ia pun ditangkap, diajukan ke pengadilan kolonial, kemudian dipenjara selama 1 tahun 2 bulan di Semarang dengan dakwaan spreekdelict. Rasuna adalah perempuan Indonesia pertama yang dibui karena tuduhan ujaran kebencian.

Bebas dari terali besi, Rasuna kembali ke Sumatera Barat untuk melanjutkan studi di Islamic College pimpinan Mochtar Djahja dan Koesoemah Atmadja di Padang. Selanjutnya ia pindah ke Medan dan memulai gebrakannya di kancah jurnalistik bersama sejumlah majalah atau suratkabar, termasuk Suntiang Nagari, Raya, Menara Poeteri, dan lainnya. Di Medan pula, Rasuna mendidikan sekolah keputrian.

Selama era pendudukan Jepang sejak 1942, kiprah Rasuna Said terus berlanjut. Ia turut menggagas berdirinya perkumpulan Nippon Raya yang sebenarnya bertujuan untuk membentuk kader-kader perjuangan. Organisasi ini kemudian dibubarkan pemerintah militer Jepang.

Rasuna Said menjadi salah satu dari sedikit tokoh perempuan yang punya andil penting dalam masa kemerdekaan RI. Ia bergabung dengan Badan Penerangan Pemuda Indonesia, kemudian menjadi anggota Komite Nasional Indonesia mewakili Sumatera Barat.

Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia Volume 1 (2004) mengungkapkan, Rasuna Said juga masuk keanggotaan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) di Jakarta, lalu menjadi anggota parlemen, atau Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (hlm. 100).

Jabatan politik terakhir yang diembannya adalah anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sejak tanggal 2 November 1965.

Infografik Mozaik Rasuna Said

Infografik Mozaik Rasuna Said. tirto.id/Nauval

Bukan Pengidola Kartini

Sosok perempuan legendaris macam R.A. Kartini ternyata bukan menjadi rujukan utama Rasuna Said dalam memperjuangkan emansipasi wanita. Kemerdekaan wanita bagi Kartini adalah bebas dari masa pingitan dan kungkungan adat yang menyiksa. Namun, bagi Rasuna, apa yang menjadi cita-cita Kartini itu belumlah cukup.

Menurut Rasuna Said, perempuan Indonesia harus mulai memikirkan tentang gagasan kebangsaan, harus ikut serta dalam perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan. Rasuna berpendapat, Indonesia tidak akan pernah bisa merdeka jika para wanitanya masih terbelakang. Kaum perempuan di Indonesia wajib berpikiran maju seperti kaum pria.

Soal relasi pernikahan, Rasuna Said juga berbeda pilihan dengan Kartini. Kartini menerima perjodohan yang sebenarnya tidak ia kehendaki, kemudian membuka sekolah untuk anak-anak perempuan di kompleks kantor bupati milik suaminya. Beruntung, sang suami yang Bupati Rembang itu mendukung penuh aktivitasnya.

Rasuna Said tidak demikian. Ia memang sepakat bahwa perkawinan adalah fitrah manusia. Namun, bagi Rasuna, pernikahan tidak seharusnya memasung kebebasan wanita seperti yang banyak terjadi di masyarakat. Suami dan istri harus saling bahu-membahu dalam berjuang dan berkarya di berbagai bidang.

Yang dijadikan sebagai panutan dan inspirasi bagi Rasuna Said adalah dua seniornya sesama pejuang wanita asal Minangkabau, yakni Rahmah El Yunusiyah dan Siti Rohana Kudus. Dari Rahmah, yang juga pernah menjadi gurunya saat bersekolah di Madrasah Diniyah Putri, Rasuna mendapatkan banyak pengetahuan tentang bagaimana mengelola sekolah perempuan dengan baik.

Sementara dari Rohana Kudus, Rasuna Said belajar mengenai masalah-masalah keputrian. Rohana adalah pendiri sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) di Kotogadang pada 1911 yang mengajarkan berbagai keterampilan kepada anak-anak perempuan dan remaja putri. Selain itu, ia juga dikenal sebagai salah satu jurnalis wanita pertama di Indonesia, yang lantas diikuti pula oleh Rasuna.

Rasuna Said mengikuti jejak perjuangan emansipasi wanita yang dilakoni oleh dua sosok yang diteladaninya itu, dari pendidikan untuk perempuan, jurnalistik, hingga politik. Rahmah El Yunusiyah dan Rohana Kudus juga pernah berkiprah di ranah politik, begitu pula Rasuna Said.

Pada 2 November 1965, tepat hari ini 54 tahun lalu, Rasuna Said meninggal di Jakarta saat masih menjadi anggota DPA. Ia berpulang dalam usia 55. Pemerintah menetapkan Hajjah Rangkayo Rasuna Said sebagai Pahlawan Nasional RI pada 13 Desember 1974.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 20 April 2018 dan merupakan bagian dari laporan in-depth dalam rangka Hari Kartini. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan