Menuju konten utama
Proyeksi 2019

Ramai-Ramai Menista Sains: Potret Bencana Alam Indonesia 2018

Tiga bencana besar melanda Indonesia sepanjang 2018. Sebagian masyarakat mengaitkannya dengan persoalan politik, agama, dan kondisi masyarakat yang tidak berhubungan dengan gempa. Sementara pemerintah mengabaikan sains.

Ramai-Ramai Menista Sains: Potret Bencana Alam Indonesia 2018
Sejumlah pengendara kendaraan bermotor melintas di salah satu jalan di kota Palu, Sulawesi Tengah, Minggu (28/10/2018). ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah

tirto.id - Dering telepon genggam memecah keheningan malam Widjo Kongko, Sabtu (22/12). Jam sudah menunjukkan pukul 22.30. Perekayasa di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tersebut tidak biasa ditelepon orang pada larut malam.

"Ada tsunami. Yang mengungsi sudah ribuan," ujar penelepon yang ternyata adalah kawannya, salah seorang tokoh desa wisata Banyu Biru, Labuhan, Kabupaten Pandeglang, Banten. Nada bicaranya menunjukkan kepanikan.

Widjo tak lekas percaya. Dia, kemudian, membuka aplikasi WhatsApp dan mengecek perbincangan anggota grup jaringan kantornya. Anggota grup ramai membicarakan informasi yang diperoleh dari stasiun pengamatan pasang-surut di Serang (Banten), Kotaagung dan Panjang (keduanya di Lampung).

"Teman-teman belum bisa menentukan itu tsunami atau bukan karena tidak ada gempa; tidak ada apa gitu. Itu kira-kira jam 11.30 [malam]," ujar Widjo kepada Tirto (27/12).

Widjo lantas menelaah data gelombang laut. Ia menyimpulkan bahwa gelombang itu adalah tsunami. Tapi ada hal lain yang ia pikirkan. "Kalau benar itu tsunami, di mana sumbernya? Bagaimana itu bisa terjadi?," ujarnya waktu itu.

"Saya lihat ada aktivitas erupsi Krakatau. Saya bilang, enggak mungkin kalau meteo-tsunami karena tidak ada badai dan di daerah tidak ada informasi soal perubahan iklim yang ekstrem. Saya menyimpulkan di awal bahwa sumbernya Krakatau. Karena erupsi Krakatau tidak besar, saya simpulkan juga sumber itu ialah flank collapse," ujar Widjo.

Pada Sabtu malam hingga Minggu (23/12) pagi, gelombang yang menerjang Banten dan Lampung tidak dinyatakan sebagai tsunami. Sekitar pukul 1 dini hari, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) manyatakan gelombang yang menghempas kawasan Anyer (Banten) dan Lampung itu bukan tsunami. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga menyatakan "Peristiwa Tsunami di Pantai Barat Banten Tidak Dipicu oleh Gempabumi" melalui cuitannya pada Minggu pukul 8.31 pagi.

Selang beberapa jam, BMKG dan BNPB meralat informasinya. Kedua lembaga yang bertanggung jawab langsung kepada presiden itu menyampaikan tsunami telah menghantam Banten (di Serang dan Pandeglang) dan Lampung (di Lampung Selatan).

Longsoran bagian tubuh Gunung Anak Krakatau seluas 64 hektar diduga BMKG, BNPB, dan juga Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) sebagai penyebab tsunami. Akibatnya, 430 meninggal, 1.495 luka-luka, dan 159 dinyatakan hilang menurut data BNPB per 26 Desember 2018.

Penyesalan Setelah Heboh "Tsunami 57 Meter"

Widjo bukan orang baru di ranah penelitian tsunami. Pada 2004, ia menyelesaikan tesis bertajuk "Study on Tsunami Energy Dissipation in Mangrove Forest" untuk studi magisternya di Iwate University. Dua belas tahun kemudian, ia menulis disertasinya untuk program doktor Teknik Pantai, Leibniz University, Jerman, bertajuk "South Java Tsunami Model Using Highly Resolved Data and Probable Tsunamigenic Sources" (2012).

Ucapannya memicu kehebohan pada April 2018 silam. Pada 3 April 2018, BMKG menyelenggarakan seminar dengan topik "Sumber-sumber Gempa Bumi dan Potensi Tsunami di Jawa Bagian barat". Kabid Mitigasi Bencana Persatuan Insinyur Indonesia (PII) itu diundang untuk menyampaikan presentasi di seminar itu. Ia memaparkan potensi tsunami di sejumlah daerah yang bersumber dari gempa megathrust berdasarkan pemodelan. Di salah satu bagian pemaparan itu, Widjo mengatakan bahwa daerah Pandeglang, Banten berpotensi diterjang tsunami setinggi 57,1 meter.

"Tsunami setinggi 57 meter" itu dijadikan judul berita oleh sejumlah media dan memantik respons warganet. Kepanikan massal terjadi sehingga BMKG dan BNPB mengumumkan klarifikasi. BPPT, tempat Widjo bekerja, akhirnya menyampaikan permohonan maaf secara resmi.

"Masyarakat tidak perlu khawatir dengan pemberitaan ini. Permohonan maaf BPPT kepada masyarakat Indonesia yang terdampak sekiranya hasil studi awal Potensi Tsunami di Jawa Bagian Barat, yang seharusnya hanya untuk konsumsi akademis ini, telah membuat keresahan masyarakat," kata BPPT melalui keterangan tertulis.

Kehebohan itu pun membuat Kepolisian Daerah Banten berencana memanggil Widjo. "Polda Banten akan ambil sikap dengan adanya permasalahan ini (kajian tsunami). Ini kan masih butuh dibuktikan lagi kajiannya," kata Direktur Kriminal Khusus Polda Banten Kombes Pol Abdul Karim, Jumat (6/5/2018).

Widjo menilai wajar sikap pihak kepolisian yang hendak memanggilnya. Namun, ia mengatakan kehebohan "Tsunami 57 meter" itu muncul karena media kurang tepat menyampaikan informasi.

"Karena mereka tugasnya melayani masyarakat, terus dapat komplain keresahan dari masyarakat, dari investor, atau yang lain. Barangkali juga dari pengelola hotel wisata yang merasa dirugikan di pantai berdasarkan informasi viral itu," ujar Widjo.

Namun, Widjo mengatakan dirinya tidak sampai dipanggil pihak kepolisian.

"Istilah dipanggil Polda Banten enggak cocok deh. Saya hanya ditelpon saja oleh Polda Banten. Terus saya sampaikan klarifikasi. Kami juga jadi was-was. Masak peneliti ngomong di seminar kemudian jadi seolah-olah diperkarakan," kata Widjo.

Yang disesalkan Widjo adalah fakta bahwa kontroversi yang bergulir di media sosial ternyata tak jadi apa-apa kecuali sensasi. Ia membayangkan apabila ucapannya di seminar ditanggapi secara baik-baik oleh semua pemangku kebijakan soal kebencanaan, mulai dari BMKG, BNPB, BPBD, Pemerintah Daerah (Pemda), dan aparat, mereka akan datang mengklarifikasi lalu menyiagakan diri untuk mengantisipasi bencana yang berpotensi datang.

Skema tsunami yang diuraikannya di seminar dan yang terjadi Sabtu kemarin memang berbeda. Yang dijelaskannya di seminar terjadi karena megathrust di zona subduksi selatan Jawa, sedangkan tsunami yang menerjang Sabtu kemarin terjadi karena Gunung Krakatau. "Tetapi, lokus (wilayah terdampaknya) sama, yakni Banten," katanya.

"Susun rencana kontijensi atau rencana lain, itu kan positif. Kalau itu dilakukan, yang terjadi mungkin bakal berbeda. Dampak tsunami yang sekarang bisa agak diminimalisir. Kita lebih suka pro-kontra dan ribut-ributnya sehingga hasil itu juga tidak ada mitigasi yang lebih baik lagi," kata Widjo.

Narasi Azab

Tsunami yang melanda Banten dan Lampung hanya dua dari sekian bencana alam di Indonesia pada 2018. Dua yang terbesar lainnya adalah gempa disertai tsunami di Sulawesi Tengah (Sulteng) dan gempa di Nusa tenggara Barat (NTB).

Dua gempa besar menerjang Lombok, NTB, pada akhir Juli dan awal Agustus 2018. Sebelum rentetan gempa tersebut, dalam ingatan Jauzy, Lombok tidak pernah dilanda gempa. Pria berusia 55 tahun itu juga tak pernah dengar kisah seputar gempa di Lombok. "Orang bilang kami bukan daerah gempa di sini," ujar warga Mataram, kota di tepi barat Lombok, kepada Tirto.

Akibat gempa berkekuatan 7 skala Richter pada Minggu (5/8) malam, genting di rumah Jauzy berjatuhan. Beberapa dinding pun retak. Sepekan sebelumnya, Minggu (29/7), gempa berkekuatan 6,4 skala Richter juga menggoyang Lombok. Berdasarkan laporan BNPB per 1 Oktober 2018, sebanyak 564 warga Lombok meninggal dan 1.584 lainnya luka-luka dibuatnya. Kerusakan paling parah terjadi di Lombok bagian utara.

Setelah dilanda gempa, pandangan Jauzy soal pulau yang dihuninya berubah. Ia mengaku jadi tahu keberadaan Sesar Flores yang selama ini membentang di utara Lombok. Retakan lapisan kulit bumi itu memanjang dari sebelah utara Bali sampai ke utara pulau Flores. Pergerakan sesar itulah yang menyebabkan dua gempa besar disertai gempa-gempa kecil di Lombok medio 2018 silam.

Belum sembuh luka warga Lombok, gempa setara 7,7 skala Richter terjadi akibat pergerakan Sesar Palu-Koro pada Jumat (28/9). Gempa tidak hanya menggoyang pemukiman warga Kota Palu dan Kabupaten Donggala di Sulteng, tetapi juga memicu tsunami.

Tinggi air laut saat tsunami di pantai Palu mencapai 1,5 meter. Gempa itu juga menyebabkan likuifaksi (pencairan tanah) di sejumlah wilayah Kabupaten Sigi. Menurut data BNPB per 20 Oktober 2018, sebanyak 2.113 orang meninggal dan 4.612 luka-luka akibat gempa Palu-Donggala.

Selagi Jauzy berusaha memahami skema Sesar Flores yang membuat tanah yang dipijaknya bergoyang hebat, sebagian masyarakat menganggap pelbagai bencana terjadi karena tingkah laku sebagian penduduk atau pemimpin daerah tersebut.

Di kasus gempa Lombok, dukungan mantan gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi kepada Jokowi disinyalir menjadi penyebab bencana oleh sejumlah pihak. Hal-hal semacam itu dapat ditemukan di kolom komentar unggahan Instagram Zainul bertanggal 1 Agustus 2018.

“Gempa dan tsunami Aceh tanggal 26 Desember 2004, sehari sebelumnya ada perayaan Natal bersama dengan pakaian kerudung, kopiah dan disiarkan secara live. Jangan pernah mempermainkan agama. NTB kena gempa 2 kali setelah TGB mendukung pelindung penista agama. Banyak-banyak istighfar," tulis seorang komentator di akun Instagram Zainul.

Gempa dan tsunami yang melanda Palu-Donggala pun tidak lepas dari tafsir mistis. Sebuah artikel mengaitkan gempa dengan meningkatnya jumlah LGBT di Kota Palu. Sedangkan Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Sobri Lubis mengatakan bencana terjadi setelah Sugi Nur Raharja alias Gus Nur, seorang pemuka agama Islam yang berasal dari Palu, ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik.

"Gus Nur tersangka, Palu langsung gempa bumi, dibayar tunai," kata Sobri, Sabtu (29/9) malam.

Laporan BBC News Indonesia soal gempa Palu-Donggala turut membeberkan pandangan saintifik dan mistik mengenai penyebab bencana bisa saja bertumpuk dalam diri seseorang. Warga kampung Kabonena, Kota Palu bernama Akbar mengakui bencana tersebut terjadi karena pergeseran Sesar Palu-Koro. Namun, ia juga percaya Festival Nomoni yang digelar pemerintah Kota Palu juga menjadi penyebab gempa. Bagi Akbar, festival itu bersifat syirik atau menyekutukan Tuhan.

"Katanya sih ada lempengan (bumi) yang melalui Palu. Tapi, menurut saya, salah-satu faktor utama adalah (praktik) mistis (yang digelar dalam Festival Nomoni di Kota Palu)," ujar Akbar, seperti dilansir BBC News Indonesia.

Aparat tampaknya gagap merespons kabar yang sebetulnya didukung argumen ilmiah. Tak hanya menimpa Widjo, kasus serupa dialami oleh warga Sidoarjo bernama Uril Unik Febrian. Ia diciduk Satres Cyber Crime Polda Jatim setelah unggahannya di Facebook mengabarkan perihal kewaspadaan akan gempa besar megathrust yang berpotensi terjadi di Pulau Jawa, termasuk Jakarta. Oleh pihak kepolisian, Uril dituduh menyebarkan hoaks meski akhirnya hanya dikenai wajib lapor.

“Lombok dalam sehari ini sudah dilanda Gempa sebanyak 3x dengan kekuatan 6,5-6,0-7,0 SR jika Gempa berkelanjutan hingga besok maka perkiraan BMKG mengenai MEGATHRUST Pulau Jawa sangat mungkin terjadi khususnya Jakarta yg diperkirakan besarnya mencapai 8,9SR,” tulis Uril dalam statusnya di akun Facebook pada Selasa (2/10/2018).

"Jangan Takut-takuti Masyarakat Kami"

Ketika gempa dan tsunami melumat Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Trinirmalaningrum tengah sibuk menyusun laporan Tim Ekspedisi Palu-Koro. Perempuan yang akrab disapa Rini itu adalah ketua tim tersebut. Beranggotakan 12 orang berlatar keilmuan geologi, antropologi, dan sosiologi, tim ekspedisi itu menyelesaikan penyusuran Sesar Palu-Koro tahap pertama pada Maret 2017.

Hasil ekspedisi tersebut menunjukkan Palu-Koro sebagai salah satu sesar paling aktif di Indonesia. Berdasarkan analisis wilayah yang diduga dilewati sesar, ada bukit di Omu, Kabupaten Sigi, yang bergeser saat gempa melanda wilayah itu pada 2012. Data Tim Ekspedisi Palu-Koro pada 2018 menyatakan bukit itu sudah bergeser lagi sejauh 520 meter.

Infografik Bencana Alam di 2018

Infografik Bencana Alam di 2018

"Kami melihat ada bekas galian untuk melihat susunan tanah sehingga kami tahu pada 1909 pernah terjadi gempa berskala 7. Kami juga mewawancarai orang untuk mengetahui pengalaman-pengalaman mereka [soal gempa]. Itu bahan yang kami tunjukkan ke Pak Longki. Kami kasih lihat [ke Longki] garis merah Sesar Palu-Koro yang memotong Kota Palu. Kami sampaikan 30 meter dari Sesar itu zona aman," ujar Rini kepada Tirto.

Hasil itu pula yang dibawa Tim Ekspedisi Palu-Koro ke hadapan Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng) Longki Djanggola pada pertemuan 30 Juli 2018.

Namun menurut Rini, Longki tidak tertarik dengan apa yang disampaikan Tim Ekspedisi. "Kami sudah tidak percaya sama geolog. Jangan takut-takuti masyarakat kami," ujar Rini menirukan ucapan Longki.

Longki turut mengatakan harga-harga tanah di Kota Palu pernah turun dan kota itu tidak diminati investor setelah seorang peneliti pada 1978 menyatakan Kota Palu berpotensi tenggelam. Longki takut hal serupa terjadi apabila ia mengungkap temuan Tim Ekspedisi Palu-Koro kepada publik.

"Nanti takut para investor sama omongan kau dan teman-teman kau," ujar Longki, seperti dituturkan Rini.

Meski diskusi berjalan alot, Rini sedikit senang karena Longki mempersilakan timnya berbicara kepada kantor dinas Sulteng. Namun, dari sekian banyak dinas yang timnya hubungi, hanya Dinas Pariwisata saja yang tertarik.

Mengabaikan Sains?

Setelah pertemuan itu, Rini bersama tim melanjutkan ekspedisi penyusuran Sesar Palu-Koro tahap kedua pada Agustus 2018. Pada 22 September 2018, timnya menemukan dokumen rencana kontijensi gempa bumi dan tsunami di Kota Palu di BNPB.

"Saya baca rencana kontinjensinya. Disebutkan skenario gempa berkekuatan 7 skala Richter dengan kedalaman 10 km di Donggala. Masyarakat panik. Beberapa lari ke atas bukit. Disebutkan korbannya sebanyak 2000 orang. Lampu padam. Jembatan yang kuning itu runtuh. Skenarionya persis seperti yang kemarin [yang terjadi pada 28 September 2018]," ujar Rini.

Rencana kontinjensi itu dibuat pada 2012. Rini mengatakan setiap tahun semestinya ada simulasi menghadapi bencana berdasarkan skenario itu. Simulasinya kemudian dievaluasi. Namun, simulasi tidak dilakukan dan otomatis tidak ada evaluasi terhadap rencana kontijensi.

"Dokumen rencana kontijensinya ada. Pelatihan enggak ada. Evaluasinya pun enggak ada. Padahal, bikin dokumen seperti itu menghabiskan dana miliaran rupiah," ujar Rini.

Rini menyebutkan kebijakan pemerintah terkait bencana dibuat tanpa memperhatikan riset-riset yang digali sebelumnya. Ia ragu jika pembenahan Palu setelah bencana juga dilakukan berdasarkan riset.

"Pertanyaannya, Kota Palu ini bakal disusun berdasarkan peta resiko atau peta bencana [yang dibikin setelah kejadian]? Soalnya, banyak wilayah [yang sebelumnya masuk zona] merah [bencana] yang jadi hijau. Misalnya, wilayah Duyu akan dijadikan hunian tetap. Padahal, itu punya potensi wilayah longsor," ujar Rini.

Menurut Rini, rekomendasi zona tersebut dibuat berdasarkan riset. Kalau tak diperhatikan, tambahnya, artinya pemerintah menggampangkan hilangnya nyawa masyarakat akibat bencana.

"Bagaimana pun hasil riset bukan untuk kemudian [dilawan], seperti Pak Longki yang melawan hasil riset. Padahal, itu bisa didialogkan. Pak Widjo Kongko dipanggil kepolisian karena dianggap meresahkan masyarakat. Padahal, itu kan hasil riset yang berdasarkan peristiwa yang kita catat. Kalau bencana 'kan skenarionya yang terburuk," ujar Rini.

Baca juga artikel terkait TSUNAMI SELAT SUNDA atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Windu Jusuf