Menuju konten utama

Raden Saleh: Tahun-Tahun Eropa, Rasisme, dan Berita Bohong

Setelah pulang ke Jawa, Raden Saleh terlibat dalam penelitian kepurbakalaan. Dalam aktivitas ini ia difitnah oleh seorang bintara Belanda.

Raden Saleh: Tahun-Tahun Eropa, Rasisme, dan Berita Bohong
Pengunjung melihat lukisan berjudul "Perkelahian dengan Singa" karya pelukis Raden Saleh Syarif Bustaman pada pembukaan Pameran Seni Koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia Semangat Dunia, di Galeri Nasional, Jumat (3/8/2018). ANTARA FOTO/Dodo Karundeng

tirto.id - Raden Saleh muda bertolak ke Eropa sebagai pegawai dari inspektur keuangan Jean Baptiste de Linge pada tahun 1829. Perjalanan yang sebenarnya direncanakan dua tahun itu akhirnya bertambah panjang hingga dua puluh tahun.

Ketika De Linge kembali ke Hindia pada 1931, Raden Saleh memilih tetap tinggal “untuk belajar lebih dalam mengenai ilmu hitung dan litografi.” Pada waktu ini, ia disokong beasiswa dari pemerintah kolonial sebesar dua ribu gulden.

Lewat koneksi patron-patronnya, ia berkenalan dengan sejumlah pelukis Eropa: Cornelis Kruseman, Andreas Schelfhout, dan lainnya. Van Dijk (1986:12–16) mengungkap bahwa biaya sewa kamar dan makan Raden Saleh ditanggung pemerintah kolonial.

Ini tampaknya tidak dilakukan semata-mata demi kesejahteraan Raden Saleh, tetapi lebih karena pemerintah kolonial tidak tahu apa lagi yang dapat mereka lakukan untuk mengaturnya.

Raden Saleh adalah orang paling depan dalam barisan mahasiswa Hindia yang mendapat pendidikan modern di Eropa. Namun, kenyataan ini juga yang meletakkan Raden Saleh dalam posisi yang cukup sulit.

Situasi di Hindia Belanda tahun 1830-an, yakni pada saat studi Raden Saleh, adalah masa perintisan tata tenteram. Perang Jawa yang melelahkan baru saja usai dan Belgia sedang melakukan revolusi untuk lepas dari Belanda.

Mengembalikan seseorang dengan otak cerdas, lengkap dengan pendidikan Eropa ke tanah jajahan berarti siap untuk menerima kemungkinan lahirnya pemimpin pemberontakan atau paling tidak suara kritis. Inilah beban pikiran yang menghantui pemerintah saat itu.

Evaluasi tentang kepulangan Raden Saleh ke Jawa dilakukan tiap sekitar dua tahunan. Pejabat kolonial selalu dihadapkan lagi dan lagi kepada pertanyaan yang sama: apakah Raden Saleh boleh pulang?

Raden Saleh kemudian dianjurkan untuk melanjutkan studi ke luar Belanda.

Pada 1839, ia berangkat ke Jerman dan tinggal dalam lingkaran para adipati (hertog) besar. Salah satu bangsawan tinggi yang dikenalnya adalah Adipati Agung Saxe-Coburg-Gotha, saudara pihak suami Ratu Victoria dari Inggris. Pada masa kini, kita mengenal wangsa ini dengan nama Windsor yang jadi dinasti penguasa di Inggris Raya.

Pada 1844, Raden Saleh kembali ke Belanda. Ia diterima Raja Willem II. Tujuh tahun sebelumnya, yakni pada 1837, putra Willem II, Pangeran Hendrik Sang Pelaut, sempat mengunjungi Hindia dan menemui Diponegoro di Makassar. Hendrik adalah keluarga Kerajaan Belanda pertama yang pernah menginjakkan kakinya di Hindia.

Setelah bertemu sang pangeran, Carey dalam Percakapan dengan Diponegoro (2022) menyebut bahwa Pangeran Hendrik menulis surat kepada ayahnya yang saat itu belum naik takhta. Ia mengungkap gugatannya tentang penangkapan curang Diponegoro. Gugatan sama yang nantinya juga dilukiskan Raden Saleh.

Willem II menganugerahi Raden Saleh dengan Bintang Jasa Eikenkroon dan mengangkatnya sebagai pelukis istana. Raden Saleh kemudian sempat mengadakan perjalanan ke Prancis dan Aljazair (koloni Prancis).

Dalam tahun-tahun Prancis itu, Raden Saleh dikenal luas sebagai “Sang Pangeran Jawa” karena pakaiannya yang mencolok. Tur Prancis menutup tahun-tahun Eropa Raden Saleh yang panjang. Akhirnya pada 1851 ia kembali ke Jawa.

Penelitian Kepurbakalaan

Di samping karier seninya yang terus berlanjut, aktivitas Raden Saleh di Jawa adalah terlibat dalam bidang penelitian purbakala. Ketika masih di Belanda, ia menjadi anggota Institut Kerajaan untuk Penelitian Humaniora (KITLV).

Selain itu, ia juga menjadi anggota non-pengurus dari Perhimpunan Batavia untuk Ilmu Pengetahuan atau Bataviaasch Genootschap. Dalam Van Batavia naar Weltevreden; Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 1778–1867 karya Hans Groot (2009), Raden Saleh secara rutin dimintai pendapat oleh pengurus dan anggota dari Bataviaasch Genootschap.

Raden Saleh beberapa kali diberi mandat melakukan penjelajahan untuk mengumpulkan sumber-sumber purbakala atau melakukan tinjauan peninggalan purbakala. Misalnya, pada Mei 1865, ia diberi izin untuk melakukan perjalanan ke Jawa tengah-selatan demi mengumpulkan manuskrip dan artefak.

Dalam perjalanan-perjalanan inilah Raden Saleh juga mengumpulkan tulang-tulang purbakala yang kelak akan menjadi bahan penelitian arkeolog-arkeolog Eropa seperti Eugene Dubois. Dengan kata lain, Raden Saleh—sekalipun namanya tak disebut—turut andil dalam penemuan rangka manusia-manusia pertama yang kini menjadi muatan wajib pelajaran sejarah kita.

Namun, posisi istimewa Raden Saleh yang dijunjung tinggi di kalangan orang Eropa bukannya tidak menimbulkan masalah. Salah satu suara sumbang yang jelas mengada-ada sempat disuarakan oleh Sersan N. W. Hoepermans.

Orang ini adalah bintara Belanda yang diminta oleh Bataviaasch Genootschap untuk mendampingi ekspedisi seorang ahli bahasa Sanskerta, Rudolf Hermann Theodor Friederich. Pada 1863 hingga 1868, tim Friederich mengadakan inventarisasi artefak periode Hindu-Buddha di Jawa.

Hoepermans kemudian membuat catatan harian tentang ekspedisinya ini dan berusaha untuk menerbitkannya setelah ekspedisi selesai. Sayangnya, catatan ini dianggap tidak layak terbit oleh Bataviaasch Genootschap dan baru diterbitkan setelah kematian Hoepermans dengan judul Hindoe-oudheden van Java (1913).

Rasisme dan Berita Bohong

Dalam catatan itu muncul kutipan mencengangkan tentang Raden Saleh. Hoepermans menuduh Raden Saleh telah meratakan Candi Simping (Candi Sumber Jati) di Blitar. Ia menyebut bahwa ratanya Candi Simping disebabkan, “...penggalian misterius yang ditugaskan oleh Raden Saleh pada bulan April 1866.”

Ia melanjutkan, “siapa yang memberi hak kepada seorang Jawa, Raden Saleh, untuk melakukan itu (penghancuran) kepada bangunan purbakala?”

Willem Frederik Stutterheim, arkeolog tersohor Belanda, kemudian menuliskan klarifikasi atas penyataan ngawur Hoepermans dalam artikelnya yang berjudul “Een fuselier uit de vorige eeuw als oudheidkundige” (1925).

Ia menunjukkan dengan jelas bahwa sikap rasisme yang dimiliki Hoepermans telah membuatnya menuliskan kabar bohong tentang Raden Saleh.

Infografik Mozaik Raden Saleh

Infografik Mozaik Raden Saleh. tirto.id/Tino

Hoepermans jelas-jelas menanyakan, “siapa yang memberi hak” kepada Raden Saleh yang seorang Jawa untuk turut campur dalam proyek eksplorasi kolonial yang—menurutnya—harusnya dilakukan oleh pejabat kolonial Eropa.

Dari surat-surat Raden Saleh, jelas ia sedang berada di Yogyakarta pada hari yang dituduhkan. Dalam periode kolonial, seseorang harus memiliki izin resmi untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tidak ada rekaman arsip tentang perjalanan Raden Saleh ke Blitar.

Di samping itu, jika yang dituduhkan Hoepermans benar, sangatlah janggal karena tidak ada kasus tersebut dalam laporan Residen Kediri G. M. W. van der Kaa, Asisten Residen Blitar F. H. Boers, atau juga Bupati Blitar Raden Tumenggung Ario Adhi Negoro.

Pada akhirnya, tecermin nyata pendapat Carey dan Farish A. Noor (2022:10–11) bahwa rasisme “selalu berada di jantung proses pembangunan imperium (penjajahan) pada abad ke-19." Dan Raden Saleh menjadi saksi atas hal tersebut.

Untuk itu, menjadi logis bahwa ia menyuarakan perlawanan dan identitasnya yang liyan secara senyap lewat lukisan-lukisannya.

Menyuarakannya secara politis dan terbuka, selain bukan gaya Raden Saleh, juga pilihan bunuh diri secara sosial dan politik.

Baca juga artikel terkait PELUKIS atau tulisan lainnya dari Christopher Reinhart

tirto.id - Politik
Kontributor: Christopher Reinhart
Penulis: Christopher Reinhart
Editor: Irfan Teguh Pribadi