Menuju konten utama

Ramai-ramai Desak Uniqlo Bayar Utang Upah ke Mantan Buruh

Uniqlo dinilai gagal mencegah terjadinya kasus ketidakadilan upah pekerja.

Ramai-ramai Desak Uniqlo Bayar Utang Upah ke Mantan Buruh
Toko Uniqlo terbesar dunia di Shanghai.Uniqlo adalah ritel pakaian Jepang. Ini beroperasi di banyak negara termasuk AS. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Nisrina Nadhifah Rahman geram melihat potret mantan pekerja perusahaan garmen Jaba Garmindo tersebar di media sosial. Foto protes terhadap perusahaan retail Uniqlo yang dianggap tidak membayar upah pekerja dengan layak tersebut jadi bahan unggahan dan pembahasan publik di media sosial belakangan ini.

Perempuan 24 tahun yang akrab dipanggil Ninies itu selalu tertarik pada isu bisnis dan hak asasi manusia itu pun merasa terpanggil melakukan aksi guna membantu para pemrotes dan mengedukasi publik soal industri tekstil fast fashion.

Jumat 12 April 2019 lalu, Ninies dan beberapa kawan yang aktif dalam komunitas Purple Code menggagas acara garage sale sebagai penggalangan dana bagi eks-pekerja tekstil, pemutaran film, dan diskusi seputar sisi kelam industri fast fashion. Ia menyebarkan informasi acara dadakan itu di Twitter.

“Kami dianggap mau memboikot Uniqlo dan disangka mendapat dukungan dari perusahaan retail besar lain. Padahal acara ini ada karena kami mau menawarkan perspektif alternatif dalam memandang kasus protes buruh dan siklus fesyen cepat,” katanya saat ditemui Tirto di markas Purple Code, Tebet Timur, Jakarta Selatan, 12 April lalu.

Ia bilang tidak berniat melarang publik mengenakan busana produk retail ternama. “Tetapi ada baiknya kalau siklus penggunaannya diperpanjang sehingga baju tidak cepat jadi sampah. Salah satu caranya dengan jual-beli baju second hand.”

Gagasan Ninies bersambut. Malam itu ruangan yang memuat tumpukan baju selalu didatangi kaum muda. Namun tak diketahui apakah mereka hanya ingin melihat-lihat baju saja atau datang untuk acara yang diselenggarakan.

Beberapa menit sebelum acara dimulai, Ninies mengaku belum bisa memastikan ke mana dana tersebut akan disalurkan. Jawabannya, imbuh Ninies, baru bisa didapat setelah ia bertemu pengacara eks-pekerja dan sejumlah mantan buruh yang melakukan protes. Pertemuan tersebut rencananya akan dilakukan pada Minggu ini.

Kabar soal utang upah kerja antara Jaba Garmindo sudah tersebar sejak 2014. Laporan Workers Rights Consortium yang terbit pada 21 Desember 2015 menyebut pada 2014 pekerja melayangkan protes terhadap perusahaan karena dianggap melanggar ketentuan kontrak kerja, melakukan PHK terhadap pekerja yang sedang hamil tanpa alasan jelas, meniadakan uang lembur, tak menyediakan ruang kerja yang sehat dan aman, dan tidak mendukung aktivitas serikat pekerja perusahaan.

Selama beroperasi, Jaba Garmindo bekerjasama dengan beberapa lini fesyen seperti S.Oliver, Jack Wolfskin, Roxy, Trutex, H&M, dan Uniqlo.

Tak lama setelah berbagai tuntutan diajukan, perusahaan menyatakan bangkrut. Hal tersebut membuat pihak perusahaan berutang kepada 4000 pekerja. Total uang yang mesti diberikan kepada seluruh pekerja mencapai Rp141 miliar.

Kementerian Ketenagakerjaan memutuskan pemilik Jaba Garmindo wajib membayarkan upah kepada seluruh pekerja. Tapi langkah tersebut mustahil dilakukan karena aset yang tersisa telah diserahkan pada pihak kreditur—dalam hal ini sejumlah bank yang memberi pinjaman dana ke pemilik perusahaan.

Hal ini membuat gaji pekerja jadi terkatung-katung. Workers Rights Consortium (WRC) menyarankan agar sejumlah mitra kerja Jaba Garmindo turut membantu membayarkan upah pada para pekerja meski bukan mereka yang menyebabkan kebangkrutan.

WRC menganggap sejumlah perusahaan tersebut (termasuk Uniqlo) punya kewajiban untuk membantu karena mereka bagian dari Fair Labor Organization yang mengutamakan prinsip keadilan dalam memberi upah terhadap pekerja—termasuk dari sisi perusahaan penyuplai.

Dalam kasus ini, WRC menilai Uniqlo lalai melakukan proses pencegahan agar kasus ketidakadilan upah pekerja tidak terjadi. Uniqlo juga dianggap tidak mematuhi prinsip keberlanjutan yang telah mereka tetapkan dalam perusahaan.

Infografik Jaba Garmindo

undefined

Ketimbang menginvestigasi atau membantu perusahaan garmen keluar dari masalah, Uniqlo memutuskan untuk mengakhiri kerjasama dengan Jaba Garmindo pada 2014. Alasannya, perusahaan tidak menghasilkan produk yang berkualitas. Akibatnya, kondisi keuangan Jaba Garmindo kian memburuk.

Akhir November 2018, Fast Retailing—perusahaan induk Uniqlo—menyatakan telah bertemu perwakilan eks pekerja Jaba Garmindo dan membuat beberapa kesepakatan. Tapi, pihak perusahaan memilih merahasiakan kesepakatan tersebut.

Pertemuan diadakan beberapa lama setelah dua orang eks-pekerja Jaba Garmindo yakni Warni Napitupulu dan Tedy Senadi Putra berdemo di salah satu gerai Uniqlo di Tokyo, Jepang guna menuntut pembayaran upah.

Pertemuan ini juga dampak dari kampanye PayUp Uniqlo yang diinisiasi Clean Clothes Campaign, LSM internasional yang membantu proses advokasi pekerja di sektor garmen. Gerakan tersebut bertujuan menghimbau berbagai perusahaan agar menunda kerjasama dengan Uniqlo sampai perusahaan tersebut menyelesaikan urusan pembayaran gaji pegawai eks-penyuplai perusahaan.

Pihak Clean Clothes merencanakan kampanye dengan melakukan aksi demonstrasi di sejumlah negara yaitu Inggris, Denmark, Jerman, Belanda, Swedia, Spanyol, Hong Kong, Indonesia, dan Jepang.

Potret pekerja yang tersebar beberapa minggu lalu ialah bagian dari PayUp Campaign ini.

Baca juga artikel terkait FASHION atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Windu Jusuf