Menuju konten utama
25 Agustus 2014

Rahmat Shigeru Ono: Serdadu Jepang yang Akhirnya Membela Indonesia

Rahmat Shigeru Ono adalah satu dari sekian banyak serdadu Jepang yang akhirnya membela Indonesia. 

Rahmat Shigeru Ono: Serdadu Jepang yang Akhirnya Membela Indonesia
Ilustrasi Mozaik Rahmat Shigeru Ono 1919-2014. tirto.id/Sabit

tirto.id - Menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945, tak bisa diterima kebanyakan serdadu Jepang di Indonesia. Mereka tak seperti tentara Belanda yang gembira karena akan dipulangkan ke tanah airnya setelah negaranya kalah. Alih-alih gembira, serdadu Jepang di Indonesia justru kecewa begitu dalam.

Suatu kali, setelah Kaisar Jepang menyatakan menyerah, seorang serdadu Jepang asal Korea mencoba mengancam Sersan Sakari Ono dengan belati. Biasanya serdadu asal Jepang akan membela sesama rekannya dari ancaman orang Korea, tapi kali itu tidak. Sakari kecewa kepada kawan-kawan serdadu asal Jepang yang telah jatuh mentalnya karena penyerahan itu.

“Saya benar-benar berpikir mau harakiri (bunuh diri merobek perut dengan pedang pendek) pada saat itu,” kata Sakari Ono alias Rahmat Shigeru Ono dalam Mereka Yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono (2011:30) yang disusun Eiichi Hayashi. Namun, dia dan banyak serdadu muda Jepang lainnya tidak bisa berbuat apa-apa.

Di tengah hari-hari frustasi para serdadu Jepang itu, Republik Indonesia dan tentaranya berdiri. Mereka yang tak ingin pulang banyak yang membaur bersama orang-orang Indonesia sebagai kombatan dan melawan tentara Sekutu yang terdiri dari Inggris, Belanda, dan lainnya.

Para bekas serdadu Jepang yang ikut Indonesia itu kemudian punya nama Indonesia. Dalam buku Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan 3 (1994:714-739) yang disusun Irna Hadi Soewito melampirkan nama-nama serdadu Jepang yang ikut Indonesia, di antaranya adalah Rahmat Shigeru alias Sakari Ono dan Tosio Morita.

Kehadiran bekas tentara Jepang itu dimanfaatkan dengan baik oleh militer Indonesia. Komandan intelijen Indonesia di awal revolusi kemerdekaan Indonesia, Zulkifli Lubis, seperti disebut Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (2007:4), mengerahkan dua perwira Jepang untuk mengajarkan teknik-teknik paramiliter kepada calon intel yang dilatih di Jakarta. Dua perwira itu bergabung dengan Lubis sejak pertengahan 1945.

Rahmat Shigeru juga mengaku pernah mendapat tugas dari Zulkifli Lubis. Sebelum serdadu-serdadu Jepang di Indonesia dipulangkan, ia pernah mendatangi kawan-kawannya di Cirebon dan mendapatkan 30 buku teknik perang. Rahmat Shigeru mendapat permintaan dari petinggi militer Republik untuk merangkum buku-buku tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Hal itu dikerjakannya sejak 13 Februari 1946.

Bersama Karman Katano, Adam Takigami, dan Abdul Rahman Tatsuo Ichiki, Rahmat Shigeru mengerjakan tugas tersebut. Di antara mereka hanya Ichiki yang benar-benar menguasai bahasa Indonesia, sehingga kawan-kawannya menggelari Ichiki sebagai sensai (guru). Karman, Adam, dan Rahmat masih dalam tahap belajar. Pengerjaan buku dilakukan di Sarangan, Magetan, Jawa Timur.

“Jadi saat itu kami menulis dua buku, satu tugas dari Markas Besar Tentara di Yogyakarta, yang kedua tentang taktik khusus perang gerilya permintaaan Zulkifli Lubis. Semua yang menulis ya Ichiki Sensai,” ujar Rahmat Shigeru. Setelah buku selesai, naskahnya dipegang Zulkifli Lubis dan tak diketahui lagi di mana buku itu berada.

Sarangan memang pernah menjadi tempat pelatihan bagi satuan intelijen Republik. Rahmat Shigeru yang dijadikan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) pernah menjadi pelatih militer di sana.

Selain itu, di Jawa Timur juga ada satuan khusus yang terdiri dari orang-orang Jepang yang bernama Pasukan Gerilya Istimewa (PGI), yang kemudian disusun kembali menjadi Pasukan Untung Suropati 18 (PUS-18). Seperti dicatat Eiichi Hayashi dalam Mereka Yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono (2011:134), angka yang mulanya hendak dipakai di belakang nama pasukan adalah 17, namun angka 7 (shichi dalam bahasa Jepang) mengandung kata shi yang berarti mati, maka angka 18 pun dipakai sebagai gantinya.

Di antara serdadu-serdadu Jepang yang ikut Indonesia, tidak sedikit yang kemudian gugur dalam pertempuran. Mayor Abdul Rahman Tatsui Ichiki gugur di Arjosari pada 3 Januari 1949 dan dimakamkan secara Islam. Ya, agama Islam memang banyak dianut oleh para mantan serdadu Jepang. Selain Ichiki, ada pula Letnan Kolonel Arief Tmogero Yozhizumi yang meninggal pada 10 Agustus 1948. Keduanya merupakan personel Pasukan Gerilya Istimewa (PGI).

Infografik Mozaik Rahmat Shigeru Ono

Infografik Mozaik Rahmat Shigeru Ono. tirto.id/Sabit

Serdadu Jepang yang ikut Indonesia tidak hanya rawan dibunuh oleh tentara Belanda, tapi juga oleh sesama pasukan Indonesia. Eiichi Hayashi (2011:81) menyebut bahwa pasukan Budiman Juichi Takai yang berdiri di pihak Indonesia pernah ditembaki pasukan RI asal Sumatra yang dipimpin Mayor Tobing di Garut tanpa alasan yang jelas. Pasukan Tobing itu lalu dikejar pasukan Budiman dan lari ke Cirebon.

Memang tak semua serdadu Jepang yang berada di Indonesia akan dengan mudah diterima oleh orang-orang Indonesia. Tosio Morita alias Soelarso, seperti disebut dalam lampiran Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan 3 (1994:721), pernah ditahan oleh pasukan Mayor Sabarudin dari Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR), namun Tosio kemudian dibebaskan dan bergabung dengan PTKR sebentar.

Disebutkan pula bahwa Tosio pernah bergabung dengan laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) di Mojokerto, sebelum kota itu jatuh ke tangan tentara Belanda. Setelah Mojokerto jatuh, Tosio yang lahir di Saipan pada 10 Agustus 1923, pindah ke Malang dan ikut dalam Pemuda Indonesia Maluku (PIM) hingga 1949. Tosio yang kemudian menjadi istri dari Raden Sri Suparmini ini selanjutnya bekerja menjadi supir dan tinggal di Tulungagung.

Beberapa bekas serdadu Jepang yang memilih tinggal di Indonesia memang menikahi perempuan Indonesia. Meski demikian, mereka tidak langsung mendapat status sebagai warga negara Indonesia. Rahmat Shigeru, misalnya, baru mendapat kewarganegaraan Indonesia setelah Sukarno menikahi Naoko Nemoto alias Ratna Sari Dewi pada 1963. Sebelumnya, Sukarno sulit menerima permintaan orang Jepang untuk menjadi warga negara Indonesia.

Meski baru diakui pada 1963, sejatinya Rahmat Shigeru Ono telah menjadi bagian dari Indonesia sejak 1945. Dia tak mau menyerah kepada Sekutu, dan memilih membela kemerdekaan Indonesia. Untuk Indonesia dia bahkan kehilangan salah satu tangannya pada tanggal 26 September 1948, bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-29, saat ia melakukan ujicoba pelontar granat.

Rahmat Shigeru Ono yang lahir di Hokaido, meninggal dunia pada 25 Agustus 2014, tepat hari ini 7 tahun lalu di Batu, Malang.

Baca juga artikel terkait SERDADU JEPANG atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh