Menuju konten utama

Rahasia Ketangguhan Gojek, Grab, dan AirBnB di Tengah Pandemi

Corona tidak membuat pelbagai startup buntung alih-alih untung.

Rahasia Ketangguhan Gojek, Grab, dan AirBnB di Tengah Pandemi
Ilustrasi START UP. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Dunia terhentak tatkala virus Corona muncul awal 2020 silam. Bagaimana tidak, virus yang pertama kali muncul di kota Wuhan, Cina tersebut, memaksa perkantoran dan sekolah ditutup dan memaksa hampir seluruh masyarakat dunia masyarakat dunia tinggal di rumah. Perlahan, di awal-awal kekejaman Corona, bisnis berguguran. Airy, startup yang menawarkan hotel-hotel bertarif murah, adalah salah satu korban kekejaman Corona.

"Kami telah melakukan upaya terbaik untuk mengatasi dampak dari bencana (virus corona) ini," terang Airy, menanggapi hancurnya bisnis wisata dan akomodasi karena pandemi COVID-19 dalam email yang dikirim pada para mitra bisnis mereka, sebagaimana diungkap Tech in Asia Mei 2020 lalu. "Namun, mengingat penurunan teknis yang signifikan dan pengurangan sumber daya manusia, kami telah memutuskan untuk menghentikan operasional bisnis kami secara permanen," lanjut Airy. "Setelah 31 Mei 2020 kami tidak dapat menyediakan layanan untuk semua mitra."

Duo startup raksasa Asia Tenggara Grab dan Gojek pun mengalami nasib serupa. Pada Juni 2020, hampir tiga bulan selepas pemerintah Indonesia menyatakan secara resmi Corona ada di Indonesia, Grab mem-PHK 360 Grabbers (karyawan Grab), sementara Gojek harus rela menutup beberapa layanan mereka, yakni GoClean, GoMassage, dan GoFood Festival, yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja 430 karyawannya. Di Amerika Serikat, Uber, Lyft, dan AirBnB, merupakan beberapa startup yang juga mengalami peruntungan buruk akibat Corona, dengan terpaksa harus merumahkan ribuan pekerja.

Meskipun Corona masih belum teratasi--bahkan memaksa beberapa negara di Eropa untuk kembali melakukan kebijakan lockdown--peruntungan buruk yang sempat menimpa perusahaan-perusahaan teknologi tak berlanjut. Pada akhir 2020 ini, hampir setahun usai SARS-CoV-2 menghajar dunia, startup teknologi justru makin kuat.

Pulih Cepat, Langsung IPO

Pada Maret 2020, Getaround, startup di Amerika Serikat yang menyewakan mobil melalui aplikasi ponsel, melakukan PHK terhadap 150 pegawainya tak lama selepas banyak negara bagian di AS memaksa warga tinggal di rumah guna menghindari penularan virus. Sebulan kemudian, tulis Erin Griffith pada laporannya untuk The New York Times, keadaan Getaround kian memburuk. Startup yang didirikan oleh Sam Zaid, Jessica Scorpio, dan Elliot Kroo ini pun akhirnya kembali memangkas karyawan dan meminta bantuan dana sekitar USD 5-10 juta kepada pemerintah agar tidak bangkrut.

Kehancuran mulai nampak di depan mata. Namun, badai akhirnya reda. Ketika Paman Sam mulai melonggarkan kebijakan lockdown, bisnis kembali bergeliat dan orang-orang kembali ke jalanan. Penyewaan mobil Gatearound hidup kembali. Sam Zaid mengatakan bisnisnya "benar-benar pulih dengan sangat cepat". Menginjak bulan ketujuh, pendapatan Gatearound hanya berjarak 40 persen dari yang diperoleh setahun lalu.

Getaround tidak sendirian. Paul Gompers, peneliti pada National Bureau of Economic Research, Massachusetts, menulis studi berjudul "Venture Capitalist and Covid-19" (September 2020). Studi yang dilakukan dengan survei pada lebih dari 1.000 kapital ventura serta membandingkan aksi investasi 2016 dan 2020 itu menyimpulkan bahwa pandemi Corona tidak banyak berpengaruh pada startup. Sebanyak 52 persen startup yang dinaungi kapital ventura yang disurvei menyatakan baik-baik saja, sementara sekitar 30 persen mengaku sedikit terdampak. Hanya 10 persen perusahaan teknologi benar-benar terkena efek negatif Corona.

Ketika Corona mulai mewabah, para ventura kapital menilai pandemi akan mengakibatkan "Black Swan of 2020", suatu frasa yang merujuk kehancuran bisnis-bisnis startup. Namun, kenyataan berkata lain. Dunia digital menggeliat di tengah kebijakan pemerintah yang memaksa warganya tinggal di rumah. Masyarakat kian masif beralih dari dunia offline ke online. Pandemi COVID-19 hanya berpengaruh negatif pada startup yang berhubungan dengan dunia pariwisata, atau secara lebih spesifik pada startup pariwisata yang gagal--untuk sementara waktu--beralih ke model bisnis lain. Bahkan, melalui Corona, startup kian tahu kekuatan mereka sendiri. Gojek, misalnya, menjadi paham bahwa GoClean, GoMassage, dan GoFood Festival memang bukan kekuatan mereka.

"Orang-orang di lingkungan startup kini mencoba lebih fokus pada kekuatan sesungguhnya mereka untuk menjadi juara," ujar Heather Gates, Direktur Pelaksana Deloitte, pada Gompers untuk studinya.

Andre Soelistyo, dalam Konferensi Pers Perayaan Hari Jadi Ke-10 Gojek, menyatakan bahwa di tengah pandemi Corona, Gross Transaction Value (GTV) atau total transaksi yang dilayani Gojek mengalami peningkatan 10 persen dibandingkan tahun lalu. Tahun ini Gojek memproses transaksi senilai USD 12 miliar, sementara layanan inti seperti GoFood dan GoRide memperoleh "cetak laba operasional luar biasa". Tak ketinggalan, transaksi menggunakan dompet digital Gopay mengalami peningkatan 2,7 kali lipat dibandingkan tahun lalu.

Atas kinerja yang cemerlang ini Gojek memperoleh tiga kali pendanaan selama 2020. Gojek menggondol uang senilai USD 1,2 miliar melalui pendanaan Seri F pada Maret, kemudian pendanaan Seri F senilai USD 375 juta pada Juni. Gojek pun memperoleh pendanaan tambahan senilai USD 100 juta via Telkomsel pada November ini.

Selain mendapat suntikan modal baru, Gojek mengeluarkan dana miliknya untuk melakukan aksi korporasi, seperti mengucurkan investasi pada Blue Bird senilai USD 30 juta di bulan Februari lalu dan membeli WePay, startup pembayaran digital asal Vietnam pada September lalu.

Infografik Startup Untung di Tahun 2020

Infografik Startup Untung di Tahun 2020. tirto.id/Quita

Demikian pula Tokopedia dan Bukalapak. Saking pentingnya dunia digital di era Work From Home (WFH), Tokopedia memperoleh suntikan modal senilai USD 500 juta di bulan Juni lalu melalui pendanaan Seri H, dan Bukalapak memperoleh uang dari Microsoft senilai USD 100 juta pada November ini.

Keuntungan juga menimpa lawan berat Gojek, Grab. Februari lalu, Grab sukses memperoleh suntikan dana senilai USD 856 juta dan enam bulan kemudian memperoleh tambahan dana senilai USD 200 juta. Tak ketinggalan, Grab pun melakukan aksi investasi pada LinkAja senilai USD 100 juta pada pekan kedua November 2020.

Di kancah internasional, startup seperti DoorDash, Instacart, dan Robinhood, masing-masing mengalami peningkatan nilai valuasi, menjadi USD 16 miliar, USD 13,7 miliar, dan 6 miliar.

"COVID meroketkan kami secara eksponensial," tawa Ruben Flores-Martinez, pendiri Cashdrop.

Kisah yang paling mengejutkan dari dunia startup di tengah-tengah pandemi adalah AirBnB. Tentu, sebagai startup yang menawarkan penginapan bagi para pelancong, AirBnB di depan kehancuran ketika pandemi memaksa banyak negara menutup perbatasannya. AirBnB bahkan harus mem-PHK 1.900 karyawannya atau sekitar 25 persen dari tenaga kerja perusahaan pada awal pandemi. Tak ketinggalan, mereka pun harus membayar uang refund senilai USD 1 miliar pada para pengguna AirBnB yang membatalkan kunjungan.

Untunglah, nasib serupa Airy tidak menimpa AirBnB. Alih-alih pasrah pada keadaan, mereka berubah dan menciptakan layanan baru semacam tur virtual. Akhirnya, merujuk dokumen yang mereka kirimkan pada otoritas pasar modal di AS untuk melakukan penawaran saham perdana (IPO), AirBnB memang rugi USD 697 juta, tetapi mereka sukses memperoleh pendapatan USD 2,5 miliar akhir September lalu melalui tur virtual. Kinerja ini menjadi bukti bahwa AirBnB memiliki model bisnis yang kokoh, dan hanya tinggal menunggu pandemi berakhir agar perusahaan ini benar-benar untung.

Di tengah pandemi Corona, AirBnB berencana go public. Dan sebagaimana diwartakan The New York Times, uang senilai USD 3 miliar diperkirakan akan diperoleh AirBnB tatkala melakukan aksi korporasi ini.

Baca juga artikel terkait STARTUP atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf