Menuju konten utama

R.A.H. Soejono, Beauty Guru Bumiputra di Akhir Era Kolonial

Di akhir era Kolonial, Raden Ayu Harjo Soejono meroket sebagai ahli kecantikan bumiputra. Aktivitasnya sempat ditentang kelompok konservatif.

R.A.H. Soejono, Beauty Guru Bumiputra di Akhir Era Kolonial
Header Mozaik Raden Ajoe Harjo Soejono. tirto.id/Tino

tirto.id - Majalah perempuan Doenia Kita (Juni 1939) menurunkan sebuah artikel berjudul “Siapa yang Tidak Ingin Muda dan Cantik Untuk Waktu Yang Lama?”. Rupanya, itu adalah berita tentang penyelenggaraan demo produk kecantikan di Batavia. Instrukturnya adalah Raden Ayu Harjo Soejono.

Demo produk kecantikan ini berjalan sukses dan bahkan juga memuat testimoni dari para suami yang istrinya menjadi peserta. Mereka umumnya mengatakan terima kasih kepada Nyonya Soejono yang telah membantu istrinya menjadi lebih cantik.

Siapakah Nyonya Soejono, beauty guru yang dipuji ini?

Doenia Kita menyebut Nyonya Soejono dengan predikat schoonheidspecialiste alias ahli kecantikan. Asalnya dari Surabaya dan disebut-sebut sebagai “wanita kelahiran Indonesia pertama yang berkecimpung di bidang perawatan wajah”.

Saat artikel itu terbit, nama Nyonya Soejono sudah demikian masyhur, terutama di kalangan perempuan kelas menengah atas. Namun, gaung namanya memudar seiring waktu dan kini dia hampir tak dikenal.

Sumber sejarah tentang masa kecil Nyonya Soejono tidaklah banyak. Yang terang, Nyonya Soejono mengaku memiliki nama gadis Soefina dan lahir dalam keluarga ningrat di Surabaya. Soefina lalu menikah dengan Raden Harjo Soejono dan sejak itulah orang menyapanya Nyonya Soejono.

Dalam sebuah wawancara yang juga terbit Doenia Kita (Agustus 1939), Nyonya Soejono mengaku bahwa mulanya menekuni perawatan kecantikan adalah untuk keperluannya sendiri.

“Sedjak dahoeloe, perkara merawat ketjantikan itoe sangat saja perhatikan,” tuturnya.

Rupanya hal ini juga dipengaruhi oleh interaksinya dengan Dokter Soetomo. Beliaulah yang mengajari Nyonya Soejono berbagai ilmu dan resep obat kecantikan. Interaksi ini terjalin melalui sang suami yang merupakan kolega Dokter Soetomo kala mendirikan perkumpulan Indonesische Studieclub pada 1924.

“Berbagai-bagai keterangan saja koempoelkan dari beliau, dan meskipoen boekan beliau jang mendorong saja oentoek mempeladjari ilmoe merawat ketjantikan itoe, akan tetapi banjak djoegalah saja mendapat pertoendjoek dan nasehat dari beliau dalam ichtiar saja mempeladjari ilmoe itoe,” kenang Nyonya Soejono.

Belajar lalu Berbagi Ilmu

Selain belajar kepada Dokter Soetomo, Nyonya Soejono juga mendalami ilmu kecantikan di berbagai institut baik di dalam maupun luar negeri. Terawal, dia mengikuti kursus perawatan kecantikan berdurasi setahun di sebuah institut di Surabaya.

Di situ, Nyonya Soejono mempelajari bagaimana merawat wajah dan kulit. Selanjutnya, dia belajar sendiri dan mengamati perkembangan ilmu kecantikan di beberapa negara. Di antara yang pernah dia singgahi adalah Filipina, Jepang, dan Tiongkok.

Schoonheids-instituut dinegeri-negeri terseboet sangat saja perhatikan oentoek memperloeas pengetahoean saja,” tuturnya dalam wawancara bersama awak Doenia Kita.

Setelah mahir, barulah Nyonya Soejono bergerak untuk berbagi ilmu. Salah satu isu yang menggerakkannya adalah kurangnya kesadaran perempuan Indonesia saat itu untuk merawat dirinya sendiri.

Kaum ibu, demikian Nyonya Soejono menyebut, punya banyak beban sehingga jarang punya waktu memperhatikan kesehatan wajah dan kulitnya.

“Karena ini, banjaklah diantaranja jang kelihatan lekas toea, padahal mereka masih beroemoer moeda. Bagi mereka ini perloe benarlah pemeliharaan roepa dan koelit jang baik,” tutur Nyonya Soejono.

Tekad R.A.H. Soejono untuk menyebarkan pengetahuan tentang perawatan kecantikan kemudian diwujudkan dengan pendirian perusahaan produk kecantikan. Perusahaan yang bernama Instituut de Beauty “Fina” itu resmi berdiri pada Desember 1938 di Surabaya.

Nama “Fina” diambil dari nama gadisnya, Soefina. Kantor pusat di Surabaya itu sekaligus memiliki laboratorium untuk produksi obat-obat kecantikan. Lain itu, Instituut de Beauty “Fina” juga membuka cabang di Jakarta, Bogor, Sukabumi, Bandung, dan Solo.

“Jang saja bikin, ialah seperti obat oentoek menghaloeskan koelit, menghilangkan djerawat, minjak ramboet dan berbagai-bagai crème [krim, red.] untuk keperluan make-up,” terang Nyonya Soejono.

Untuk mempromosikan produk-produk kecantikannya, Nyonya Soejono juga rajin menulis artikel advertorial seputar kecantikan di majalah Doenia Kita. Majalah ini merupakan media dengan sasaran pembaca kaum perempuan elite. Di sini, Nyonya Soejono memiliki rubriknya sendiri.

Artikel-artikelnya ditulis dalam bahasa Belanda—menunjukkan kecakapan Nyonya Soejono berbahasa asing. Topik yang ditulis juga bermacam-macam, mulai dari cara membersihkan muka, merawat rambut, menggunakan masker wajah, hingga menjaga kebersihan sikat rambut.

Ambillah contoh artikel berjudul “Gebruik En De Uitwerking Van Fina Schoonheidsmiddelen” (Penggunaan dan Pengaruh Kosmetik Fina). Di artikel yang terbit dalam Doenia Kita (September 1939) itu, Nyonya Soejono menuliskan tata cara membersihkan wajah menggunakan produk-produk Fina, yakni krim pembersih, krim antikerut, dan krim alas bedak.

“Pertama, anda membutuhkan ‘Krim Pembersih’ yang digunakan di malam hari, dan krim ini membersihkan sampai ke pori-pori terdalam. Jika anda memiliki kulit kering, ‘Krim untuk Kulit Kering’ sangat direkomendasikan. Setelah pembersihan ini, langkah selanjutnya adalah meremajakan wajah. Jika kerutan sudah muncul, ‘Krim Antikerut’ harus dipijat lembut ke dalam kulit dengan gerakan memijat ke atas. Setelah kulit anda dibersihkan dan dilindungi, gunakan ‘Krim Alas Bedak’ sebagai lapisan awal untuk merias wajah dengan bedak.”

Tak lupa, Nyonya Soejono melampirkan kalimat-kalimat iklan tentang Instituut de Beauty Fina.

Tidak hanya menulis, Nyonya Soejono juga melakukan edukasi melalui tur demonstrasi perawatan kecantikan ke berbagai kota. Dalam kegiatan ini, beliau secara langsung menunjukkan bagaimana caranya merawat kulit muka dan meriasnya dengan kosmetik.

Salah satu tur edukasi itu dihelat di Kramat, Batavia, dan Doenia Kita turut jadi sponsornya.

Liputan atas kegiatan itu juga diberitakan oleh Doenia Kita (Juni 1939) dengan judul “Wie Zou Niet Graag Lang Jong en Mooi Willen Blijven?” (Siapa Tak Ingin Awet Muda dan Cantik dalam Waktu Lama?).

Artikel itu menyebut, “Didorong oleh artikel-artikelnya di Doenia Kita, Nyonya Soejono berinisiatif untuk menyebarkan ilmunya untuk kepentingan perempuan sebangsanya. [...] Dalam demonstrasi itu, Soejono melakukan perawatan kepada salah satu peserta. Setelah satu jam, peserta itu selesai dan semua orang kagum karena dia telah menjadi sangat muda, segar, dan cantik.”

Polemik

Sebulan berikutnya, surat kabar Pemandangan (12 Juli 1939) juga mengabarkan tentang demo perawatan kecantikan Nyonya Soejono. Kali ini, acara dihelat di Sukabumi, di rumah seorang bernama Nyonya Thamrin.

Acara berlangsung sukses. Tidak hanya kaum ibu Indonesia saja yang hadir, tapi juga ada peserta perempuan Belanda. Pelaksanaan demo perawatan kecantikan itu rupanya berbarengan dengan rapat pendirian cabang organisasi Isteri Indonesia.

Selain di Batavia dan Sukabumi, Nyonya Soejono juga berkunjung ke Bandung, Bogor, dan Solo. Terang bahwa nama Nyonya Soejono sebagai ahli kecantikan telah demikian masyhur di tahun itu.

Namun, agaknya tidak semua perempuan Indonesia menyambut hangat ide-ide dan upaya Nyonya Soejono. Sebuah artikel di majalah Isteri Indonesia (September 1939) yang berjudul “Isteri Indonesia dan Make Up” menggambarkan hal itu.

Artikel yang ditulis Siti Danilah itu memaparkan pandangan organisasi Isteri Indonesia terhadap demo perawatan kecantikan Nyonya Soejono. Siti Danilah menyebut bahwa tiada persoalan krusial dalam perkara membersihkan dan memelihara wajah. Sesuatu yang baik dan sudah umum sejak dulu.

Infografik Mozaik Raden Ajoe Harjo Soejono

Infografik Mozaik Raden Ajoe Harjo Soejono. tirto.id/TIno

Namun, dia cenderung resisten pada soal make up—yang disebutnya “menggambar dan mentjet moeka”. Siti Danilah menyebut bahwa make up di Barat identik dengan “perempoean-perempoean jang koerang baik namanja”. Pada intinya, dia ingin menyebut make up punya konotasi negatif.

Masih lebih soeka saja melihat moeka jang bersih dan segar setjara ‘natuurlijk’ dari pada melihat moeka jang ‘digambar’ dan ‘dijtjet’ setjara berlebihan hingga telah djaoeh berlainan dari roepanja jang sebenarnja,” terang Siti Danilah.

Melalui artikel itu juga, Siti Danilah menegaskan bahwa Isteri Indonesia bukanlah penyelenggara demo perawatan kecantikan Nyonya Soejono di Batavia. Acara itu disebut merupakan hajat perusahaan Doenia Kita yang dipimpin Herawati Latip, Ketua Isteri Indonesia cabang Jakarta.

Tak bisa dipungkiri bahwa di zaman itu masih ada golongan konservatif yang menganggap bahwa make up sebagai kebiasaan orang Barat yang tidak patut dilakukan perempuan Indonesia. Seturut pengakuannya sendiri, Siti Danilah berdiri di barisan konservatif ini.

Biarpun mendapat penyangkalan semacam itu, R.A.H. Soejono sendiri agaknya tidak terlalu ambil pusing. Dia tetap rutin menulis artikel seputar kecantikan di Doenia Kita. Lain itu, dia juga memperluas topik bahasannya.

Di luar soal kecantikan, Nyonya Soejono juga menaruh perhatian pada soal-soal sosial budaya yang berkenaan dengan perempuan. Dalam artikel berjudul “Soloische Gebruiken, Zeden, em Gewonten” (Adab dan Adat Istiadat Solo), misalnya, Nyonya Soejono menulis amatannya atas kehidupan perempuan di Solo.

Artikel yang terbit di Doenia Kita (Juli 1940) itu memaparkan kondisi sosial priyayi di Keraton Solo dan para perempuan Solo yang pekerja keras. Mereka dengan luwesnya berdagang batik dan turut menggerakkan perekonomian di salah satu wilayah Vortstenlanden itu.

Seperti halnya masa kecilnya, sumber-sumber terkait masa tua R.A.H. Soejono terhitung obskur.

Baca juga artikel terkait KECANTIKAN atau tulisan lainnya dari Amanda Lathifah Laksmana Putri

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Amanda Lathifah Laksmana Putri
Penulis: Amanda Lathifah Laksmana Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi