Menuju konten utama

Raibnya Lord Lucan atau Mengapa Orang Kaya Miskin Empati?

Sejak 7 November 1974 setelah membunuh Sandra Rivett dan menganiaya istrinya, Lord Lucan menghilang tanpa jejak dan menjadi misteri yang belum terpecahkan.

Raibnya Lord Lucan atau Mengapa Orang Kaya Miskin Empati?
Lord Lucan bersama Veronica Duncan. FOTO/Istimewa

tirto.id - Awal tahun 2005 silam, nama Adiguna Sutowo mencuat ke publik Indonesia dan menjadi topik pembicaraan hangat. Ini bermula dari sebuah peristiwa penembakan yang terjadi di Fluid Club and Lounge pada malam pergantian tahun 2004 ke 2005.

Sekitar pukul 04.00 dini hari, Adiguna bersama teman wanitanya terlibat perselisihan dengan seorang bartender asal Flores bernama Yohannes B. Haerudy Natong alias Rudy. Pemicunya sepele, kartu kredit yang diberikan teman wanitanya sedang tidak dapat diproses dan Rudy menawarkan untuk memakai kartu lainnya atau dibayar dengan uang tunai saja.

Tinul, nama teman wanita Adiguna tiba-tiba naik pitam. Ia mengatakan bahwa sedang bersama Adiguna Sutowo yang diklaim memiliki saham di Hotel Hilton tempat Fluid Club berada. Adiguna merespons dengan menodongkan pistol. Beberapa saat kemudian, timah panas menembus kepala Rudy.

Dari penuturan saksi, Adiguna langsung kabur meninggalkan lokasi melalui pintu yang menuju ke Nipponkhan Restaurant, lalu menghilang.

Kasus ini kemudian bergulir panas menjadi kontroversi yang tidak lepas dari latar belakang Adiguna Sutowo. Ia adalah anak bungsu dari Ibnu Sutowo, mantan Dirut Pertamina yang pernah membangkrutkan perusahaan itu pada 1976. Kakak Adiguna, Ponco Sutowo, adalah salah satu pemilik saham Hotel Hilton saat itu.

Berbagai elemen masyarakat termasuk mahasiswa dari kampus Rudy mendesak pengusutan kasus penembakan ini. Adiguna Sutowo akhirnya dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 16 Juni 2005.

Baca juga: Pembunuhan Terhadap Jurnalis Belum Berakhir

Tapi, baru menjalani dua tahun hukuman penjara, nyatanya Adiguna Sutowo sudah bisa menghirup udara segar kembali. Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Adiguna dikabulkan dan Adiguna melenggang bebas.

Kasus serupa juga terjadi pada kolega Adiguna. Baru menjalani hukuman empat tahun, Hutomo Mandala Putra alias Tommy sudah dinyatakan bebas dari jerat penjara yang semula divonis 15 tahun pada tahun 2002.

Putra dari Presiden Soeharto ini dijebloskan ke penjara lantaran terbukti mendalangi pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita yang sudah memvonis Tommy bersalah pada 22 September 2000 untuk kasus korupsi antara PT Goro dan Bulog tahun 1994.

Pegiat hak asasi manusia dan anti korupsi menyuarakan penentangan yang keras atas dibebaskannya Tommy. Perkelahian bahkan sempat pecah sewaktu Tommy dibawa keluar dari LP Cipinang, Jakarta Timur.

Beberapa studi penelitian psikologi menunjukkan tentang adanya perbandingan terbalik antara privilese, kedudukan sosial, dan tingkat kekayaan dengan rendahnya empati dan sikap welas asih. Makin tinggi kelas sosial, demikian hasil riset tersebut, makin kecil empatinya.

Para psikolog dari Berkeley University tahun 2011 lalu diam-diam mengamati perilaku para pengendara mobil mewah di sebuah perempatan jalan Amerika Serikat yang ramai. Mereka lebih cenderung memotong jalur pengendara lain dibanding ikut aturan lalu lintas.

Pada 2016 lalu, sebuah penelitian Pia Dietze dan Eric D. Knowles dari New York University membuktikan bahwa kaum yang terbiasa dengan privilese harta dan kedudukan sosial yang tinggi cenderung cuek perilakunya ketika melintasi atau melihat seseorang yang kelas sosialnya lebih rendah setelah melakukan serangkaian penelitian di jalanan kota Manhattan dan berbagai instrumen lain yang disodorkan kepada responden.

Sementara di Indonesia tindakan kesewenang-wenangan dilakukan oleh para anak keluarga kaya dan terpandang, seperti Adiguna Sotowo dan Tommy Suharto, di Inggris juga ada kasus serupa yang dilakukan oleh seorang bangsawan Anglo-Irlandia.

Nama John Bingham atau akrab dipanggil Lord Lucan sempat membuat heboh Inggris pada tahun 1970-an. Penyebabnya adalah peristiwa pembunuhan terhadap pengasuh ketiga anaknya.

Pada 7 November 1974, John Bingham melangkah ke ruang bawah tanah di rumahnya yang terletak di daerah Belgravia, London. Dalam suasana remang-remang, Bingham menghabisi Sandra Rivett, perempuan pengasuh ketiga anaknya. Setelah tewas, John mencari istrinya dan memukuli kepalanya dengan pipa ledeng sampai tersungkur dan darah mengucur deras. Bingham cepat-cepat angkat kaki, sementara sang istri segera mencari pertolongan dalam keadaan sempoyongan.

Keesokan paginya, mobil Bingham ditemukan dalam keadaan kosong di daerah perumahan yang sepi di Newhaven.

Sejak itu, Bingham menghilang dan memunculkan berbagai teori spekulasi yang berkembang seputar nasib ningrat Anglo-Irlandia ini.

Spekulasi Nasib John Bingham

Kesaksian James Wilson, kawan dekatnya saat bermain judi di Clermont Club menyebut bahwa John menenggelamkan diri sesaat setelah peristiwa pembunuhan. Ia mengklaim bahwa dalam keadaan panik setelah membunuh, John Bingham mengisi sakunya dengan bebatuan, kemudian loncat dari kapal di Pelabuhan Newhaven.

Baca juga: Jejak-jejak Pembunuhan Terhadap Pegiat Anti Korupsi

Cerita lain datang dari Shirley Robey pada 2012 lalu. Robey adalah seorang perempuan mantan asisten James Goldsmith pemilik kasino John Aspinall. Robey bekerja di Aspinall dari tahun 1979 sampai 1985 dan mengatakan bahwa dia sering mendengar bosnya membicarakan John.

Menurutnya, John yang punya masalah dengan istrinya itu sembunyi di Afrika. Namun hingga beberapa tahun kemudian, ia sendiri tak tahu apabila John terlibat peristiwa pembunuhan.

infografik lord lucan

Rekan judi lainnya, Philippe Marcq mengklaim John dimakan harimau di kebun binatang milik Aspinall. Dalam keadaan stres dan panik setelah membunuh, di sebuah sudur kamar kebun binatang John burun diri dengan pistol dan badannya jatuh di kandang harimau. Dugaan ini sempat diselidiki dan disetop karena polisi sempat kekurangan bukti.

Sementara menurut Hugh Bingham, saudara laki-laki John, mengklaim bahwa sebenarnya John tidak melakukan pembunuhan atas Sandra Rivett dan melarikan diri dari tuduhan tersebut. Hugh mencurigai bahwa ada pria misterius di tempat kejadian yang seharusnya diselidiki oleh kepolisian.

Teori lainnya menyebut jika John Bingham masih hidup dan ada di tempat lain mulai dari di Goa, India, di Gunung Etna, bekerja di peternakan domba di pedalaman Australia, terlihat di San Francisco, mengelola toko pakaian di Afrika Selatan, tinggal di daerah koloni neo-Nazi di Paraguay.

Pernah suatu ketika pada 2007 warga Inggris yang tinggal di Selandia Baru bernama Roger Woodgate disangka John Bingham meski ia berusia 10 tahun lebih muda dan lima inci lebih pendek.

Bangsawan dan Kehidupan Mewah

Memiliki nama asli Richard John Bingham, Earl Lucan Ketujuh, ia adalah keturunan bangsawan Anglo-Irlandia yang lahir di Marylebone, London Inggris pada 18 Desember 1934. John Bingham lahir dari pasangan George Bingham Earl Lucan Keenam dan Kaitlin Dawson.

Lahir dari lingkungan bangsawan tersohor, nasib John Bingham kecil diwarnai meletusnya Perang Dunia II yang menyebabkan dirinya harus berpisah dari orangtuanya yang pindah ke Wales dan Amerika Utara selama lima tahun.

Baca juga: Asal Mula Batik Sebagai Pakaian Bangsawan

Tumbuh besar dan gagah berani, John Bingham menjalani kehidupan istimewa khas aristokrat. John Bingham punya kebiasaan dan hobi mewah seperti piawai mengendarai speedboat dan mobil Aston Martin, pandai bermain backgammon dan permainan kartu lainnya, juga gemar menenggak vodka martini.

Setelah kariernya yang singkat di militer Britania, John bekerja di Bank William Brandt's Sons and Co pada 1955. Sejak itu ia mulai akrab dengan judi sampai-sampai pada 1960 memenangkan taruhan sebesar £26.000 Le Touquet. Karena kemenangan itu ia dijuluki “Lucky Lucan” dan membuatnya terjun ke dunia judi profesional, meninggalkan karirnya di bank. Tempat favorit Bingham adalah Clermont Club di Berkeley Squre, sebuah tongkrongan milik John Aspinall untuk kalangan kaya, anak pejabat dan politisi.

Namun begitu, karier judi Bingham jauh dari mulus. Kerugiannya jauh lebih banyak ketimbang kemenangan.

Pada Maret 1963, Bingham menikah dengan Veronica Duncan, putri perwira tentara yang mengagumi sosok ningrat macam John. Mereka tinggal di pemukiman mewah Lower Belgrave Street di Mayfair, tak jauh dari Clermont Club.

Dua bulan setelah pernikahan, ayah John, George Bingham, meninggal dunia. John Bingham pun resmi menyandang gelar Earl Lucan VII, lantas akrab disebut Lord Lucan. Dari pernikahannya dengan Veronica Duncan atau Lady Lucan, ia memiliki tiga orang anak yang semuanya lahir antara tahun 1964-1970.

Biduk rumah tangga Lucan tak berjalan sesuai harapan sang istri. Dambaan hidup bahagia bersanding dengan pangeran harus terkoyak manakala Lord Lucan lebih suka bermain judi di Clermont Club tiap hari. Veronica Duncan malah diasingkan ke sebuah ruang kecil yang disebut “bangku janda”. Seiring waktu, Lady Lucan menjadi tak bahagia dan kadang bersikap agresif.

Baca juga:

Lord Lucan mulai stres berat ketika istrinya mengugat cerai. Dalam proses pengadilan, hak asuh ketiga anaknya dimenangkan oleh sang istri. Sementara itu, utang judi John makin tak terkendali. Keadaan itu diduga memicu Lord Lucan menghabisi Sandra Rivett dan istrinya sendiri.

Pada 1975, berdasarkan pemeriksaan sang istri, polisi menetapkan Lord Lucan sebagai tersangka pembunuhan. Lady Lucan menyebut sang suami menghabisi Sandra Rivett sebelum menyerang dirinya. Setelah bertahun-tahun menghilang, pada 1999 seorang hakim Inggris memvonis Lord Lucan telah meninggal.

Pada 2014, putra Lord Lucan, George Charles Bingham meminta pengadilan menerbitkan akta kematian sehingga ia dapat mewarisi gelar Earl Lucan VIII. Baru pada 2016 lalu, akta kematian Lord Lucan dikeluarkan oleh hakim Pengadilan Tinggi setempat.

Lady Lucan meninggal dalam usia 80 tahun pada 27 September 2017. Ia ditemukan tewas di rumahnya di daerah atas Belgravia, London. Kematian ini menghangatkan kembali kisah misteri pembunuhan dan hilangnya John Bingham selama 43 tahun terakhir.

Kasus kekerasan dan pembunuhan yang membelit John Bingham menambah daftar panjang perilaku memalukan dari garis keturunan bangsawan keluarga Lucan. Nenek moyangnya, Earl Ketiga, juga bertanggungjawab atas pembantaian 600 orang dalam Pertempuran Balaclava antara imperium Inggris dan Perancis melawan Rusia pada 25 Oktober 1854.

Baca juga artikel terkait KRIMINALITAS atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf