Menuju konten utama

"Jangan Memaki-Maki Orang dalam Khotbah"

Masjid merupakan bagian penting dalam pergerakan Islam. Selain menjadi tempat syiar dan dakwah, masjid juga bisa membawa perubahan di masyarakat. Sudah selayaknya masjid benar-benar digunakan sebagaimana mestinya.

Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, KH Nasaruddin Umar. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Masjid telah terbukti menyatukan umat Islam dari berbeda daerah yakni para Mujahiddin dan Anshar setelah nabi hijrah ke Madinah. Masjid terbukti juga menjadi pusat kegiatan umat, pusat pengembangan peradaban muslim seperti pendidikan maupun kegiatan sosial, hingga kegiatan ekonomi maupun rapat perang.

Hal itu diamini Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar. Pria yang pernah menjadi Wakil Menteri Agama pada 2011-2014 itu menilai masjid memang mempunyai banyak peran dan fungsi. Bahkan, fungsi-fungsi itu dinilai tidak dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat.

“Saat masjid pertama nabi itu dibangun itu bukan hanya menggunakan masjid itu sebagai pusat salat jamaah,” kata Nasaruddin.

Tidak hanya berkurangnya fungsi masjid, Nasaruddin menilai khotbah bermuatan politis di masjid bukanlah soal utama. Menurutnya, muatan politis dalam khotbah adalah gaya masing-masing khatib. Selagi tidak menggunakan kekerasan, tidak masalah.

Apalagi perubahan yang terjadi pada masjid di Indonesia? Berikut hasil wawancara tim tirto.id dengan Nasaruddin Umar di kediamannya, Jalan Ampera, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Rabu (2/11).

Seberapa besar peran masjid dalam membangun peradaban?

Peranan masjid itu sangat sentral. Perjuangan dari awal sampai sekarang ini masjid itu sangat besar peranannya. Kita lihat perkembangan terhebat di dalam Islam itu ketika nabi mendirikan masjid pertama kali, Masjid Quba.

Jadi, masjid itu benar-benar sekretariat pemberdayaan umat Islam karena kita lihat pada saat masjid pertama nabi itu dibangun itu bukan hanya sebagai pusat salat jamaah atau tempat ibadah, tetapi masjid nabi itu antara lain berfungsi sebagai pertama tempat pertemuan para sahabat, semacam balai pertemuan. Kedua masjid itu sebagai rumah pendidikan. Jadi pendidikan mulai dari taman bacaan Quran, sahabat-sahabat nabi belajarnya di masjid.

Masjid pada mulanya adalah kampus. Sekarang kita lihat kampus dalam masjid. Dulu kampus dalam masjid, sekarang masjid dalam kampus. Pendidikan laki-laki di mana, pendidikan perempuannya di mana, kemudian juga keterampilannya ada.

Rumah-rumah keterampilan seperti menyamak kulit, melukis, belajar bahasa, juga tukang kayu, tukang batu, tukang besi, bikin senjata. Itu semuanya dipelajari di masjid. Semuanya dipelajari di masjid.

Bahkan menara masjid nabi selain hanya ditempati untuk adzan, tapi juga digunakan untuk melihat kondisi dari ketinggian. Di atas menara masjid, dari ketinggian diperiksa siapa yang asap dapurnya tidak pernah berasap.

Rumah-rumah mana yang tidak pernah berasap dapurnya itu, turun sahabat ke sana. Kenapa tidak berasap? Lagi apes karena nggak bisa dimasak. Mampir ke sebelah, kenapa dari kemarin kok berasap terus? Itu kenapa mengepul terus dapurnya? Alhamdulillah kafilah kami baru pulang dari luar negeri. Ada yang bisa kami masak. Tahu nggak tetangga kita di masjid ini sudah dua hari tidak mengepul asapnya gak ada yang bisa dimasak? Oh saya gak tahu. Jadi menara masjid itu bukan untuk gagah-gagahan.

Bagaimana dengan masjid-masjid di Indonesia saat ini?

Masjid-masjid kita di Indonesia tidak hanya tampil dalam jumlah besar, tidak hanya salat, tapi juga sekretariat pemberdayaan umat. Di situ ada orang belajar, ada orang yang mendapatkan informasi, di situ ada orang pintar mengajar, di situ ada orang yang bodoh belajar, di situ ada pemilik modal mencari tenaga kerja, di situ ada tenaga kerja mencari kerja, di situ ada yang mencari jodoh ketemu di masjid. Masjid nabi itu luar biasa. Kita di Indonesia juga perlu. Jangan hanya jumlahnya besar, tapi positifnya juga perlu besar.

masjid itu adalah tempat pelarian orang yang sedang kesepian, pelarian orang yang kecewa, tempat pelarian orang yang mungkin punya penderitaan, dirundung malang, dan sebagainya. Tapi masjid juga sebagai tempat sujud syukur bagi orang yang mendapatkan rahmat, nikmat, karunia, hingga promosi karir.

Jadi, nikmat itu tempat untuk bahagia, tempat juga untuk mengungkapkan kesedihan, tempat mendekat dengan Tuhan, tempat itu adalah rumah Tuhan untuk memberikan pelayanan kepada semua lapisan masyarakat.

Saya melihat kalau subuh atau isya hanya satu-dua baris, padahal masyarakat muslim, kan, banyak. Apa faktornya?

Salat berjamaah di masjid itu nggak wajib. Yang wajib mencari kerja untuk memberi makan anak-anak keluarganya, kan? Kalau mengutamakan salat dzuhur, ashar, lantas tidak mencari kerja demi untuk salat jamaat Jumat, itu salah. Cuma wajibnya (berjamaah) itu salat Jumat. Maka itu, Anda lihat masjid-masjid itu salat Jumat penuh. Di Jakarta meluber sampai ke jalan.

Bagaimana dengan khotbah bermuatan politis?

Itu style-nya khatib. Tidak semua khatib seperti itu. Ada juga khatib yang lakum dii nukum waliyadin. Kan gak ada unsur maksa-memaksa orang. Ya jadi bagi mereka yang punya calon, ya mungkin khatib bersaudara dengan calon gubernur muslim, ya wajar kalau dia membela umat Islam. Tapi bagi orang yang gak punya kepentingan, dia hanya mau melihat pragmatis, apalagi kalau berteman dengan calon non-muslim itu ya dia tidak akan menekankan agama.

Namun, kalau memang umat Islam yang baik alangkah bagusnya kalau yang memimpin adalah orang Islam kalau rakyatnya mayoritas muslim. Ya tapi kalau tidak juga, itu tidak masalah. Siapapun yang dipilih umat Islam secara demokratis, tentu dia akan tahu diri bahwa yang memilih aku ada orang Islam. Tentu aku harus memberikan pelayanan yang terbaik terhadap mereka.

Bagi saya, ya tidak satu jaminan kalau orang Islam itu akan Islam dari masyarakat. Untuk apa Islam menjadi kepala negara atau provinsi tapi gak mau care dengan kepentingan umat Islam. Jangan-jangan orang non-Islam bisa care untuk memberikan fasilitas umat Islam yang memberikan pelayanan yang layak bagi umat beribadah itu. Ya itu kan sangat relatif.

Bagaimana dengan interupsi atau walk out karena muatan khotbah bernada menyebar kebencian?

Interupsi dalam khotbah itu nggak bagus. Saya ambil contoh menginterupsi salat Jumat itu, kan, rukun khotbah itu seperti rukun salat. Maka dari itu, tidak ada bercakap-cakap layaknya orang khotbah karena kalau bercakap-cakap sama dengan orang salat bercakap-cakap, kan, batal. Makanya itu kan salat Jumat itu cuma dua rakaat, tapi dua rakaatnya ke mana? Itu digantikan dua khotbah.

Umat yang melakukan walkout atau mendebat itu tidak diperbolehkan pada saat Salat Jumat?

Iya, boleh mendebat dalam diskusi, tapi kalau khatib itu enggak bisa didebat. Itu waktunya sedikit, kok, dan itu ubudiah. Jadi jangan sampai menyamakan forum diskusi dengan khotbah. Enggak ada dialog dalam salat Jumat, sesudah salat Jumat kalau mau ngobrol. Cuma 15 menit kok. Kalau mau bicara lama ya dalam kelas atau kuliah. Jadi khotbah Jumat ini enggak usah didemo, diinterupsi, gak usah ditanya jawab pokoknya. Bahkan, khatib itu tidak boleh bergerak-gerak lebih banyak seperti orang ceramah biasa.

Bagi saya dakwah yang berhasil bukan hanya membuat orang lain tertawa terpingkal-pingkal atau menangis tersedu-sedu. Pulang di rumah gak ada bekasnya. Dakwah yang baik itu tidak terlalu menarik perhatian, tetapi memiliki semacam lentera yang hidup dalam hati setiap pendengarnya. Ke mana pun dia pergi, selalu ada lentera itu, kan? Itu dakwah yang berhasil. Untuk apa dakwah dibayar mahal, pintar bikin tertawa, pintar bikin menangis, tetapi tidak ada bekasnya? Nah, mubalig yang baik yang berhasil menancapkan Allah dalam hati setiap orang, setiap pergi dia tidak akan melanggar.

Dalam masalah Pilkada, khatib harus bisa menyejukkan ya?

Harus. Jadi khatib harus menyejukkan. Jangan memaki-maki orang dalam khotbah.

Kita tahu sudah mulai ada khotbah negatif dan politis. Apa yang terjadi jika tidak segera ditangani?

Jadi gini, jangan menciptakan kesan seolah-olah yang salah umat Islam dan seolah-olah Ahok tampil sebagai hero. Siapa yang memulai persoalan? Umat Islam itu diam, sabar. Sabar sekali. Coba buktikan kesabarannya itu rela digusur-gusur, gak melawan.

Terkait usaha mencegah nilai-nilai radikal dalam khotbah, langkah apa yang perlu dilakukan?

Masyarakat nanti akan menilai. Pasti masyarakat tidak mau datang ke masjid kalau khatibnya provokator. Pengurus masjid juga tidak akan mengundang lagi khatib yang seperti itu. Pokoknya khatib yang menyampaikan khotbahnya dengan marah-marah tidak akan diundang oleh pengurus masjid. Itu seleksi alam. Justru yang memberikan kesejukan itu langganan masjid. Itu dicari.

Peran pemerintah yang baik seperti apa?

Peran pemerintah tut wuri handayani. Tidak boleh mengarahkan, tidak boleh mendikte, tidak boleh membelokkan, atau memaksakan. Pemerintah itu mengawasi. Silakan menyampaikan dakwah yang baik. Dalam era demokrasi seperti ini, tidak usah dibatasi orang berbicara apapun di masjid. Nanti seleksi alam. Orang sekarang gak gampang terpancing dan bukan hanya masjid yang melakukan hal yang sama, tapi juga gereja. Coba Anda dengarkan di gereja-gereja. Ya jangan-jangan lebih keras daripada yang disampaikan di masjid. Jadi sama aja semua.

Bagaimana dengan hate speech?

Tapi kalau sudah memfitnah orang, itu wilayah pidana. Mau itu disampaikan di forum, mimbar, mau disampaikan di atas mimbar, kalau itu melanggar hukum ya harus diproses hukum. Kalau di mimbar dia memfitnah Presiden segala macam, ya proses hukum. Mungkin tidak harus ditangkap di mimbar. Tapi diajukan ke pengadilan sesuai hukum acara. Nanti ada secara hukum.

Sama juga dengan Ahok, saya lebih setuju proses hukum. Nanti kalau proses hukumnya tidak ada niat melakukan pelecehan, yang bersangkutan juga sudah meminta maaf ke mana-mana, masyarakat Indonesia itu pemaaf, kok.

Terkait aksi 4 November?

Ya kalau orang mencintai Quran, mencintai Tuhannya, mencintai agamanya, mencintai nabinya lantas kitab suci yang dicintainya diragu-ragukan, dilecehkan orang lain, marah gak? Cuma kita tidak setuju dengan kekerasan. Kekerasan apapun tidak ada tempatnya dalam Islam. Tapi untuk mengekspresikan kebencian orang yang mengacak-acak kemanusiaan dan agama orang lain, wajar. Tapi kewajaran itu tidak wajar kalau melakukan kekerasan.

Apa harapan bapak terkait peran masjid saat ini?

Kembali ke masjid. Umat Islam harus kembali ke masjid. Ke masjid itu semua persoalan bisa diselesaikan, persoalan bumi selesai, urusan akhirat selesai. Jangan jauhi masjid. Jadi semua persoalan apapun diselesaikan di masjid.

Kalau ada masalah ekonomi, berantem bisa ke masjid ya?

Datang ke masjid, imamnya, kan, bisa menjadi moderator.

Baca juga artikel terkait MASJID atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Indepth
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Zen RS