Menuju konten utama

Rajam LGBT dalam Bayang-Bayang Boikot & Skandal Adik Sultan Brunei

The Brunei Project: keluarga kerajaan menjalani gaya hidup dekaden sambil mengharapkan kesalehan Islami dari rakyat Brunei.

Rajam LGBT dalam Bayang-Bayang Boikot & Skandal Adik Sultan Brunei
Pada 5 Juli 2017, file foto ini, Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei menyampaikan pidato selama peluncuran Catatan Peringatan HUT ke-50 Perjanjian Pertukaran Mata Uang antara Singapura dan Brunei di Istana di Singapura. (Foto AP / Wong Maye-E, File).

tirto.id - April 2019 menjadi masa permulaan atas ancaman kematian bagi pelaku hubungan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di Brunei Darussalam. Pemerintah setempat akan memberlakukan hukuman rajam terhadap mereka, yakni dilempari batu hingga meregang nyawa.

Sultan Hasannal Bolkiah, melalui laman resmi pemerintah, menyatakan “tidak mengharapkan orang (luar negeri) lain untuk menerima dan menyetujuinya, tapi tapi akan cukup jika mereka menghormati bangsa (Brunei) dengan cara yang sama seperti Brunei menghormati mereka,” demikian dikutip CNN World.

Kantor Perdana Menteri Brunei, lewat laman resminya, juga menyatakan bahwa “Brunei Darussalam adalah negara yang berdaulat Islam, sepenuhnya merdeka dan, seperti semua negara merdeka lainnya, menegakkan aturan hukumnya sendiri.”

Penegasan-penegasan tersebut dinilai perlu sebab mereka paham betapa kontroversialnya hukum rajam bagi LGBT. Tak lama setelahnya lembaga pemerhati hak asasi manusia maupun aktivis pendukung hak-hak LGBT di berbagai negara memang ramai-ramai melancarkan kecaman.

Peneliti khusus Amnesty International Brunei, Rachel Chhoa-Howad, mendesak pemerintahan Hassanal Bolkiah untuk membatalkan hukuman dan melakukan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sesuai dengan HAM.

Perserikatan Bangsa-Bangsa mengkritiknya sebagai hukum yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet mendesak pemerintah Brunei untuk mencabutnya. Jika tidak, katanya, akan terjadi kemunduran serius bagi perlindungan HAM rakyat Brunei.

Matthew Woolfe dari The Brunei Project berkata pada South China Morning Post bahwa hukuman rajam bagi LGBT di Brunei resmi berlaku per 3 April 2019. “Kami berusaha mendesak pemerintah Brunei, tapi kami menyadari waktunya sangat mepet dengan jadwal pemberlakuan hukum tersebut,” imbuhnya.

Salah satu aktivis LGBT terkemuka di Indonesia, Dede Oetomo, menyatakan kepada Tirto jika pemberlakukan hukum itu tidak hanya menjadi pelanggaran berat terhadap HAM Brunei, tapi juga dunia internasional. “Itu mengerikan. Brunei meniru negara-negara Arab yang paling konservatif,” katanya.

Homoseksualitas tidak hanya ilegal di Brunei Darussalam. Sebagaimana kondisi di sejumlah negara lain, kaum homoseksual menghadapi ancaman diskriminasi hingga persekusi.

OutRight Action International pernah menyebut Brunei sebagai negara dengan perlindungan terhadap LGBT paling lemah di Asia Tenggara. Karena itulah kaum LGBT Brunei banyak yang memilih untuk merahasiakan orientasi seksual mereka.

Pelaksanaan hukum rajam berdasarkan syariat Islam telah disahkan pada 2013. Selama lima tahun belakangan organisasi-organisasi kemanusiaan seperti The Brunei Project sukses menekan pemerintah untuk menunda praktiknya. Pada awal April ini, mereka kalah.

Lima tahun lalu aktor Hollywood Clooney tidak hanya mengecam. Ia juga menulis surat terbuka yang berisi ajakan untuk memboikot hotel-hotel mewah yang dimiliki oleh rezim Negeri Petro Dollar.

Akhir Maret kemarin, saat Bolkiah menyatakan akan memulai hukum rajam, Clooney kembali menyeru gerakan boikot yang sama melalui kolom Deadline.

“Setiap kita melakukan pertemuan atau makan di hotel-hotel ini, kita memasukkan uang secara langsung ke kantong orang-orang yang memilih untuk melempari dan mencambuk mati mereka yang gay atau dituduh berzina yang padahal mereka adalah warga negaranya sendiri,” ujar Clooney.

Penyanyi legendaris asal Inggris, Elton John, kemudian mendukung gerakan tersebut. Kembali mengutip Deadline, John memuji sikap berani Clooney. Harapannya adalah orang-orang gay seperti ia dan suaminya, David, bisa diperlakukan dengan layak, bermartabat, dan rasa hormat di manapun mereka berada.

“Saya percaya cinta adalah cinta, dan mampu mencintai seperti apa yang kita pilih adalah hak asasi manusia,” katanya.

Ada sembilan hotel bintang lima yang bernaung di bawah kontrol Dorchester Collection. Badan ini milik Brunei Investment Agency, sebuah lembaga sayap Kementerian Keuangan Brunei yang bertanggung jawab mengurus investasi di luar negeri.

Di California ada Hotel Bel-Air (Los Angeles) dan The Beverly Hills Hotel (Beverly Hills). Di London ada The Dorchester dan 45 Park Lane. Satu lagi di pedesaan Sunningdale, Inggris, ada Coworth Park. Dua lainnya di Paris yakni Plaza Athénée dan Le Meurice. Sisanya ada di Italia: Hotel Eden di Roma dan Principe di Savouia di Milan.

Pada 2014 gerakan boikot direalisasikan salah satunya oleh organisasi advokasi LGBT AS, Gill Action Fund. Mengutip Hollywood Reporter, organisasi tersebut sejatinya akan menyelenggarakan sebuah konferensi di Beverly Hills Hotel. Namun mereka membatalkan pemesanan untuk acara dan meminta pengembalian uang muka.

Manajemen hotel saat itu merespons dengan menyatakan pihaknya tidak melakukan diskriminasi berdasarkan orientasi seksual. Namun kasus itu terlanjur mengubah persepsi para pembesar Hollywood mengenai Beverly Hills Hotel, yang sebelumnya jadi langganan tempat untuk menggelar acara mereka.

Jejak Skandal Sang Pangeran

Guardian melaporkan banyak pihak yang menganggap pemerintahan Brunei hipokrit. Pasalnya di The Beverly Hills Hotel dan hotel lain mereka menawarkan paket untuk pasangan homoseksual. Mereka juga senang jika ruang konferensinya disewa untuk berbagai acara, termasuk yang diselenggarakan oleh kelompok LGBT.

Tapi, di sisi lain, keuntungan-keuntungan itu mengalir ke kas pemerintahan Brunei dan sebagian dipakai untuk mempersekusi kaum LGBT di negara itu.

Kepada ABC News aktivis The Brunei Project Matthew Woolfe juga menyebut kehidupan keluarga Istana Bolkiah—yang telah berkuasa puluhan tahun—penuh hipokrisi. Keluarga kerajaan ia anggap “menjalani gaya hidup dekaden sambil mengharapkan kesalehan yang Islami dari rakyat Brunei”.

Konservatisme pemerintah Brunei saat mengatur kehidupan warganya tercermin sejak dalam kontitusi. Mereka mengadopsi konsep Melayu Islam Beraja (MIB) yang terdiri dari tiga komponen: kebudayaan Melayu, agama Islam, dan kerangka kerja politik di bawah monarki.

Meski memiliki sistem hukum berdasarkan hukum umum Inggris, dalam banyak kasus penerapannya menggunakan dasar hukum syariat Islam. Syariat Islam juga amat berpengaruh terhadap kultur masyarakatnya, yang tingkat konservatismenya lebih tinggi ketimbang di Indonesia atau Malaysia.

Hipokrisi yang dimaksud Woolfie mengacu pada pandangan ideal bahwa keluarga kerajaan Brunei seharusnya menjadi teladan bagi warga dalam penerapan syariat. Tapi adik laki-lakinya, Jefri Bolkiah, justru punya jejak skandal esek-esek yang otomatis jadi serangan terhadap nama baik keluarga Bolkiah.

Serangan itu pernah datang dari Jillian Lauren. Lauren adalah perempuan asal New Jersey, Amerika Serikat, yang masa remajanya dihabiskan untuk sekolah akting di New York University.

Kehidupannya berubah drastis pada usia 18 tahun setelah menerima panggilan “casting” untuk satu pekerjaan di sebuah klab malam di Singapura. Setelah diterima, ia menyadari bahwa penempatannya sama sekali bukan di Singapura. Ia malah dibawa sebagai tamu istimewa Pangeran Jefri Bolkiah di Kuala Lumpur, Malaysia.

Kehidupan super-glamor keluarga kerajaan Brunei sudah jadi rahasia umum. Sultan Hassanal masuk daftar orang-orang terkaya di dunia. Brunei punya cadangan minyak dan gas yang melimpah, jadi sumber utama pemasukan negara sejak 1980-an dan modal hobi belanja barang-barang bermerek, berharga fantastis dan dalam jumlah melimpah.

Jika ada daftar aristokrat Brunei yang paling boros foya-foya, Jefri akan memuncakinya. Jefri adalah ketua Brunei Investment Agency yang menangani bisnis hotel hingga restoran mewah di berbagai negara, yang kini menghadapi ancaman boikot akibat kebijakan rajam LGBT kakaknya.

Laporan eksklusif Mark Seal untuk Vanity Fair pada 2011 mengungkap hedonisme yang dipraktikkan Jefri menyedot berbiaya $50 juta per bulan. Salah satu porsi pengeluarannya adalah untuk main perempuan.

Perempuannya juga bukan sembarangan, melainkan tipe model luar negeri. Lauren hanya salah satunya, yang mendapat kesempatan untuk menyenangkan Pangeran Jefri. Lauren mengungkapkan skandal menghebohkan ini dalam biografi yang terbit pada 2010 dengan judul Some Girls: My Life in a Harem.

Lauren mengungkapkannya kembali dalam kolom The Daily Beast pada Mei 2014, tak lama setelah Hassanal Bolkiah mengumumkan aturan soal rajam LGBT berdasarkan hukum syariat.

Lauren mengaku dirinya memang bukan ahli HAM internasional, namun ia hanya ingin menceritakan pengalamannya bersama adik sang sultan yang ia anggap telah melanggar beberapa peraturan syariat yang ditetapkan oleh pemerintah Brunei sendiri.

Saat Lauren tiba di Brunei ia menemukan fakta bahwa Jefri menggelar pesta mewah di sebuah istana mewah. Tersedia minuman beralkohol—barang haram sekaligus ilegal di publik Brunei, dansa-dansi, karaoke, dan yang paling penting: perempuan-perempuan cantik dari seluruh negeri.

Jumlah perempuan itu ia taksir mencapai 30-40an orang. Sepanjang dekade 1990-an mereka dikontrak sebagai selir (harem) untuk memuaskan nafsu seksual Jefri dan orang-orang elite di lingkarannya dalam jangka waktu tertentu. Lauren sendiri berada di bawah naungan sang pangeran selama satu tahun.

Selama satu tahun ia tidak merasa seperti sedang dipenjara, namun ia juga tidak sepenuhnya bebas. Kelebihannya tentu saja bayaran dalam jumlah besar, baik berupa uang, pakaian, maupun perhiasan. Ini belum terhitung bonus-bonus tambahan. Tapi pengalaman itu tetap disesali Lauren.

“Itu bikin kesepian dan melemahkan semangat, dan penuh penghinaan tingkat rendah yang konstan, termasuk fakta bahwa kamu diberikan sebagai hadiah kepada pangeran dan orang-orang terdekatnya,” ungkapnya.

Lauren bukan satu-satunya perempuan. Kasus lain pernah mencuat dari seorang mantan Miss USA bernama Shannon Marketic. Kembali merujuk pada laporan Vanity Fair, pada 1997 Marketic menuntut Jefri, Hassanal, dan rekan-rekannya dengan uang ganti rugi sebesar $10 juta karena merasa telah ditipu.

Marketic mengklaim bahwa ia dan enam perempuan muda lain awalnya ditawari uang sebesar $127.000 per kepala untuk terbang ke Brunei. Ia diminta berpenampilan profesional untuk sesi tukar pikiran bersama Bolkiah bersaudara. Tapi ternyata ia dipaksa menjadi “budak seks” selama kurun waktu tertentu.

Marketic tak bisa kemana-mana sebab paspornya disita. Seperti Lauren, Marketic bercerita bagaimana dirinya dan perempuan dari beragam negara dibawa ke pesta-pesta Pangeran Jefri. Ia bertugas untuk menyenangkan tuan rumah dengan dansa-dansi, minuman keras, dan diakhiri dengan hubungan seks.

Infografik Nafsu Brunei Memburu LGBT

undefined

Jefri menyanggah tuduhan-tuduhan tersebut. Proses peradilan kasus Marketic juga akhirnya diberhentikan karena Jefri memiliki “kekebalan diplomatik”, jenis kekebalan yang disandang oleh anggota kerajaan. Meski demikian, pemberitaan media sukses menggoyahkan nama kesultanan Brunei.

Merujuk kembali ke kolom Lauren di Daily Beast, “privilise (hak istimewa) itu membuat pangeran dan sang sultan boleh berlaku menyimpang.”

Lauren memandang, di sisi lain, warga Brunei tidak memiliki kebebasan-kebebasan itu. Apalagi setelah keputusan untuk menegakkan hukum syariat pada 2014, ia memprediksi pemerintah Brunei akan melakukan pengekangan-pengekangan melalui metode yang lebih keras sekaligus brutal—termasuk merajam kaum LGBT.

“Ketika warga Brunei menghadapi erosi atas hak-hak mereka, saya membayangkan pria yang pernah saya kenal itu (elite kesultanan) sedang bersembunyi di sebuah kamar hotel mewah, mungkin bersama perempuan muda asal Amerika di pangkuan mereka, sembari menyusun undang-undang yang mengatur moralitas warga,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait LGBT atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Hukum
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf