Menuju konten utama

Rasisme di Liga Inggris: Tak Sebatas Makian di Media Sosial

Dalam satu pekan terakhir, 3 pemain jadi korban rasisme di sepakbola Inggris: Yakou Meite, Tammy Abraham, dan Paul Pogba

Rasisme di Liga Inggris: Tak Sebatas Makian di Media Sosial
Paul Pogba.Twitter/paulpogba

tirto.id - Henry Winter, jurnalis The Times, berada di Stadion Molineux kala Woverhampton bermain imbang 1-1 melawan Manchester United, Selasa, 20 Agustus 2019. Setelah pertandingan bubar, ia melihat Paul Pogba berjalan sendirian.

Winter menuliskan, "Pogba mengangkat bajunya, menariknya untuk menutupi kepala, seolah-olah ingin menyembunyikan rasa malunya setelah tendangan penaltinya yang gagal mengakibatkan United urung meraih angka penuh."

Sadar bahwa kegagalan penalti Pogba akan menjadi sorotan setelah pertandingan, Winter lantas mengajak penggemar Setan Merah untuk memberikan penilaian secara adil terhadap pemain asal Perancis tersebut. Penyebabnya: Pogba sebenarnya tampil bagus di sepanjang pertandingan.

Pogba, kata Winter, berhasil mengatur lini tengah United sedemikian rupa sehingga Setan Merah mampu menguasai pertandingan selama satu jam lamanya. Umpan-umpan Pogba jarang meleset, dan saat meledak ke lini depan, Pogba juga hanya bisa dihentikan dengan pelanggaran--termasuk ketika United mendapatkan penalti pada menit ke-69.

Selain itu, di tengah-tengah keinginannya untuk pindah dari Old Trafford, reaksi Pogba setelah pertandingan tersebut juga mampu memperlihatkan bahwa ia tetap pasang gigi empat setiap kali membela Setan Merah.

"Ia marah kepada dirinya sendiri. Sebuah isyarat bahwa ia masih peduli dengan timnya, sekaligus tak mau mengecewakan timnya," tulis Winter.

Namun, keinginan Winter ternyata bertepuk sebelah tangan. Setelah pertandingan, tak sedikit para penggemar United yang menghakimi kesalahan Pogba. Bahkan, beberapa suporter memanfaatkan momen itu untuk mengumbar kebencian.

Paul Hirst, jurnalis The Times, menulis, "Tak lama setelah Rui Patricio, kiper Wolves, menggagalkan penalti Pogba pada Senin malam (waktu Inggris) itu, di Twitter orang-orang langsung memborbardir Pogba dengan makian rasis yang amat keji."

Usaha Setengah-setengah Twitter

Para pemain sepakbola sempat memboikot Twitter selama 24 jam usai ulah rasis muncul musim lalu. Twitter pun merespons dengan melakukan perubahan kebijakan.

The Times melaporkan, Twitter jadi lebih proaktif dengan membentuk tim khusus untuk mengawasi 50 akun pemain kulit hitam dengan jumlah pengikut paling banyak. Maka saat ada makian rasis yang mengarah ke akun-akun tersebut, Twitter bisa langsung mengambil tindakan.

Namun, kebijakan anyar itu ternyata masih jauh dari efektif. Ini karena orang tak bertanggung jawab masih gampang bikin banyak akun secara bebas dan pemain bola berkulit hitam yang punya akun Twitter juga lebih dari 50 orang. Alhasil dalam sepekan terakhir, tiga pemain berkulit hitam menjadi sasaran kebencian: Yakou Meite (Reading), Tammy Abraham (Chelsea), dan yang terakhir adalah Paul Pogba.

Phil Neville, pelatih timnas perempuan Inggris, menilai Twitter hanya setengah-setengah mengatasi masalah tersebut. Ia pun memberikan ide menarik: komunitas sepak bola kembali memboikot penggunaan media sosial selama enam bulan.

"Aku sudah kehilangan kepercayaan sepenuhnya kepada siapa pun yang menjalankan media sosial ini. Jadi sebagai bagian dari komunitas sepakbola, aku ingin kita memberikan pesan yang lebih kuat: selama enam bulan, mari kita berhenti menggunakan sosial media," kata Neville.

"Mari kita lihat efek seperti apa yang akan terjadi pada perusahaan sosial media ini, apakah mereka akan benar-benar melakukan sesuatu tentang rasisme. Rasisme memang masalah pada masyarakat, tetapi karena sepakbola memiliki pengaruh kuat, kita harus benar-benar melakukan sesuatu," imbuh Neville.

Boikot Bisa Menambah Masalah

Boikot yang diinginkan Neville memang dapat dimengerti, karena rasisme--baik yang terjadi terhadap Paul Pogba maupun mahasiswa Papua--seharusnya tidak boleh mendapatkan panggung.

Namun, seandainya boikot itu benar-benar dilakukan, Alyson Rudd, jurnalis The Times, khawatir "boikot justru akan lebih menyakiti sepakbola daripada Twitter.

"Para pemain memang seringkali menggunakan Twitter untuk hal-hal biasa saja, seperti mengunggah mereka sudah selesai latihan dan hal-hal semacamnya. Namun, unggahan mereka juga kadang membuktikan bahwa itu adalah bagian integral dari model bisnis dalam sepakbola," tulis Rudd.

Rudd mengambil contoh Gareth Bale, penyerang Real Madrid, yang punya sekitar 18 juta pengikut di Twitter. Bale tak hanya sekadar jadi pemain, tapi juga merek dagang dan bagian bisnis. Contohnya saat Bale mentwit "apakah Anda menginginkan sepatu (Adidas) ini?" respons dari para pengikut Bale di Twitter tentu saja akan ikut menguntungkan Adidas, yang merupakan sponsor Bale.

Selain itu, para pemain juga bisa membantu klub memuaskan sponsor melalui media sosial. Ini seperti dilakukan para pemain Chelsea yang tampil dalam iklan MSC Crusie, sponsor Chelsea yang bergerak di dunia pelayaran. Tanpa pemain, iklan itu tak akan menarik perhatian penggemar.

Dari sana, karena bisnis tidak bisa lepas dari presentasi online, Rudd pun mengambil kesimpulan. "Boikot hanya akan membuat para pemain atau klub melanggar kesepakatan dengan para sponsor... Boikot akan menyebabkan kekacauan," tulis Rudd.

Penjelasan Rudd masuk akal--meskipun cenderung pragmatis karena hanya memikirkan dari segi bisnis--.

Lantas, apa yang sebaiknya dilakukan?

Setelah kejadian yang menimpa Pobga, para pemain Manchester United mengutuk tindakan orang-orang yang tak bertanggung jawab tersebut. Sesegera mungkin, beberapa dari pemain United menginginkan Twitter membuat kebijakan khusus agar kejadian semacam itu kembali tak terulang.

Salah satu yang punya ide menarik adalah bek anyar Manchester United, Harry Maguire. Ia, yang menyebut makian rasisme itu sebagai "sampah", menyarankan setiap akun di sosial media seharusnya diverifikasi terlebih dahulu lewat paspor atau Surat Izin Mengemudi. Verifikasi itu setidaknya bisa menghindarkan medial sosial dari orang yang tak bertanggung jawab.

Namun, ide tersebut barangkali sulit direalisasikan karena jumlah pengguna amat penting bagi keberlangsungan hidup sebuah paltform media sosial.

Kick It Out, organisasi asal Inggris yang bekerja untuk memerangi rasisme dalam sepakbola, mengingatkan "tanpa aksi nyata yang amat kuat, tindakan para pengecut ini akan terus tumbuh." Menurut mereka tindakan rasisme bahkan mengalami peningkatan sebesar 43% dibandingkan musim lalu, yakni dari 192 kasus menjadi 274 kasus.

Dan, rasisme ternyata tidak hanya terjadi di media sosial: ia bisa terjadi di mana-mana, termasuk di dalam sebuah pertandingan.

Itu artinya, rasisme dalam sepakbola sebenarnya bukan hanya tanggung jawab Twitter. Untuk menghindari tindakan diskrimitaif itu, semua orang yang mengaku menyukai sepakbola harus mau melawan dengan aksi nyata.

Baca juga artikel terkait RASISME atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Mufti Sholih