Menuju konten utama

Raja Jawa Ambil Kuasa: Buang Lawan Politik ke Afrika & Sri Lanka

Tanjung Harapan dikuasai VOC sejak 1652. Kota ini jadi tempat pengasingan pangeran dan raja Nusantara yang memberontak.

Raja Jawa Ambil Kuasa: Buang Lawan Politik ke Afrika & Sri Lanka
Tanjung Harapan di Afrika selatan. FOTO/wikipedia

tirto.id - Beragam cara dilakukan para raja Jawa untuk melanggengkan kekuasannya. Dua di antaranya ialah bersekutu dengan VOC dan mengasingkan lawan-lawan politiknya.

Sebagaimana dijelaskan Kerry Ward dalam Networks of Empire: Forced Migration in the Dutch East India Company (2009), VOC ikut campur dalam politik keraton dengan cara menawarkan bantuan militer untuk penguasa tertentu dengan imbalan dalam bentuk uang dan barang.

"Jenis hubungan ini tidak tak biasa dalam hubungan antarnegara di wilayah tersebut [Nusantara]. Pengasingan memainkan peran khusus dalam hubungan diplomatik ini," sebut Ward.

Menurut penelusuran Ward, daerah tujuan pengasingan saat itu adalah yang dianggap VOC aman dari penduduk sekitar. Tiga daerah yang jamak dijadikan tempat pengasingan kala itu adalah Tanjung Harapan, Sri Lanka, dan Batavia.

Dari semua kota yang dikuasai VOC, Tanjung Harapan merupakan kota yang paling memenuhi syarat. Kecil peluang bagi penduduk pribuminya untuk menaklukkan kota yang sekarang masuk wilayah Afrika Selatan ini. Kekuatan politik di sekitarnya juga kecil.

Dalam pelbagai babad Jawa, Tanjung Harapan disebut Pulo Kap. Ini berasal dari sebutan kota ini dalam bahasa Belanda "Kaap". Sedangkan Sri Lanka disebut Selong, dari kata "Ceylon".

Berebut Takhta di Kartasura

Pemberian nama "Tanjung Harapan" oleh Raja John II dari Portugis sebagai simbol optimisme besar orang-orang Eropa terhadap pembukaan jalur pelayaran ke India dan Dunia Timur. Namun, ketika daerah ini diduduki VOC, selain jadi tempat persinggahan para pelaut, ia jadi tempat para pangeran atau raja Jawa meratapi kekalahan dalam perebutan kekuasaan tertinggi di keraton.

Pada awal abad ke-18, Raden Mas Sutikna dan Pangeran Puger berebut takhta keraton Kartasura selepas Sultan Amangkurat II wafat.

Raden Mas Sutikna, anak semata wayang Amangkurat II, mengklaim takhta keraton dengan gelar Amangkurat III. Suatu hari dia dapat kabar bahwa istrinya, Raden Ayu Lembah, selingkuh dengan seorang putra pejabat bernama Raden Sukra. Amangkurat II naik pitam: mengeksekusi Raden Ayu Lembah dan Raden Sukra.

Raden Ayu Lembah merupakan putri Pangeran Puger. Sebelumnya, hubungan keluarga Puger dan Amangkurat II sudah buruk. Kematian Ayu Lembah membuat hubungan ini semakin buruk.

Anak Pangeran Puger lainnya, Raden Suryokusumo, ingin balas dendam. Ia menghimpun pasukan pemberontakan, tetapi Amangkurat III mengetahuinya dan lantas mengurung Pangeran Puger dan keluarganya.

Namun, Pangeran Puger sukses melarikan diri. Dia ke Semarang mencari bantuan VOC. Sedangkan Amangkurat III berkoalisi dengan Untung Surapati.

Bersama VOC, Pangeran Puger menggilas Amangkurat III dan Surapati. Sementara Puger naik takhta dengan gelar Susuhunan Pakubuwana I, Amangkurat III diasingkan ke Sri Lanka, salah satu daerah yang juga dikuasai VOC.

Sebagai imbal jasa ke VOC, Pakubuwana I meneken traktat yang akhirnya memungkinkan VOC untuk menancapkan lebih dalam pengaruhnya atas Jawa dan perairannya. Perjanjian ini, misalnya, mengakui batas-batas Batavia dan kedaulatan VOC atas Priangan, Cirebon, Sumenep, dan Kaligawe.

Tapi, tidak semua senang dengan hubungan manis VOC dan Pakubuwana I. Dua pihak ini menuding anak Pakubuwana I, Raden Suryakusuma alias Saloringpasir, berkomplot dengan pemberontak Bali dan bangsawan-bangsawan Surabaya.

Hikayat Saloringpasir dan Dipanagara

Saloringpasir pun melarikan diri. VOC melindunginya di Semarang dan menolak permintaan Pakubawana I yang ingin anaknya itu dibawa keraton untuk dieksekusi. VOC Semarang berdalih menunggu perintah dari Batavia, pusat administrasi VOC.

Walhasil, Pakubuwana I minta Saloringpasir diasingkan ke Tanjung Harapan, bukan ke Sri Lanka karena takut anaknya itu bertemu Amangkurat III.

Sebelum dibawa ke Tanjung Harapan, Saloringpasir ditahan di Edam, salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Ia diasingkan bersama ibu, dua istri, mertua, serta 14 pengikutnya.

Di Tanjung Harapan, Saloringpasir tinggal di sebuah rumah di Stellenbosch yang dibeli VOC seharga 1.500 gulden dari bangsawan setempat. Dia juga dapat 520 pon beras untuk makan.

Sementara Saloringpasir hidup di Tanjung Harapan, sang ayah mengirim satu anaknya yang lain, Pangeran Dipanagara, untuk mengejar pemberontak. Tapi, lagi-lagi, anaknya ini malah membelot.

M.C. Ricklefs dalam Modern Javanese Historical Tradition (1978), menyebutkan VOC menengarai Pakubuwana I diam-diam mendukung pemberontakan Dipanagara sebagai jalan melemahkan kekuatan VOC di Jawa.

Pada 1718, Dipanagara mengambil gelar Panembahan Herucakra. Ini merupakan gelar ratu adil, raja mesianik yang diramalkan bakal membawa kesejahteraan di Jawa. Setahun berikutnya, Pakubawana I meninggal. Salah satu anak Pakubuwana I, Raden Mas Suryaputra, didukung VOC jadi sultan. Syahdan, dia jadi sultan dengan mengambil gelar Amangkurat IV.

Peralihan kuasa ini ternyata tidak disetujui Mangkunegara, anak Amangkurat IV sendiri. Bersama Herucakra, ia melancarkan pemberontakan terhadap Amangkurat IV. Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar turut melancarkan perang terhadap Amangkurat IV. Namun, semua perlawanan ini dikalahkan pada akhir Juni 1723.

Purbaya diasingkan ke Batavia. Mangkunegara diminta balik ke Kartasura. Sementara Dipanagara dibuang ke Tanjung Harapan.

Mangkunegara dan Cakraningrat IV

Dalam perjalanan menuju Tanjung Harapan, dua istri Dipanagara, tiga anaknya, serta dua pengikut meninggal. Ketika kapalnya menepi di Tanjung Harapan, dia telah kehilangan seluruh sanak yang menyertainya ke sana.

Tidak lama selepas Dipanagara diasingkan, Amangkurat IV meninggal dunia. Dia mewariskan takhtanya kepada Pakubuwana II, anaknya yang berumur 16 tahun.

Semasa ini, Mangkunegara diasingkan ke Sri Lanka. Pangkalnya skandal seksual antara Mangkunegara dengan salah satu selir Pakubuwana II.

Willem G. J. Remmelink dalam The Chinese War and The Collapse of The Javanese State, 1725-1743 (1994) menyebut hubungan Mangkunegara dan Patih Danureja, penasihat Pakubawana II, memang tidak baik. Tidak heran bila skandal seksual yang melibatkan Mangkunegara adalah perangkap yang dibikin Danujera.

Akibat kasus ini, Mangkunegara diasingkan ke Batavia, lalu diangkut ke Sri Lanka.

Infografik tanjung pengasingan

Infografik tanjung pengasingan. tirto.id/Fuad

Dalam A History of Modern Indonesia Since c. 1300 (1993) Ricklefs menyebutkan Mangkunegara kemudian dipindah ke Tanjung Harapan. Perihal ini, Ward menyatakan tidak ada arsip VOC di Tanjung Harapan yang dapat membuktikan ini.

Yang jelas, pada 1740-an, anak-anak Mangkunegara, termasuk Raden Mas Kreti, diangkut ke Tanjung Harapan.

Kelak anak pertama Mangkunegara, Raden Mas Said, naik takhta jadi Pengeran Adipati Mangkunegara I selepas pembelahan keraton Jawa jadi dua: Yogyakarta (dikuasai Sultan Hamengkubuwana I) dan Surakarta (dikuasai Susuhunan Pakubuwana III).

Belakangan, hubungan Pakubuwana II dan Patih Danureja juga memburuk. Menginjak masa dewasa, Pakubawana II mengganti pejabat-pejabat lama yang dekat Danureja. Ujungnya, pada 1733, Pakubuwana II minta VOC menangkap Danureja. VOC lantas mengasingkan Danureja ke Sri Lanka.

VOC mengira tersingkirnya Danureja dari lingkar kekuasaan keraton bakal menguntungkannya. Nyatanya tidak demikian.

Pakubuwana II justru mengonsolidasikan kekuatannya dengan mendorong bangsawan-bangsawan di daerah untuk membayar upeti ke keraton, bukan ke VOC. Pada 1737, VOC dan keraton juga meneken perjanjian yang menyatakan VOC hanya bisa menghukum orang Jawa dalam kasus yang melibatkan orang non-Jawa di daerah kekuasaan VOC. Pada 1741, Pakubuwana II memihak para pemberontak, orang-orang Cina dan Jawa yang telah melancarkan serangan sejak 1740 dalam peristiwa Geger Pecinan.

Untuk menangani ini, VOC meminta bantuan Cangkraningrat IV dari Madura. Pasukan Madura sebenarnya berhasil menduduki istana Kartasura pada November 1742, tetapi VOC menyuruh Cakraningrat IV mengembalikannya ke Pakubuwana II.

Nyatanya, kemesraan VOC dan Cakraningrat IV tidak berlangsung lama. Pada 1745, VOC menyatakan Cakraningrat IV sebagai pemberontak. Setahun berikutnya, dia ditangkap lalu diasingkan ke Tanjung Harapan.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Windu Jusuf