Menuju konten utama

Rasa Superior di Balik Makanan Organik

Makanan organik, selain lebih sehat, juga membuktikan bahwa asal-usul makanan bisa membuat konsumen lebih puas.

Rasa Superior di Balik Makanan Organik
Big Max. FOTO/Doc. burgreens

tirto.id - Sejak beberapa tahun lalu, makanan organik menjadi tren. Makanan organik dianggap lebih sehat karena, salah satunya, bebas pestisida. Ini adalah hal penting di masyarakat era kiwari yang sedang mengalami arus perubahan pola makan. Kini, banyak orang makan tak hanya mencari kenyang, melainkan juga turut memikirkan isu kesehatan dan lingkungan.

Ragam prodak organik sudah bisa ditemui di berbagai supermarket. Meski dengan harga yang lebih tinggi, mereka tetap diminati karena punya pangsa pasar sendiri. Begitu juga dengan restoran-restoran organik. Tak seperti di awal kemunculannya, mereka kini lebih mudah ditemui di jantung-jantung kota besar Indonesia.

Cobalah sesekali berjalan-jalan ke Street Galery Pondok Indah Mall, Jakarta Selatan. Di deretan makanan cepat saji, Anda akan menemukan satu stan berinterior modern rustic. “Burgreens” begitu tulisan di papan nama restoran mini tersebut. Dari namanya saja kita sudah bisa menebak sajian menunya berupa roti tangkup asal Jerman: Hamburger.

Burgreens memiliki nilai pembeda yang mencolok: seratus persen bahan makanannya berbasis tanaman organik. Restoran ini juga menerapkan konsep ramah lingkungan. Mereka menggunakan alat makan dari kayu, plastik berbahan dasar singkong, dan juga sedotan kertas.

“Kami konsepnya bisnis sosial, jadi bahan-bahannya juga kita ambil dari petani dan pengerajin makanan lokal dengan harga layak,” tutur Helga Angelina, pemilik Burgreens kepada Tirto.

Ada sekitar 20 petani dan komunitas yang mereka berdayakan. Khusus untuk bahan-bahan segar, Burgreens mendapat pasokan dari Cipanas dan Bogor, sementara beras diperoleh dari petani Banyuwangi. Semuanya dibudidayakan secara organik dan langsung dibeli dari petani untuk memotong jalur distribusi dan meningkatkan pendapatan petani lokal.

Burgreens juga memberdayakan ibu-ibu rumah tangga di Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, untuk mengelola rumah produksi. Mereka bertugas membuat bahan-bahan seperti saos, patty burger, dan pencuci mulut yang akan digunakan di empat cabang Burgreens di Jakarta dan sekitarnya.

“Selain organik, prinsip kami semua proses dijalankan sendiri secara natural. Kami nggak bisa beli mayones jadi di supermarket.”

Helga lalu memberi contoh dengan menjelaskan komposisi makanan yang saya pesan. Di depan meja saya tersaji salah satu menu andalan di Burgreens, Mini Trio yang berupa tiga burger vegan mini. Rotinya dibikin dari gandum tanpa telur dan susu, isiannya terdiri dari tempe, bayam, dan jamur. Pelengkap minumannya adalah Detox Red Velvet, jus kombinasi antara bit, semangka, lemon, dan air kelapa.

“Di sini konsumen bisa pilih, masaknya dipanggang atau digoreng. Kalaupun digoreng, kami pakai minyak kelapa murni yang baik untuk kesehatan dan punya titik didih tinggi,” jelas Helga.

Mengapa Memilih Pangan Organik?

Buat Helga, mendirikan bisnis makanan sehat buatan rumah bukanlah perkara mudah. Ia menjalankan bisnisnya bersama sang suami, Max Mandias, yang menjadi Kepala Chef Burgreens. Seusai lulus pendidikan di Belanda di tahun 2012, pasangan ini memiliki ide kembali ke Indonesia dan mendirikan restoran sehat. Usaha tersebut baru terealisasi di tahun 2013 karena beragam pertimbangan. Saat itu Burgreens masih meminjam tempat di salah satu rumah kolega Helga di wilayah Rempoa, Tangerang Selatan. Segala peralatan masak pun mereka boyong dari rumah karena minimnya modal yang mereka punya.

Orangtua Helga dan Max awalnya kurang mendukung keputusan anak-anak mereka. Pertimbangan yang dipakai, saat itu pasar makanan sehat dinilai terlalu sempit, ditambah, modal yang mereka miliki pun tak seberapa besarnya. Berbekal nekat, selama dua tahun mereka berjualan kecil-kecilan, dan benar saja, tak jarang restorannya sepi pembeli di hari biasa.

“Kami hanya ramai di akhir pekan karena konsumennya baru bisa menyempatkan diri datang di akhir pekan.”

Meski begitu, Helga dan Max tetap sabar mengelola Burgreens. Selama 16 jam per hari mereka harus bekerja sendiri membuka-tutup toko, memasak, menghitung pemasukan serta pengeluaran. Usahanya saat itu cukup terbayarkan dengan rasa puas bisa menularkan gaya makan sehat ke banyak orang. Usaha ini perlahan menampakkan hasil.

Pada 2015 mereka berhasil membuka cabang pertama Burgreens di daerah Tebet. Seiring berkembangnya informasi dan kesadaran masyarakat tentang makanan sehat, bisnis Burgreens pun kian melesat. Kini, mereka sudah punya sekitar 4 cabang di Jakarta dan sekitarnya.

“Aku bisa bilang peningkatannya dari tahun 2015 sampai sekarang mencapai 200 persen,” ujar Helga tersenyum puas.

infografik makanan organik

Di Indonesia, pangan organik memang baru-baru saja menjadi tren. Tapi di dunia, penjualan makanan organik sudah berkembang dari awal tahun 2000-an. IBIS World, organisasi yang meneliti tentang pengadaan, pasar, dan pembelian melaporkan pertanian organik di Australia diperkirakan tumbuh 11,2 persen pada tahun 2014. Mereka pemperkirakan angka ini akan naik menjadi 49,6 persen lebih pada tahun 2019 nanti.

Sementara itu, di Amerika, pertumbuhan pasar organik di 2013 secara keseluruhan naik hingga 11,5 persen. Ada beberapa alasan yang mendasari orang beralih ke makanan organik. Penelitian oleh Boyka Bratanova, dkk di tahun 2015 cukup bisa menjelaskannya.

Mereka meneliti dua kelompok yang diberi dua jenis kue kering yang diproduksi oleh dua perusahaan berbeda. Kelompok pertama mendapat kue yang diproduksi dari perusahaan dengan cara yang etis. Pertanian organik, berkontribusi pada pelestarian lingkungan, dan diproduksi secara lokal.

Sementara kelompok kedua mendapat kue dari perusahaan sebaliknya, pabriknya merupakan pencemar lingkungan. Mengimpor bahan bakunya (biji-bijian) dari berbagai negara. Tidak pernah melakukan upaya mengimbangi jejak karbon, serta menolak menyumbang ke proyek amal pelestarian lingkungan.

Periset meneliti respons konsumen terhadap dua jenis makanan tersebut setelah sebelumnya menginformasikan latar belakang produsen kue. Hasilnya, kue yang diproduksi dengan cara etis dan baik, bisa menghasilkan kepuasan moral konsumen.

Peneliti berkesimpulan, pengalaman rasa manusia dan perilaku terhadap makanan, dibentuk oleh bagian otak yang melakukan integrasi kesan dari indra ke dalam rasa. Termasuk informasi lain, seperti merek, harga, dan asal makanan dan minuman.

Singkatnya, kepuasan moral dan kenikmatan indra berhubungan erat. Kue yang diproduksi perusahaan beretis buruk, membuat asosiasi kurang menyenangkan dan bisa mengurangi kepuasan rasa konsumen. Sebaliknya, membeli dan mengonsumsi makanan "etis" bisa menghasilkan kepuasan moral. Nah, kepuasan ini,secara subyektif, turut menyumbang rasa yang dianggap lebih enak. Pada akhirnya, rasa yang dianggap superior ini bisa membuat konsumen tertarik membeli makanan etis.

Baca juga artikel terkait GAYA HIDUP SEHAT atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Nuran Wibisono