Menuju konten utama
Periksa Data

Ramai PHK di Perusahaan Teknologi, Ada Apa?

Mengapa banyak perusahaan teknologi melakukan pemecatan karyawan?

Ramai PHK di Perusahaan Teknologi, Ada Apa?
Logo baru Meta dan sebuah ponsel cerdas yang menampilkan logo Facebook terlihat di ilustrasi yang diambil pada 28 Oktober 2021. (ANTARA FOTO/REUTERS/Dado Ruvic/Illustration/File Photo/aww/RAP)

tirto.id - Jelang tutup tahun 2022 bukanlah menjadi waktu yang baik bagi perusahaan teknologi. Pasalnya, beberapa perusahaan terpaksa memberhentikan ribuan karyawannya. Dalam kurun waktu Oktober hingga November 2022, beberapa perusahaan teknologi besar seperti Meta, Twitter, Microsoft, dan lainnya mengumumkan pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan karyawannya.

Beberapa perusahaan lain seperti Intel dan Spotify juga memangkas biaya operasional perusahaan, selain melakukan PHK.

Pada 10 November, Meta, perusahaan teknologi yang merupakan induk platform media sosial Facebook, mengumumkan bahwa perusahaan memberhentikan sebanyak 11.000 pekerja atau sekitar 13 persen dari total karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut. Pemecatan itu diumumkan oleh CEO Meta, Mark Zuckerberg, lewat surat kepada karyawannya.

Mengutip dari laman Meta, Mark Zuckerberg menuliskan, “Hari ini saya membagikan beberapa perubahan tersulit yang pernah terjadi dalam sejarah Meta. Saya telah memutuskan untuk mengurangi sekitar 13 persen dari tim dan melepaskan lebih dari 11.000 karyawan berbakat. Kami juga mengambil sejumlah langkah tambahan untuk perampingan perusahaan dan efisien dengan memotong pengeluaran tidak perlu dan memperpanjang pembekuan perekrutan hingga Q1 2023.”

Mark juga menulis bahwa ia bertanggung jawab atas keputusan ini dan bagaimana Meta bisa sampai pada tahap ini.

Beberapa hari sebelumnya, yakni pada 4 November, Twitter juga melakukan pemecatan terhadap sekitar setengah dari total karyawannya. Hal ini menyusul finalisasi akuisisi Twitter oleh bilyuner Elon Musk pada 28 Oktober lalu, menukil dari Reuters. Sebelum memecat karyawan-karyawan tersebut, Musk sebelumnya juga memecat para petinggi Twitter, termasuk Chief Executive Twitter Parag Agrawal dan Chief Financial Officer Ned Segal. Pasalnya, ia menuduh mereka telah menipu dirinya dan para investor Twitter lain soal jumlah akun palsu di platform media sosial tersebut.

Tidak hanya Twitter dan Meta, Amazon yang berfokus pada e-commerce, cloud computing, iklan digital, streaming digital, dan kecerdasan buatan juga dikabarkan akan melakukan PHK terhadap 10.000 karyawannya. Menurut laporan New York Times, PHK akan dimulai pada minggu kedua November, dan akan berfokus pada mereka yang bekerja pada Alexa, perangkat yang dikembangkan Amazon, divisi retail, dan divisi humaniora.

PHK sendiri akan dilakukan secara bertahap, alih-alih dilakukan sekaligus terhadap seluruh pekerjaan. Sementara itu, pengurangan sebesar 10.000 karyawan akan setara 3 persen dari total seluruh karyawan.

Selain deretan perusahaan besar tersebut, Tirto juga mencatat pemecatan yang dilakukan platform pembayaran digital Stripe, layanan musik digital Spotify, perusahaan perangkat lunak penyedia layanan customer relationship management/CRM Salesforce, Microsoft, Intel, dan beberapa perusahaan lain seperti Zillow (online real estate marketplace), Snap (perusahaan di belakang Snapchat), dan Robinhood (aplikasi trading).

Selain itu, Tirto juga mencatat tren pemecatan terjadi di Asia hingga Indonesia. The Strait Times mengabarkan bahwa Shopee Singapura minggu ini mulai melakukan pemecatan, setelah dua pemecatan lainnya tahun ini. Hal ini disebabkan perusahaan induknya, Sea Limited, kesusahan mencari profit.

Sebagai tambahan informasi, pada September lalu Sea Limited juga melakukan pemecatan terhadap 3 persen dari karyawan Shopee Indonesia, menukil dari Bloomberg. Jika melihat data iPrice per kuartal 2 2022, Shopee Indonesia kurang lebih memiliki 6.200 karyawan, sehingga jumlah orang yang dipecat kurang lebih sekitar 180 orang.

Secara total, Sea telah merumahkan setidaknya 7.000 karyawan dalam 6 bulan terakhir, setara 10 persen jumlah total karyawannya, per 14 November, menurut The Information. Sejak September hingga kini, karyawan Shopee yang terdampak berbasis di Singapura, China, Thailand, dan juga Indonesia.

Perusahaan lain yang dikabarkan akan melakukan pemecatan massal adalah PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk atau GOTO. GOTO merupakan perusahaan digital dengan 14 anak perusahaan di Indonesia dan beberapa negara Asean lainnya. Perusahaan ini menyediakan layanan transportasi on-demand (Gojek), e-commerce (Tokopedia), dan layanan keuangan (GoTo Financial).

Pada townhall 18 November, GOTO mengumumkan melakukan PHK pada 1.300 karyawan, atau 12 persen total tenaga kerja mereka, menukil dari Kompas. Sebelumnya, kabar PHK ini telah dilaporkan oleh Bloomberg pada 11 November lalu.

Hingga akhir Juni 2022 lalu, GOTO tercatat memiliki sekitar 9.630 karyawan tetap, menukil dari laporan keuangan mereka di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Mengapa Perusahaan PHK Massal?

Mark Zuckerberg mengatakan pada laman Meta, di masa awal pandemi, dunia bertransformasi secara daring dan lonjakan e-commerce menyebabkan pertumbuhan pendapatan yang sangat besar. Banyak yang memperkirakan akselarasi transformasi ini akan terjadi secara permanen, bahkan setelah pandemi berakhir.

“Saya juga melakukannya, dan membuat keputusan untuk meningkatkan investasi dengan signifikan,” jelas Mark dalam suratnya. Sayangnya, hal ini tidak berjalan seperti yang diharapkan. Tidak hanya jual beli online yang kembali ke tren sebelumnya, tapi juga penurunan ekonomi makro, meningkatnya persaingan, dan hilangnya pengiklan telah menyebabkan pendapatan jauh menurun.

Hal serupa juga terjadi pada Twitter. Elon Musk, pemilik Tesla dan SpaceX yang baru-baru ini membeli Twitter, mengabarkan lewat cuitan pada akun pribadinya.

"Mengenai pengurangan karyawan yang terjadi di Twitter, sayangnya tidak ada pilihan lain ketika perusahaan merugi lebih dari 4 juta dolar AS per hari,” cuit Musk pada 5 November lalu.

Sementara itu, Co-founder dan mantan CEO Twitter, Jack Dorsey mengatakan bahwa dia bertanggung jawab atas keputusan mempekerjakan terlalu banyak orang dalam beberapa tahun terakhir.

"Saya bertanggung jawab atas situasi yang terjadi: saya mengembangkan perusahaan terlalu cepat. Saya minta maaf untuk itu," cuit Dorsey lewat akun pribadinya.

Menukil Washington Post, raksasa digital Silicon Valley terpaksa mengelola sumber daya mereka dalam lingkup ekonomi yang tidak pasti. Beberapa pengiklan misalnya mengurangi pengeluaran karena inflasi yang menyebabkan ketidak stabilan pasar.

Selain itu, pandemi dan pembatasan sosial juga membuat lebih banyak orang beralih ke media sosial dan membuat akses internet meningkat drastis.

Meta sendiri menghadapi lebih banyak persaingan dengan TikTok dan Snapchat. Sayangnya, metode pengiklanan yang menargetkan pengguna secara spesifik dan membuat Meta menjadi raksasa ekonomi, tidak lagi berjalan sejak Apple memperkenalkan pilihan pembatasan privasi yang memungkinkan aktivitas pengguna tidak terlacak di internet.

Jika melihat laporan keuangan Meta pada kuartal 3 2022, perusahaan tersebut melaporkan penurunan pendapatan sebesar 4 persen year-on-year pada Kuartal 3 2022, menjadi 27,7 miliar dolar AS, dari periode yang sama tahun lalu sebesar 29 miliar dolar AS.

Laba bersih mereka juga terpangkas signifikan sebanyak 52 persen pada periode yang sama, dari 9,1 miliar dolar AS pada Januari-September tahun lalu, menjadi 4,4 miliar dolar AS pada tahun ini.

Sementara itu, pengeluaran perusahaan melonjak hingga 19 persen.

Mengutip New York Times, biang keroknya bisa jadi investasi mereka di proyek metaverse. Meta mengatakan, divisi Reality Labs mereka, yang bertanggung jawab terhadap metaverse, telah kehilangan sebesar 3,7 miliar dolar AS, setelah kehilangan sebesar 2,6 miliar dolar AS pada tahun sebelumnya.

Masalah keuangan juga menimpa Sea Limited dan GoTo.

Mengutip laman resmi Sea Grup, total pendapatan Sea Group per kuartal 2 2022 mencapai 2,9 miliar dolar AS, naik 29 persen secara tahunan. Namun, Sea menanggung pembengkakan rugi bersih. Total kerugian bersihnya mencapai 931,2 juta dolar AS per kuartal kedua 2022, dibandingkan dengan 433,7 juta dolar AS pada periode yang sama pada 2021.

Naiknya kerugian Sea tersebut sebagian disebabkan beban operasional Sea yang tumbuh 52,3 persen secara tahunan menjadi 1,92 miliar dolar AS.

Sementara GOTO sendiri juga melihat kerugian mereka melonjak di kuartal 2 tahun 2022 ini, meskipun pendapatan mereka naik. Pada kuartal 2, rugi mereka membengkak lebih dari dua kali lipat dari Rp 6,28 triliun pada Januari-Juni tahun lalu, menjadi Rp 13,64 triliun tahun ini.

Padahal, pendapatan bersih GOTO terus mengalami kenaikan pada 2018 hingga 2022. Dari Rp 1,43 triliun pada 2018, naik menjadi Rp 2,30 triliun pada 2019. Kemudian meningkat lagi menjadi Rp 3,32 triliun pada 2020, dan menjadi Rp 4,53 triliun pada 2021.

Pada Kuartal 2 2022, pendapatan GOTO diketahui sebesar Rp 3,39 triliun, naik 73 persen dari Rp 1,96 triliun pada periode yang sama tahun lalu.

Terkait PHK yang mereka lakukan, manajemen GOTO juga mengakui bahwa tantangan makro ekonomi global berdampak signifikan bagi para pelaku usaha di seluruh dunia.

GOTO, seperti layaknya perusahaan besar lainnya, disebut perlu beradaptasi untuk memastikan kesiapan perusahaan menghadapi tantangan ke depan.

"Karena itu, perusahaan harus mengakselerasi upaya untuk menjadi bisnis yang berdikari secara finansial dan tumbuh secara sustainable dalam jangka panjang. Hal ini dilakukan antara lain dengan memfokuskan diri pada layanan inti, yaitu on-demand, e-commerce dan financial technology," tulis GOTO, menukil dari Kompas.

Melihat tren pemecatan masal ini, para investor mulai mewanti-wanti perusahaan start-up untuk memotong biaya dan melindungi posisi kas mereka. Seperti dirangkum dari CNBC, yang terjadi saat ini sangat kontras dengan keadaan tahun lalu, ketika valuasi sangat tinggi dan perusahaan mau berinvestasi.

Banyak faktor lain juga yang jadi penyebab, seperti kenaikan harga bahan bakar dan pangan, konflik geopolitik, inflasi yang tidak terkendali, kenaikan suku bunga, dan resesi yang mengancam.

Bedanya kali ini, tidak ada solusi kebijakan instan seperti pada 2020. CNBC mencatat dari presentasi firma kapital Sequoia “Adapting to Endure”, yang terjadi pada 2020 adalah respon agresif pemerintah, yakni menabur banyak uang demi perbaikan ekonomi.

Sequoia juga menyarankan kepada perusahaannya untuk melihat proyek, penelitian dan pengembangan, dan pemasaran di tempat lain untuk memangkas biaya. Perusahaan tidak harus segera menarik pelatuk, tetapi mereka harus siap melakukannya dalam 30 hari ke depan jika diperlukan.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Irma Garnesia

tirto.id - Bisnis
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Farida Susanty