Menuju konten utama

Ramai-ramai Tarik Dubes dari Taiwan setelah Digencet Beijing

Taiwan dan El Salvador resmi memutus hubungan diplomatik pada Senin (20/8). Kini, hanya 17 negara di dunia yang menjalin hubungan secara formal dengan Taiwan.

Ramai-ramai Tarik Dubes dari Taiwan setelah Digencet Beijing
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen, tengah, tiba di Silvio Pettirossi International Airport, Asuncion, Paraguay (14/818), dalam acara peresmian universitas kerjasama Paraguay-Taiwan. AP Photo/Marta Escurra

tirto.id - 2018 adalah tahun yang buruk bagi Taiwan. Setelah Burkina Faso dan Republik Dominika, kini giliran El Salvador memutus hubungan diplomatik dengan Taiwan, Senin (20/8).

Dilansir dari Guardian, Kementerian Luar Negeri Taiwan menegaskan telah mengakhiri hubungan bilateral dengan negara Amerika Tengah itu dan menarik semua staf kedubesnya untuk pulang.

Sebelum benar-benar mengakhiri hubungan, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen telah melancarkan upaya negosiasi ulang dengan melawat langsung ke El Salvador. Media-media lokal Taiwan kecewa atas sikap El Salvador. Taiwan News menuduh langkah El Salvador didorong oleh motif ekonomi. Negeri di Amerika Tengah itu dikabarkan sedang butuh bantuan dana untuk membiayai proyek pembangunan pelabuhan La Union.

Pemerintah El Salvador membantah tuduhan tersebut. Juru bicara kepresidenan El Salvador menyebutkan bahwa pemutusan hubungan diplomatik tersebut adalah bagian dari dinamika global.

Pemutusan itu juga tidak dapat dilepaskan dari hubungan Taiwan dan Cina, dua negara tetangga yang selalu bersitegang. Taiwan, sebuah pulau di Asia Timur, terletak sekitar 180 kilometer dari lepas pantai tenggara Cina. Didirikan oleh Chiang Kai Sek setelah kalah perang dengan Pasukan Merah, Taiwan selalu diklaim Cina sebagai provinsinya yang membangkang.

Selama ini hubungan El Salvador dengan Taiwan cukup baik. Dikutip dari Taipei Times, pada 2017, ekspor El Salvador ke Taiwan tumbuh 47 persen dan pertumbuhan ekspor Taiwan ke Salvador mencapai 10 persen. Nilai dagang kedua negara mencapai 200 juta dolar. Mayoritas ekspor El Salvador ke Taiwan berupa produk makanan, seperti gula, kopi, ikan, hingga produk-produk organik.

Taipei Kesepian

Sejak Tsai Ing-Wen dari Partai Progresif Demokratik naik menjadi Presiden Taiwan pada 2016, hubungan Beijing-Taipei anjlok ke titik terendah. Partai Progresif Demokratik memang punya reputasi menolak prinsip "One China Policy" dan bersikukuh Taiwan akan selamanya mandiri dari Beijing.

Selama ini, Beijing masih menganggap pemerintahan Taiwan beroperasi di bawah pemerintahan Cina dan tidak dapat dipisahkan dari negeri panda itu, meski punya mata uang dan pasukan militer sendiri.

Masalah muncul ketika Cina, yang kini menapaki jalan menuju status sebagai negeri adidaya, mengeluarkan kartu as. Beijing tak segan memutus hubungan diplomatik dengan negara-negara yang secara formal mengakui kemerdekaan Taiwan.

Walhasil, pelan-pelan Taiwan kehilangan negara-negara sahabat yang kemudian merapat ke Beijing. Pada 1 Mei 2018, Quartz melaporkan hanya 19 negara yang kini mengakui eksistensi Taiwan setelah Republik Dominika memulangkan dubesnya dari Taipei. Belum genap sebulan, Channel News Asia memberitakan Taiwan kehilangan Burkina Faso yang memutus hubungan diplomatik dengan Taipei. Kedua negara dikabarkan tunduk pada tekanan Beijing.

El Salvador adalah contoh terbaru dari fenomena ini. Senin (20/8) lalu, Presiden El Salvador Salvador Sánchez Ceren, berpidato di televisi dan mengatakan bahwa negerinya memilih menjalin hubungan diplomatik dengan Cina seraya mengumumkan putus hubungan dengan Taiwan.

"Kami yakin ini langkah ke arah yang benar, yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional, hubungan internasional, dan tren yang tak terelakkan hari ini," terang Ceren.

Pilihan Salvador merapat ke Cina disambut hangat oleh pemerintahan di Beijing. Wang Yi, Penasehat Negara menyebut El Salvador sedang membuat keputusan yang tepat.

"Saya yakin bahwa rakyat El Salvador akan merasakan kehangatan, persahabatan, dan manfaat nyata dari kerjasama dengan Cina," ungkap Wang tidak lama setelah menandatangani perjanjian bilateral dengan El Salvador, dikutip dari Reuters.

Dalam situasi seperti ini, Taiwan benar-benar digencet oleh Cina. Kini hanya 17 negara yang menempatkan dubesnya di Taipei. Mayoritasnya adalah negara kecil nan miskin yang tersebar di Amerika Tengah dan Pasifik. Taiwan bahkan juga terancam kehilangan pengakuan diplomatik dari Guatemala dan Honduras.

Sejak 1950-an, hubungan Cina dan Taiwan mengalami pasang surut. Taiwan yang terletak di Pulau Formosa sempat jadi koloni Belanda (1624-1661) dan kemudian beralih ke tangan Dinasti Qing di Cina (1683-1895). Sejak abad ke-17, muncul arus migrasi besar-besaran ke Pulau Formosa. Kekacauan dan faktor ekonomi di Cina Daratan memaksa sebagian besar warga dari provinsi Fujian dan Guangdong menyeberang ke Taiwan.

Pada 1895, setelah kemenangan Jepang dalam Perang Cina-Jepang jilid I, pemerintahan Dinasti Qing menyerahkan wilayah Taiwan ke tangan Jepang. Taiwan baru kembali ke pangkuan Cina ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia Kedua. Dengan persetujuan AS dan Inggris, Taiwan lepas dari Jepang.

Pada akhir Perang Sipil Cina pada 1949, sebagian besar kaum nasionalis Kuomintang yang dipimpin Chiang Kai Sek melarikan diri ke Formosa dan mendirikan negara Republic of China alias Taiwan. Hubungan keduanya mulai membaik pada 1980-an. Beijing sendiri sempat menawarkan otonomi luas kepada Taipei, asalkan bergabung ke Cina. Namun, tawaran itu ditampik Taipei.

Masih Berjaya di eSwatini

Presiden AS Donald Trump dan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen, yang saling memberi selamat ketika keduanya terpilih sebagai presiden, mengharapkan kerjasama yang lebih masif antara Washington dan Taipei. Relasi AS dan Taiwan ini sempat dianggap ancaman bagi Beijing. Ketika Tsai memenangkan pemilu pada 2016, Beijing segera menutup semua jalur komunikasi lintas selat antara Cina dan Taiwan.

AS sendiri serius memantau fenomena pemutusan hubungan diplomatik secara massal dengan Taiwan. Sebagaimana dilaporkan The Straits Times, AS "sangat kecewa" dengan keputusan El Salvador memangkas relasi diplomatik dengan Taiwan demi Cina. Menurut juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Washington akan segera meninjau ulang hubungan diplomatiknya dengan El Salvador.

Pihak AS juga khawatir jika negara kecil seperti El Salvador punya agenda yang lebih besar dengan Cina alih-alih sekadar relasi diplomatik yang baru diteken kedua negara pada 21 Agustus 2018. Kecurigaan AS mengarah pada pendirian pangkalan militer Cina di La Union, proyek pelabuhan El Salvador yang tengah sekarat dan butuh kucuran dana.

Menurut Dubes AS untuk El Salvador, Jean Manes, China ingin mengubah pelabuhan komersial La Union di timur El Salvador menjadi "pangkalan militer". "Ini masalah strategis dan kita semua perlu waspada atas apa yang terjadi," ujar Manes sebagaimana dikutip The Straits Times.

Maret 2018 silam, setelah Trump menandatangani Undang-Undang Perjalanan Taiwan yang memungkinkan kunjungan intensif Washington-Taipei, AS mempertimbangkan membangun pangkalan pelabuhan di Taiwan, sesuatu yang disebut Washington Post belum pernah terjadi sejak 1970-an.

Ketika Kuomintang berkuasa dan Taiwan resmi memakai nama Republik Cina, AS yang memusuhi Beijing pun menempatkan sejumlah pasukan militernya di Taiwan. Pada 1979, seiring meningkatnya ketegangan antara Moskow dan Beijing, Washington resmi menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina dan mencampakkan Taipei.

Infografik Taiwan Kian Kesepian

Di benua Afrika, satu-satunya dukungan untuk Taiwan datang dari negara monarki absolut eSwatini, yang dulunya bernama Swaziland. Diwartakan South China Morning Post (SCMP), pernyataan dukungan eSwatini kepada Taiwan disampaikan ketika Cina menawarkan pembukaan hubungan diplomatik eSwatini - Cina.

Menteri Luar Negeri eSwatini, Mgwagwa Gamedze menolak tawaran Cina dan mengatakan tetap mendukung Taiwan karena keduanya sudah menjalin hubungan lebih dari 50 tahun.

ESwatini yang bekas koloni Inggris adalah salah satu negara terkecil di benua Afrika. Ia berbatasan dengan Mozambik dan Afrika Selatan. Sejak 1986, negara berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa ini diperintah oleh Raja Mswati III.

Dilansir oleh CNN, hingga 2018 Mswati III telah melakukan kunjungan kenegaraan resmi ke Taiwan sebanyak 16 kali. Taiwan pun mengucurkan beasiswa untuk para mahasiswa eSwatini, selain membangun fasilitas medis dan bandara di negeri tak berpantai itu. Kalangan oposisi di eSwatini, Gerakan Demokrasi Rakyat misalnya, memandang bahwa bantuan Taiwan selama ini lebih banyak menguntungkan elite-elite kerajaan.

Ukuran mini negara eSwatini sangat menguntungkan Taiwan, yang proyek-proyeknya dikabarkan mampu mencukupi kebutuhan rakyat eSwatini. Namun, di beberapa daerah seperti kota kecil Msunduza, warga bahkan merasa belum mendapat manfaat apapun dari kerjasama Taiwan–eSwatini. Di sisi lain, mereka takut mengkritik sang raja. Di bawah kepemimpinan Mswati III, kelompok-kelompok oposisi dan pro-demokrasi diberangus dan kerap dituding sebagai teroris.

Bulan depan, KTT Forum Kerjasama Cina dan Afrika yang bakal diselenggarakan Beijing tampaknya akan jadi kesempatan buat Cina untuk kembali melobi eSwatini agar mau melepas Taiwan dan mendekat ke Beijing.

Baca juga artikel terkait HUBUNGAN DIPLOMATIK atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf