Menuju konten utama

"Prestasi" Sampah Indonesia yang Mengkhawatirkan

Indonesia menduduki peringkat kedua dalam hal pembuang sampah plastik terbanyak di dunia. Sebuah prestasi yang sangat mengkhawatirkan. Sayangnya, hingga kini belum ada upaya konkret dari pemerintah untuk "membersihkan" prestasi sampah tersebut.

Pekerja menjemur plastik-plastik limbah sisa pabrik susu dan jamu di Pringapus, Kabupaten Semarang, Jateng, Selasa (5/5). Limbah plastik tersebut selanjutnya dijual sekitar Rp. 6.000 per kilogram untuk selanjutnya didaur ulang menjadi biji plastik. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/ss/mes/15.

tirto.id - Manusia zaman kini sulit lepas dari plastik. Kepraktisan dan kemudahan plastik membuat manusia sulit berpaling dari bahan ini. Mulai dari kantong plastik hingga barang rumah tangga, sebagian besar menggunakan bahan plastik. Sayangnya, pengelolaan sampah plastik belum dilakukan secara bijaksana sehingga berpotensi memunculkan masalah di kemudian hari.

Sampah plastik yang tidak didaur ulang dengan menimbulkan problem besar ketika jumlahnya kian membludak. Menurut riset Greeneration Indonesia pada 2010 lalu, di kota-kota besar satu orang rata-rata menggunakan 700 kantong plastik per tahunnya.

Sedangkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), plastik hasil dari 100 toko atau anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) dalam waktu satu tahun sudah mencapai 10,95 juta lembar sampah kantong plastik.

Secara keseluruhan, peningkatan timbunan sampah di Indonesia telah mencapai 175.000 ton per hari atau setara 64 juta ton per tahun. Timbunan sampah ini tentu memerlukan pengelolaan khusus agar tidak menimbulkan beragam permasalahan.

Beberapa pola pengelolaan sampah di Indonesia berdasarkan hasil studi yang dilakukan di beberapa kota tahun 2012 adalah seperti diangkut dan ditimbun di TPA (69%), dikubur (10%), dikompos dan didaur ulang (7%), dibakar (5%), dan sisanya tidak terkelola (7%). Namun diakui, tantangan besar pengelolaan ada pada penanganan sampah plastik yang tidak ramah lingkungan.

Science Learn memaparkan, dalam keadaan yang baik dengan kepadatan tinggi, polyethylene yang merupakan salah satu jenis plastik membutuhkan waktu lebih dari 20 tahun untuk terurai. Sedangkan dalam keadaan kurang ideal seperti tempat pembuangan sampah, butuh waktu lebih dari 500 tahun bagi plastik untuk terurai.

Kondisi di Indonesia ini kemudian diperparah dengan bermuaranya sampah plastik di lautan, sehingga menjadikan pulau plastik yang mengapung. Penelitian dari Jenna R Jambeck dan timnya yang dipublikasikan di Science Magazine menyebutkan, Indonesia menempati posisi kedua terbesar di dunia dalam hal produksi sampah plastik di lautan dengan rentang 0.48 sampai tertinggi 1.29 juta metrik ton.

Dalam hasil penelitian itu, Indonesia hanya lebih baik dari Cina yang memuncaki rekor buruk produksi sampah di lautan dengan rentang 1,32 sampai 3,53 juta metrik ton. Urutan ketiga setelah Indonesia diduduki oleh Filipina yang menyumbang kotoran sampah di lautan sebesar 0,28 sampai 0,75 juta metrik ton.

Data tersebut diperoleh lewat pemodelan dengan memasukkan faktor skala pembangunan ekonomi negara, jumlah rata-rata sampah yang diproduksi, cara pengolahan sampah, serta jumlah populasi yang bermukim di radius 50 kilometer dari garis pantai.

Jurnal tersebut juga memaparkan, dalam perhitungannya, sebesar 275 juta metrik ton sampah plastik dihasilkan dari 192 negara pesisir pada tahun 2010. Dengan rentang 4.8 sampai 12.7 juta metrik ton memasuki laut.

Upaya Menekan Sampah Plastik

Tumpukan sampah plastik ini bukannya tidak mendapatkan perhatian. Muncul gerakan-gerakan dan upaya untuk mengurangi penggunaan kantong plastik. Salah satunya dengan menggantinya dengan tas berbahan lainnya yang bisa dipakai berulang. Gerakan ini antara lain dilakukan oleh Greeneration Indonesia yang meluncurkan gerakan Diet Kantong Plastik yang memproduksi tas bernama “Tas bagGoes” yang diklaim dapat dipakai 1.000 kali.

Penerapan kantong plastik berbayar beberapa bulan yang lalu resmi diberlakukan oleh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sesuai Surat Edaran Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian LHK Nomor S.1230/PSLB3-PS /2016.

Uji coba kemudian diberlakukan selama periode 21 Februari hingga 31 Mei 2016. Dilansir dari Antara, selama masa uji coba, pengelola ritel modern melaporkan pengeluaran kantong plastikpada KLHK. Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi, terlihat penurunan penggunaan kantong plastik sebesar 25-30 persen selama masa uji coba tiga bulan pertama.

Sayangnya, terhitung sejak 1 Oktober 2016 lalu, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memberhentikan program kantong plastik berbayar. Hal ini dilakukan karena peritel modern menerima kritikan dari masyarakat yang berujung pada ancaman tuntutan secara hukum, karena dianggap memungut biaya tanpa berdasarkan peraturan hukum yang kuat.

Seperti dilansir dari Antara, ketua umum Aprindo, Roy N. Mandey mengatakan dalam siaran persnya "Setelah mempertimbangkan secara masak dampak yang berkembang, kami memutuskan menggratiskan kembali kantong plastik di seluruh ritel modern, mulai 1 Oktober 2016 hingga diterbitkannya Permen KLHK yang berkekuatan hukum”.

Peringkat Indonesia dalam hal pencemaran lautan akibat limbah plastik bukanlah hal yang baik. Upaya setelahnya seperti penerapan kantong plastik berbayar yang saat ini masih menuai beberapa polemik harus segera diselesaikan untuk mendapatkan formulasi yang tepat dalam rangka menekan penggunaan kantong plastik.

Kesadaran diri juga tidak kalah penting untuk menerapkan diet menggunakan kantong plastik dan

Baca juga artikel terkait SAMPAH PLASTIK atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti