Menuju konten utama

Rachmat Muljomiseno: Gagal di KNIL, Kerja di Bank, dan Masuk NU

Rachmat Muljomiseno adalah pakar perbankan dan perdagangan yang direkrut jadi anggota NU.

Rachmat Muljomiseno: Gagal di KNIL, Kerja di Bank, dan Masuk NU
Gedung Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) di Semarang. FOTO/KITLV

tirto.id - Rachmat Muljomiseno alias Tjuk pernah sekolah di Alagemene Middelsbare School (AMS) bagian B di Yogyakarta (kini jadi SMAN 3 Yogyakarta). Pemuda kelahiran Kandangan, Temanggung, 9 Juni 1919 ini bisa berhitung dengan baik. Kala itu, orang Indonesia yang bisa baca tulis baru sekitar 10 persen dan hanya sedikit pemuda yang punya ijazah SMA sepertinya.

Tahun 1940, saat Belanda diduduki Jerman, dia lulus dari AMS dan terdapat lowongan calon perwira KNIL. Rachmat, seperti disebut dalam Riwayat Hidup Anggota-anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Hasil Pemilihan Umum 1971 (1973:200), kemudian masuk ke pusat pendidikan calon perwira untuk KNIL, Corps Opleiding voor Reserve Officieren (CORO), di Bandung.

Selama pendidikan, dia menerima menerima uang seperti layaknya orang bekerja. Jika dia lulus dari CORO, maka pangkat Rachmat akan setara letnan. Namun, dia tak lama di CORO karena Belanda keburu kalah oleh Jepang pada Maret 1942. Dan seperti kebanyakan anggota KNIL lainnya, Rachmat pun sempat ditahan Jepang.

Dia kemudian menjadi pengangguran selama setengah tahun. Namun, tak lama kemudian Rachmat mulai menjadi pedagang keliling. Sembari menunggangi sepedanya, dia menjajakan sabun, kecap, dan gula. Di zaman Jepang juga dia menikahi Soetariyah dan sempat bekerja sebagai kompilator di kantor statistik Jakarta.

Warsa 1943, Rachmat bekerja di Syomin Ginko (bekas De Algemene Volkskrediet Bank yang kini menjadi Bank Rakyat Indonesia). Waktu itu, lembaga ini dipimpin oleh Margono Djojohadikusumo. Pada zaman Jepang, Rachmat memang tidak mau ikut-ikutan "demam militer" seperti kebanyakan pemuda yang masuk PETA. Sebelum proklamasi 17 Agustus 1945, Rachmat sudah menjadi wakil pimpinan cabang di Purworejo.

Baru setelah Indonesia merdeka dan revolusi meletus, Rachmat ikut militer lagi. Seperti kebanyakan bekas perwira KNIL, dia pernah ditempatkan di markas besar tentara di Yogyakarta dan diikutkan dalam Panitia Oentoek Pengangkoetan Djepang dan APWI (POPDA). Pada 1946, dia tercatat sebagai Wakil Kepala Militaire Combat di badan intel Kementerian Pertahanan Bagian B dengan pangkat kapten.

Selain itu, Rachmat juga pernah dijadikan perwira penghubung di Jakarta dengan pangkat mayor. Sekitar tahun 1948, seperti disebut dalam Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia (1981:406), Rachmat bekerja di Banking Trading Center dan ikut melakukan penyelundupan vanili dan bahan perak ke Filipina.

Setelah revolusi berlalu, Rachmat kembali bekerja di sektor keuangan seperti yang dimulainya sejak zaman Jepang. Dia ikut serta dalam memimpin Indonesian Banking Corporation bersama Jusuf Wibisono. Rachamat pernah menjadi direkturnya dari 1950 hingga 1956 dan memimpin pendidikan kader bank di Jakarta.

Masuk Partai NU

Pada April 1952, Nahdatul Ulama (NU) keluar dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan menjadi partai mandiri. Saat itu banyak yang ragu jika NU mampu menjadi partai karena dianggap tidak punya kader ahli untuk menghadapi pertarungan politik Indonesia. Dalam ungkapan Kiai Haji Wahab Hasbullah, kader ahli itu ibarat supir mobil.

“Jika saya membeli sebuah mobil baru maka penjual biasanya tidak akan bertanya apakah saya bisa mengendarai mobil atau tidak,” kata Wahab seperti dikutip Greg Fealy dalam Tradisionalisme Radikal; Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara (1997:38).

“Pertanyaan seperti itu tidaklah diperlukan karena jika saya tidak dapat mengendarai mobil maka saya bisa saja memasang iklan supir. Tentu saja, akan segera terdapat antrian panjang calon-calon supir di depan rumah saya,” imbuhnya.

Wahab Hasbullah tidak salah, karena kemudian banyak para ahli yang bersedia ikut NU. Menurut Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, Volume 1 (2012;139140) NU merekrut Mr Sunarjo (pengacara di Jawa Tengah), Mohammad Hanafiah (pegawai didikan Belanda), Burhanuddin (ahli ekonomi), Saleh Rudjoningprodjo (pensiunan bupati Bondowoso), dan Rachmat Muljomiseno. Rachmat menjadi anggota NU sejak 1953.

Di luar dugaan, pada Pemilu 1955 NU berada di urutan ke-3, atau setingkat di bawah Masyumi. Meski demikian, kursi NU di parlemen melonjak tajam, dari semula hanya 8 menjadi 45. Menurut Andree Feillard dalam NU vis-a-vis Negara (1999: 49) suara terbanyak NU berasal dari Jawa.

Menteri Perdagangan

Di dunia perbankan karir Rachmat pernah dapat posisi penting. Pada 1957 hingga 1958 dia menjadi Direktur Bank Negara Indonesia (BNI 46) dan sejak 1958 hingga 1959 dia menjadi Menteri Perdagangan. Di masa jabatannya, keluarlah Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 2933/M tanggal 14 Mei 1959, yang melarang orang asing (termasuk Tionghoa) berdagang secara eceran di perdesaan.

“Akibatnya, semua pedagang berkewarganegaraan asing yang beroperasi di desa mesti boyong ke kota. Suka atau tidak suka, begitulah bunyi peraturan. Tak peduli yang namanya Sin Bun Liong atau Muhammad Alhabsji atau Mukarjee,” tulis Junus Jahja dalam Garis Rasial Garis Usang (1983: 35). Hal tersebut dilakukan pemerintah sebagai usaha untuk memperkuat pengusaha pribumi, meski pada akhirnya gagal: tak membuat pengusaha pribumi maju. Setelah 1959 perekonomian Indonesia makin memburuk.

Setelah tak jadi menteri, Rachmat terus bergelut di dunia perbankan dan tetap aktif sebagai politikus. Pada 1963 hingga 1964, dia menjadi pimpinan sebuah bank swasta. Sejak 1967, Rachmat tercatat sebagai anggota DPRGR. Dan ketika NU dilebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Rachmat juga menjadi anggota DPR dari 1971 hingga 1982. Komisi tempatnya berada tak jauh dari bidang keuangan dan perdagangan.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh