Menuju konten utama

Rangkaian Kecelakaan Kapal Tenggelam: Ada Masalah di Pengawasan?

Pemerintah sudah punya peraturan dalam penyelenggaraan angkutan laut, danau, dan sungai tapi kecelakaan kerap terjadi karena pengawasan.

Rangkaian Kecelakaan Kapal Tenggelam: Ada Masalah di Pengawasan?
Warga dan petugas menyaksikan KM Lestari Maju yang tenggelam di Perairan Selayar, Sulawesi Selatan, Selasa (3/7). KM Lestari Maju yang membawa penumpang 139 orang berangkat dari Pelabuhan Bira, Bulukumba, menuju Kabupaten Kepulauan Selayar tenggelam dan mengakibatkan 12 orang meninggal. Hingga saat ini proses evakuasi masih terus dilakukan. ANTARA FOTO/Mhumu/YU.

tirto.id - Saat tingkat keselamatan penerbangan di Indonesia sedang naik daun, ironi terjadi pada sektor pelayaran laut, danau, dan sungai yang justru banyak diwarnai insiden kecelakaan. Selama 2018 saja sudah terjadi rentetan kecelakaan di jasa angkutan perairan.

Kejadian kecelakaan KM Lestari Maju di Perairan Selayar paling terbaru. Kapal tersebut sebelumnya mengalami kebocoran di lambung kapal dan hendak dikandaskan di pulau terdekat tapi tenggelam di tengah jalan.

Sebelumnya ada KM Sinar Bangun di Danau Toba baru-baru ini, ada beberapa kecelakaan serupa antara lain kecelakaan KM Empat Putra di NTT 14 Februari 2018. Sebulan setelahnya pada 12 Maret 2018, Kapal Motor Cepat (KMC) AD-16-05 milik Kodam Jaya tenggelam di Kepulauan Seribu. Pada 13 Juni 2018, Kapal Cepat tenggelam di Perairan Sungai Kong, Sumatera Selatan.

Berulangnya kecelakaan ini seperti mengonfirmasi anggapan pengawasan terhadap transportasi maritim memang dianaktirikan dibandingkan angkutan lain. Siswanto Rusdi, dari National Maritime Institute saat dimintai pendapatnya tentang insiden tenggelamnya KM Lestari Maju di perairan Selayar, Rabu (4/7/2018), mengatakan "jadi kalau dibilang pengawasannya lemah memang betul adanya.”

Maria Sidauruk, salah seorang keluarga korban tenggelam KM Sinar Baru, menjadi saksi bagaimana pengawasan terhadap transportasi ini abai dilakukan pemerintah. Ia sempat melihat polisi yang mengawasi KM Sinar Bangun saat kerumunan penumpang naik ke kapal.

“Yang naik memang ramai sekali. Lebih seratusan, mungkin dua ratusan,” kenang Maria Sidauruk kepada Tirto. Ia ingat puluhan sepeda motor sudah diikat di lantai satu kapal dan penuh di pinggirannya.

Sistem yang Buruk

Siswanto Rusdi mengatakan peraturan untuk urusan pelayaran sudah memadai, hanya saja praktik di lapangan yang masih jauh panggang daripada api. Ia mencontohkan sudah ada regulasi kapal dengan ukuran di bawah 500 gross tonnage (GT) terkait syarat, izin, dan keamanannya.

Regulasi tersebut adalah Surat Keputusan Jenderal Perhubungan Laut Nomor Um.008/9/20/DJPL-12 tentang Pemberlakuan Standar dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kapal Non Konvensi Berbendera Indonesia atau Standar Kapal Non Konvensi (SKNK). Isinya memuat detail material bahan, konstruksi, kelistrikan, hingga alat keselamatan yang harus tersedia di dalam kapal.

Meski ada aturan, penerapannya tak pernah jelas. Siswanto kembali memberi contoh siapa pihak yang bertugas men-docking atau proses menaikkan kapal ke dok untuk perawatan. Akibatnya, tak ada ada yang tahu apakah kapal-kapal yang beroperasi itu sudah pernah menjalani perawatan, atau malah beroperasi sepanjang tahun tanpa berhenti.

“[Padahal] Ada peraturan yang seharusnya diterapkan untuk mewajibkan ketika kapal sekian lama berlayar harus masuk dok dulu untuk diperiksa kelaikannya,” kata Siswanto.

Selain soal perawatan, proses pemberian izin atau surat pun dianggap tidak jelas. Siswanto menerangkan setiap kapal yang baru selesai dibangun harus memiliki surat kelengkapan yang harus diurus perusahaan kapal, salah satunya Surat Ukur Kapal yang menyatakan berapa tonase dari kapal tersebut.

“Nah ini yang perlu kita tanyakan, itu kalian [Kementerian Perhubungan] jalankan enggak? Ketika kapal melakukan perubahan- konstruksi. Dicatat enggak? Kapal kan bukan odong-odong,” kata Siswanto.

Infografik CI Tenggelamnya KM lestari maju

Tanggung Jawab Ada di Kemenhub

Sekelumit masalah ini menjadi tantangan buat pemerintah pusat dalam hal ini kementerian perhubungan (Kemenhub). Ini berdasarkan Pasal 5 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang menerangkan fungsi pembinaan pelayaran dilakukan pemerintah. Ada pun yang dimaksud pembinaan pelayaran meliputi pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.

Berdasarkan regulasi itu tugas pengawasan dapat didelegasikan ke pihak ketiga. Salah satunya adalah PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) perusahaan BUMN yang mengawasi proses pembangunan kapal dengan tonase di atas 500 GT.

“Tapi tanggung jawab tetap ada di Kementerian Perhubungan. Jadi tidak bisa menyalahkan BKI,” kata Siswanto

Kemenhub juga tak bisa menyalahkan pemerintah daerah apabila terjadi kecelakaan kapal di daerah. Tugas pemda sebatas mengurus administrasi dari perusahaan. “Sertifikasi alat-alat keselamatannya ada atau tidak itu kan bukan di tangan Pemda. Itu kan ada di tangan pemerintah pusat dan tidak pernah didelegasikan,” kata Siswanto.

Senada dengan Siswanto, Anton Sihombing yang merupakan anggota Komisi V DPR dari Fraksi Golkar ini menunjuk Kemenhub atas maraknya kecelakaan kapal belakangan ini. Anton menyebut Kemenhub harusnya bisa menegakkan regulasi yang ada.

“Jangan asal ada kecelakaan dibilang [karena] cuaca, ombak, badai,” kata Anton kepada Tirto.

Dihubungi terpisah pada Kamis siang, Kepala Bagian Organisasi dan Humas Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Gus Rional menjelaskan pihaknya punya regulasi terkait kapal di bawah tonase 500 GT. Sementara terkait pengendalian dan pengawasan oleh Kemenhub melakukannya melalui “Syahbandar/KSOP/UPP sebagai pengawas di lapangan terkait keselamatan pelayaran.”

Ihwal anggapan pemerintah pusat lempar tanggung jawab ke pemda untuk urusan angkutan pelayaran, Rional menampiknya. Ia menyebut ada pembagian tugas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Namun, ia menyebutkan Menhub Budi Karya sudah menginstruksikan untuk mengevaluasi aturan soal pelayaran yang sudah berlaku.

Ironi untuk Visi Maritim Jokowi

Kecelakaan KM Lestari Maju dan KM Sinar Bangun menjadi catatan hitam terutama terkait dengan visi maritim Jokowi. “Jadi sangat unik sekali lah, kita mau menuju tol laut, poros maritim, kalau kondisinya begini jauh panggang dari api,” kata Anton Sihombing.

Berdasarkan catatan KNKT, dalam lima tahun terakhir tren kecelakaan angkutan perairan cenderung meningkat. Pada 2016, jumlah kecelakaan yang diakibatkan angkutan pelayaran ada di posisi kedua terbanyak dengan 18 kecelakaan, sementara di posisi pertama ditempati angkutan udara dengan 35 kecelakaan. Namun, setelahnya ada perbaikan pada tingkat kecelakaan di angkutan udara.

Untuk kecelakaan moda darat atau Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), KNKT mencatat 6 kasus pada 2016, jumlah kasus yang sama untuk kecelakaan kereta api pada tahun yang sama.

Jika dibandingkan dengan moda transportasi udara, angkutan pelayaran lebih banyak mengakibatkan korban meninggal yakni 31 orang sementara angkutan udara mengakibatkan 5 orang meninggal. Selain itu tren kecelakaan angkutan udara pun cenderung menurun.

Selain itu KNKT pun tidak menginvestigasi seluruh kecelakaan yang terjadi. Untuk pelayaran, KNKT hanya melakukan investigasi terhadap kecelakaan yang memenuhi kriteria International Maritime Organization (IMO). Sama halnya penerbangan, kriteria investigasi sesuai standar International Civil Aviation Organization (ICAO). Artinya, besar kemungkinan jumlah kecelakaan pada masing-masing moda transportasi jauh lebih besar.

Ihwal catatan-catatan ini, pihak Kemehub melalui Kepala Bagian Organisasi dan Humas Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Gus Rional tak memberi jawaban dan hanya membaca pesan singkat yang dikirimkan Tirto melalui aplikasi pesan WhatsApp.

Baca juga artikel terkait KAPAL TENGGELAM atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Mufti Sholih