Menuju konten utama

Ragam Cara Anak Buah Jokowi Mengulur Waktu Revisi UU ITE

Pemerintah melakukan jalan berputar saat untuk merevisi UU ITE. Mereka membentuk tim pengkaji--yang bagi masyarakat tidak tepat.

Ragam Cara Anak Buah Jokowi Mengulur Waktu Revisi UU ITE
Menko Polhukam Mahfud MD menjadi pembicara kunci saat seminar nasional untuk memperingati HUT Ke-6 Badan Keamanan Laut (Bakamla) di Jakarta, Selasa (15/12/2020). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.

tirto.id - Niat Presiden Joko Widodo merevisi UU ITE—regulasi yang memakan banyak korban dan dianggap salah satu penyebab kemunduran demokrasi—masih jauh panggang dari api. Mantan Wali Kota Solo itu tidak mengirim surat ke DPR sebagaimana mekanisme revisi UU pada umumnya, di sisi lain malah meminta para pembantunya melakukan banyak hal lain yang bagi sebagian kalangan keliru.

Awalnya Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate membuka peluang bagi beberapa lembaga negara untuk membuat semacam pedoman interpretasi UU ITE. Mereka bisa datang dari Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian, hingga kementerian terkait. “Pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE agar lebih jelas dalam penafsirannya,” kata Johnny 17 Februari lalu.

Senin (22/1/2021) lalu, Menkopolhukam Mahfud MD akhirnya membentuk Tim Pengkaji UU ITE. Tim itu rencananya akan bekerja selama tiga bulan hingga 22 Mei mendatang dan akan melaporkan hasil kerjanya langsung ke Mahfud.

Tim pelaksana dipimpin oleh Sugeng Purnomo (Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenkopolhukam) dan Sekretaris Imam Marsudi (Staf Khusus Menkopolhukam Bidang Sosial Budaya). Selanjutnya, Ketua Sub Tim I akan dikepalai oleh Henri Subiakto (Staf Ahli Bidang Hukum Kominfo), dan Ketua Sub Tim II dijabat oleh Widodo Ekatjahjana (Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham).

Di hari yang sama Menteri Johnny mengumumkan membentuk Tim Pedoman Pelaksanaan UU ITE. “Pedoman pelaksanaan UU ITE ini bukan norma hukum baru. Jangan sampai ini ditafsirkan seolah-olah membuat satu tafsiran terhadap UU, karena penjelasan sudah ada di bagian ‘Penjelasan’. Penafsiran akhir dalam pelaksanaan yudisial sistem adalah kewenangan hakim,” jelas dia.

Satu hari setelahnya (23/2/2021) giliran Kapolri Listyo Sigit yang bermanuver. Ia mengeluarkan surat edaran mengenai proses hukum terhadap UU ITE. Dalam Surat Telegram Nomor: ST/339/II/RES.1.1.1/2021 bertanggal 22 Februari 2021 perihal Pedoman Penanganan Tindak Pidana Siber Khususnya Ujaran Kebencian itu, ia meminta polisi mengutamakan pendekatan restoratif. “Surat Telegram ini bersifat arahan sekaligus perintah untuk dipedomani dan dilaksanakan," tulis Sigit.

Elite

Langkah-langkah pemerintah itu dikritik parlemen. Wakil Ketua MPR RI Fraksi PKB, Jazilul Fawaid, mempertanyakan mengapa komposisi Tim Pengkaji UU ITE hanya terdiri dari unsur pemerintah tanpa melibatkan, misalnya, akademisi dan pakar independen. “Akademisi, pakar, dan praktisi perlu dilibatkan agar sudut pandangnya lebih komprehensif,” kata Jazilul kepada wartawan Tirto, Rabu (24/2/2021) siang.

Ia juga menyayangkan mengapa tak ada unsur masyarakat sipil, aktivis, atau perseorangan independen yang selama ini rentan dijerat pasal-pasal karet UU ITE. Menurutnya, pelibatan mereka penting karena akan lebih mudah menemukan celah dari pasal-pasal karet itu. “Bisa dimulai [dari] audit kasus-kasus ITE agar ditemukan penerapan pasal-pasal yang dianggap karet dan multitafsir,” kata dia.

LBH Pers, SAFEnet, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), beserta belasan organisasi masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil juga menyayangkan keputusan Menteri Mahfud yang tidak melibatkan pihak yang dapat melihat implikasi UU ITE terhadap pelanggaran hak-hak asasi warga seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan.

“Komnas HAM yang selama ini menerima aduan terkait pelaporan pada pembela HAM dengan pasal-pasal karet UU ITE dan Komnas Perempuan yang selama ini menerima aduan terkait laporan korban kekerasan gender yang justru dilaporkan dengan pasal 27 ayat 1 dan pasal 27 ayat 3 UU ITE saat memperjuangkan haknya sebagai korban,” kata perwakilan koalisi, Rizky Yudha, lewat keterangan tertulis.

Rizky mengatakan pembentukan Tim Pengkaji UU ITE tanpa melibatkan pihak independen akan berpotensi melanggengkan pasal-pasal karet yang selama ini lebih banyak digunakan oleh orang yang memiliki kuasa seperti aparat, pejabat, hingga pengusaha. Selain itu, Tim Pengkajian UU ITE akan sekadar menitikberatkan aspek legalistik formal daripada situasi ketidakadilan yang timbul.

“Sulit rasanya berharap banyak pada Tim Kajian UU ITE dapat menemukan kajian ketidakadilan dalam UU ITE jika melihat komposisinya yang tidak seimbang dan lebih banyak dari pihak pemerintah saja,” kata dia.

Tak hanya itu, koalisi juga menolak Tim Pedoman Pelaksanaan UU ITE yang dibentuk oleh Menteri Johnny. “Pedoman interpretasi ini tidak akan menjawab akar persoalan dari permasalahan akibat pasal-pasal karet UU ITE,” tambah Rizky.

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian menepis anggapan pemerintah tidak serius merevisi UU ITE. Menurutnya niat Presiden tidak berubah, hanya saja memang perlu tim penelaah sebagai langkah awal. “Ketika ada kajian-kajian, nanti akan disinergikan sebagai alternatif masukan. Semuanya intinya untuk merevisi UU itu,” kata Donny saat dikonfirmasi wartawan Tirto, Rabu.

Tim pengkaji yang dibentuk oleh Menkopolhukam Mahfud juga menurutnya akan tetap menerima masukan dari masyarakat sipil. “Semua dinamika di publik pasti dimonitor. Beberapa media bahkan sudah membuat analisis pasal-pasal mana yang perlu direvisi, sudah ada. Itu pasti [jadi] bahan masukan. Jangan khawatir, stakeholder pasti dilibatkan,” kata dia.

Menurutnya semua itu dilakukan karena “enggak mungkin kita kerja bareng dari nol.” Dia berjanji: “biarkan pemerintah menyiapkan dulu, nanti baru civil society.

Baca juga artikel terkait REVISI UU ITE atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino