Menuju konten utama

Rapid Test Corona Tidak Boleh Jadi Dagangan Maskapai Penerbangan

Maskapai membuka rapid test bagi penumpang. Jangan sampai ini jadi ajang komersialisasi.

Rapid Test Corona Tidak Boleh Jadi Dagangan Maskapai Penerbangan
Sejumlah warga mengikuti rapid test Covid-19 gratis di Terowongan Kendal, Jakarta, Senin (8/6/2020). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Hasil tes cepat atau rapid test COVID-19 nonreaktif adalah salah satu syarat seseorang dapat menggunakan transportasi udara. Ini tertera dalam rekomendasi Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dan Surat Menteri Perhubungan Kementerian Perhubungan RI Nomor AJ.001/1/12 PHB 2020 tentang Peningkatan Pelayanan Perjalanan Orang.

Kebijakan ini ditetapkan dengan harapan hanya orang-orang terindikasi sehat saja yang dapat menaiki pesawat.

Surat nonreaktif--atau sebut saja 'surat bebas COVID-19'--dapat diperoleh di fasilitas kesehatan daerah asal. Sekarang, itu lebih mudah karena beberapa maskapai penerbangan juga membuka layanan rapid test.

Salah satunya Lion Group, terdiri dari Lion Air, Wings Air, dan Batik Air, sejak 29 Juni lalu. Mereka menawarkan layanan rapid test di sejumlah kantor cabang di Jakarta. "Biaya rapid test COVID-19 adalah Rp95 ribu," kata Humas Lion Group Danang Mandala Prihantoro saat dikonfirmasi reporter Tirto, Kamis (2/7/2020). Surat keterangan berlaku 14 hari.

Maskapai pelat merah, Citilink, juga menyediakan layanan ini. VP Corporate Secretary & CSR Citilink Resty Kusandarina mengatakan mereka membuka layanan ini untuk mempermudah para penumpang. "Layanan bisa didapatkan bagi 500 penumpang yang melakukan transaksi pembelian tiket pertama setiap hari melalui web atau aplikasi BetterFly Citilink," kata Resty kepada reporter Tirto, Rabu (1/7/2020). "Periode pembelian dibatasi mulai 1 hingga 7 Juli 2020 untuk periode penerbangan 2 hingga 31 Juli 2020,"

Garuda Indonesia, perusahaan induk Citilink, juga membuka layanan serupa. Bedanya, selain menyediakan rapid test dengan biaya Rp225 ribu, mereka juga membuka layanan tes swab berbiaya Rp1,5 juta.

Kami mencoba mengecek harga tiket pesawat untuk perjalanan Bandara Soekarno Hatta Jakarta ke Bandara Kualanamu Medan untuk tanggal 10 Juli 2020 di aplikasi Traveloka. Untuk tiket termurah, Lion Air mematok harga Rp594.900. Maskapai yang masih satu grup, Batik Air, mematok harga Rp1.080.000. Jika digabung dengan biaya rapid test, maka penumpang Lion Air harus merogoh kocek Rp689.900 dan penumpang Batik Air harus merogoh Rp1.175.000.

Sementara Citilink mematok harga Rp1.186.300 dan Garuda Indonesia Rp2.113.900 untuk perjalanan yang sama. Dengan demikian, jika ditambah biaya rapid test, maka penumpang Citilink harus merogoh kocek Rp1.411.300 dan penumpang Garuda Indonesia membayar Rp2.338.900.

Rapid Test Formalitas, Selebihnya Bisnis

Komisioner Ombudsman RI yang fokus memperhatikan isu transportasi Alvin Lie menduga kewajiban rapid test dibuat untuk sekadar menjadi komoditas bisnis, alih-alih atas alasan kesehatan--mencegah penyebaran pandemi.

"Persepsi publik sudah ke sana. Seperti yang saya potret di Bandara Soetta, ada 'drive thru rapid test harga promo'. Kalau sudah ada harga promo, kalau bukan bisnis apalagi?" katanya kepada reporter Tirto.

Alvin bilang idealnya tes rapid atau swab bukanlah tempat untuk mencari uang lebih. Alasannya sederhana: kedua tes tersebut merupakan layanan penunjang yang sangat dibutuhkan di tengah krisis pandemi COVID-19.

Oleh sebab itu ia mendesak pemerintah transparan dalam penentuan harga tes rapid dan swab. Pemerintah bisa memberikan indeks rujukan seperti harga obat di apotek sehingga kemudian tidak ada yang membuka harga semaunya.

"Kami mendesak pemerintah agar transparan, sebenarnya harga rapid test di Indonesia berapa sih? Kemudian importirnya siapa saja. Jangan-jangan importirnya hanya dua tiga gelintir. Mereka bisa melakukan oligopoli juga," kata Alvin kepada reporter Tirto.

Selain itu menurutnya, di negara lain tidak ada kewajiban rapid test apalagi swab untuk perjalanan domestik. Jika alasannya untuk mencegah penyebaran COVID-19 ke daerah lain, kebijakan itu dirasa diskriminatif karena hanya menyasar pengguna kendaraan umum, tidak ke pemakai kendaraan pribadi.

"Untuk terbang naik kereta harus pakai rapid atau swab test tapi kalau bus atau mobil pribadi tidak ada urusannya. Ini kan peraturan yang aneh," kata dia.

Epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono bahkan menyarankan agar pemerintah menghentikan total praktik rapid test sebab tidak akurat. Akurasi buruk karena yang diuji adalah antibodi, bukan virus. Akibatnya, orang-orang yang sudah terjangkit COVID-19 tapi belum terbentuk antibodinya akan menimbulkan hasil nonreaktif. Sebaliknya, orang yang memiliki antibodi kendati bukan karena COVID-19 akan menunjukkan hasil reaktif.

Permasalahannya, sampai saat ini tidak pernah ada evaluasi mengenai hal itu. “Harus ditinjau ulang manfaatnya apa. Lebih baik fokus pada peningkatan kapasitas dengan tes PCR,” kata Pandu kepada reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait RAPID TEST atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi & Irwan Syambudi
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino