Menuju konten utama

Rampage: Jualan Kehancuran Kota dan Dialog Gagal Keren

Rampage memenuhi ekspektasi penggemar film laga: makhluk-makhluk bertubuh besar saling kelahi di tengah kota. Sayang, narasinya hanya mendompleng film bencana era 1990an dan 2000an.

Rampage: Jualan Kehancuran Kota dan Dialog Gagal Keren
Rampage 2018. FOTO/Rampage

tirto.id - Anda sekalian, generasi yang tumbuh di era 1990an atau 2000an, barangkali kenyang menonton film tentang binatang hasil rekayasa genetika. Malam lewat prime time Anda menghidupkan televisi, Anda dihadapkan pada permulaan cerita soal insiden yang bikin binatang lepas kendali, kabur dari laboratorium, dan meneror sebuah kota kecil di Amerika Serikat.

Seingat saya, spesiesnya amat beragam. Mulai dari ular (derik, kobra, anakonda), buaya, hiu, anjing, laba-laba, burung, kelelawar, kecoa, hingga semut. Ada yang jadi predator tunggal, ada yang bergerombol. Sebagian pecinta sinema mengkategorikannya sebagai film bencana, atau film monster, atau kombinasi keduanya.

Secara umum plotnya serupa. Beberapa di antaranya ada yang begini: sekelompok orang (kerapkali remaja) iseng main ke hutan, lalu satu per satu dimangsa binatang yang telah berubah jadi monster buas.

Jika ada yang selamat, yang bersangkutan pergi ke kota untuk memberi peringatan. Sayangnya teror yang sesungguhnya datang tak lama kemudian, dan mengakibatkan kehebohan di antara warga dan pemerintah lokal.

Lalu muncullah satu sosok yang menjadi juru selamat—tokoh protagonis—yang menemukan obat penawar yang mampu mengembalikan monster ke kondisi semula, berhasil memberantas penyebaran epidemiknya ke binatang lain yang satu spesies, atau paling gamblang, memusnahkannya.

Happy ending? Tentu saja.

Rampage (2018), yang terinspirasi dari game era tahun 1986-2006, mendompleng ramuan yang sama.

Awal film ini menampilkan kehancuran stasiun penelitian Athena-1 yang dimiliki perusahaan manipulasi genetik Energyne. Seekor tikus bermutasi, lalu mengamuk. Tiga tabung berisi pemicu perubahan genetis hampir bisa diselamatkan oleh seorang peneliti, namun kapsul penyelamatnya hancur dibakar atmosfer.

Ketiga tabung jatuh di Amerika Serikat. Aneh? Tenang, ini baru satu keganjilan di antara keganjilan-keganjilan lain yang tersebar di sepanjang film. Tabung-tabung itu mengubah seekor buaya di Teluk Meksiko, serigala di Wyoming, dan George, gorila albino di Cagar Alam San Diego, menjadi monster berpostur raksasa dengan kecepatan, kekuatan, dan agresivitas di luar batas normal.

George punya pengasuh setia, primatolog bekas tentara bernama Davis Okoye (Dwayne Johnson). Keduanya amat dekat sebab Davis menyelamatkan George dari pemburu liar dan merawatnya sejak kecil. Saking dekatnya, Davis punya sikap serta reputasi aneh: lebih dekat dengan binatang daripada manusia.

Barangkali, saking dekatnya pula, George tumbuh jadi gorila yang terlalu manusiawi baik dari gestur maupun ekspresi wajah. Ia bak primata paling superior di kandang selain karena bulu putihnya. Saat sedang mengolok-olok empat karyawan baru, George bahkan bisa mengacungkan jari tengah kepada Davis.

Oleh sebab itu, Davis tetap ingin mendampingi George meski keributan ditangani paksa oleh badan-badan khusus negara. Demikian juga Davis berupaya keras menenangkan George saat sedang menghantam bangunan dan kendaraan di Kota Chicago. Tak hanya sukses mengembalikan kesadaran George, Davis juga bisa bersatu padu mengalahkan dua monster lain, dan “menyelamatkan dunia”.

Happy ending.

Anda tak perlu marah dengan spoiler, sebab Rampage tidak menjual plot twist. Selain plot-nya standar film bencana, Rampage juga hanya berniat memanjakan penonton dengan adegan-adegan favorit penggemar film aksi: kehancuran, ledakan, dan perkelahian.

Hal yang akan Anda perhatikan adalah segalanya serba besar. Lanskap Chicago, ketiga monster, termasuk badan Dwayne Johnson. Johnson dipilih sebab terbiasa membintangi film dengan dua elemen penting dalam sebagaimana tersaji di Rampage: petualangan bersama binatang abnormal dan menjadi pahlawan dalam kota yang sedang ditimpa bencana.

Keduanya juga menjadi elemen mendasar dari kolaborasi sutradara Brad Peyton dan Johnson di dua film sebelumnya.

Di San Andreas (2015) Johnson berperan sebagai pilot penyelamat yang bersusah payah mencari putrinya usai gempa besar mengguncang California. Di Journey 2: The Mysterious Island (2012) ia berpetualang mencari kakeknya di sebuah dunia magis, dan bertemu dengan hewan-hewan aneh sekaligus berbahaya.

Dengan demikian, Dwayne Johnson tidak dituntut peran yang berat. Cukup mengulang heroisme di kedua film itu, ditambah belajar bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan George, Dwyane meraup bayaran yang kata media minimal $20 juta per film.

Sosok dan reputasinya, terutama jika bermain di film aksi, memang hampir selalu jaminan blockbuster. Namun Dwyane terjebak menjadi aktor biasa-biasa saja yang melahirkan film dengan kualitas biasa-biasa saja. Beberapa bahkan bisa dikategorikan buruk.

Seperti di Rampage, ia membacakan dialog sesuai naskah yang diproyeksikan agar sosok Davis terlihat keren—tak cuma modal kepala plontos, leher kokoh, tubuh tinggi dan banyak otot. Dialog-dialognya biasa diselipkan sebagai celetukan si tokoh utama saat ia terdesak tapi tetap memiliki ketahanan mental yang kuat. Pendek, dan seharusnya lucu.

Sayangnya, dialog Davis tidak demikian, setidaknya bagi saya. Alih-alih membikin suasananya segar, celetukan-celetukan Davis terasa garing, dipaksakan, dan overrated. Pasalnya formula yang sama telah berulang-ulang dipakai oleh ratusan karakter protagonis di film aksi lain.

Misalnya, saat ia menyetir helikopter (ya, dia adalah pahlawan serba bisa) menuju Chicago, dan dari atas untuk pertama kalinya melihat buaya raksasa, Davis bilang “Well, that sucks” (Wah, itu menyebalkan). Atau saat ia berusaha menerbangkan helikopter untuk pertama kali, celetukan “come on, baby” (ayolah, sayang) membuat bulu kudu saya merinding disko karena merasa geli.

Fenomena ini tak hanya menimpa Davis, tapi juga pemeran lain. Ada karakter yang diproyeksikan akan memancing sesungging senyum, tapi gagal sebab tidak pas timing-nya. Di awal film, misalnya, seorang karyawan baru ketakutan setengah mati sebab dikerjai amukan palsu George. Gorila ini punya reputasi jadi yang terjahil di Cagar Alam serta mampu bercanda secara mandiri tanpa arahan Davis.

Beberapa menit pertama di San Diego memang ditujukan untuk damai dahulu. Lalu, cerita masuk ke bagian di saat George sudah terpapar zat yang mengubahnya jadi monster, ditemukan sedang paranoid, fisiknya mulai membesar, dan malam sebelumnya telah membunuh seekor beruang dengan cara mematahkan lehernya “seperti orang mamatahkan tusuk gigi”

Saya mengira ini saatnya untuk serius. George pun mulai mengamuk tak karuan. Ia tak tahan dikurung di kandang khusus. Borgol ia patahkan. Jeruji besi ia rubuhkan. Suasana makin tegang saat ia berlari menjebol tembok kantor Cagar Wisata.

Dan di momen itu, si karyawan baru tiba-tiba terlihat menunduk di bawah reruntuhan tembok sambil terkencing-kencing meracau “tidak lagi.. tidak lagi..”

Saya bingung, mau ketawa, tapi George makin mengamuk di luar gedung.

Kecenderungan serupa juga ditemukan pada sosok Dr. Kate Caldwell (Naomi Harris), seorang mantan pekerja di Energyne yang membantu Davis menenangkan George. Saat berusaha menyelamatkan diri dari puncak gedung Energyne yang sedang runtuh karena diamuk para monster, ia dan Davis memutuskan naik helikopter meski tanpa ekor.

Tentu saja, helikopter jatuh dengan keras. Namun ajaibnya, keduanya selamat tanpa kurang suatu apapun, dan dengan entengnya Caldwell bilang “Aku tak percaya kita bisa selamat”.

Ya, Caldwell, saya dan penonton yang punya akal sehat tak percaya kamu dan rekanmu bisa selamat dari kejadian horor itu. Sebagaimana saya setengah tak percaya (sekaligus cringy) saat Davis akan menemani George berkelahi melawan monster buaya, Caldwell menasbihkan pesan yang akhir-akhir ini sedang jadi tren di film-film aksi: “Cobalah untuk tak terbunuh.”

Davis tentu saja tak mati. Namun kemampuannya bertahan di tengah pertarungan tiga monster raksasa sungguh tak masuk akal. Sang penulis naskah, didukung polesan si sutradara, seperti kena “heroism complex”. Mereka mengukir sosok Davis menjadi manusia setengah dewa yang tak lelah berlarian dan berloncatan menghindari reruntuhan gedung maupun serangan monster sebesar gedung 10 lantai.

Selain nekat dan rasa cinta pada George, modal bertarung Davis adalah sepucuk senjata pelontar bom yang anehnya berefek pada para monster, namun tidak jika yang menggunakan adalah para tentara. Demikian juga saat ia menembak dengan torpedo helikopter. Monster kesakitan. Tapi saat sebelumnya para tentara menembak dari atas udara, monster kebal, dan tetap bandel mengamuk kota.

Tak lupa, Davis tetap menyelipkan celetukan-celetukan (sok) tangguh saat berhadapan dengan para monster. “Ooohh.. sial!”, “Ayo maju sini hajar aku, dasar anak haram jadah!”, atau “tentu saja serigala sialan ini punya sayap.”

“Yeaaahhh...!”

Ada banyak lagi kekonyolan para tokoh yang menandakan tidak seriusnya penulis naskah dalam menjajaki karakter. Terkesan hanya untuk memenuhi kepentingan dua sorotan di atas: heroisme tokoh utama dan humor yang gagal lucu.

Termasuk George, yang sebelumnya mengamuk membabi buta namun bisa jinak seperti sedia kala usai jatuh dari gedung yang runtuh, tanpa penjelasan apapun. Apakah gara-gara kepalanya terbentur lalu kesadarannya otomatis kembali? Entahlah.

infografik rampage

Atau saat ia mengerjai Davis dengan pura-pura mati usai pertarungan final. Betul-betul anti-klimaks yang menggemaskan hanya demi “happy ending” murahan: pahlawan harus tetap hidup, sementara sumber kejahatan musnah.

Kematian antagonis utama, CEO Energyne Claire Wyden (Malin Akerman), juga cukup aneh. Ia dimakan oleh George, di atas gedung, dengan cara dilempar ke atas, lalu masuk ke mulut sang gorila yang menganga. Dramatis, namun menyimpan lubang pertanyaan besar, sebab selama mengamuk George tak pernah sekalipun (terlihat) memangsa manusia.

Film ini memang benar-benar ditujukan untuk ditonton aksinya semata. Bak menonton Godzilla (1998) atau sekuel-sekuel terakhir Transformer. Jika mau belajar dari film lawas Brad Peyton yang dibintangi Dwayne Johnson, kolaborasi selanjutnya kemungkinan akan hadir dalam bentuk yang tak jauh berbeda: aksi berskala besar, melibatkan makhluk-makhluk berbadan besar. Itu saja. Tak lebih.

Sebagai penutup, mari simak potongan dialog paling ujung dari akhir film ini:

“Terima kasih telah menyelamatkan dunia,” kata agen pemerintah Harvey Russel (Jeffrey Dean Morgan).

Davis tersenyum. Teringat gorila kesayangannya pernah lolos dari pesawat Harvey, ia mengajak sekaligus bercanda, “Ayo bawa dia (George) pulang. Tapi kita tidak akan membawanya pakai pesawat. Hehehe.”

Harvey dan Kate tertawa.

Saya hanya bisa meringis, lalu buru-buru keluar studio.

Baca juga artikel terkait RAMPAGE atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Film
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf