Menuju konten utama
Misbar

Quarantine Tales: Potensi yang Gagal Dimaksimalkan

Di tengah keleluasaan pengolahan tema-tema baru, para pembuat Quarantine Tales masih terpaku pada pembuatan film yang konvensional.

Quarantine Tales: Potensi yang Gagal Dimaksimalkan
Poster film Indonesia Quarantine Tales. FOTO/IMDB

tirto.id - Karantina atau lockdown tidak pernah benar-benar diterapkan di Indonesia. Untuk meredam persebaran virus corona, pemerintah menerapkan aturan yang lebih longgar, seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), dan, yang terbaru, Penebalan PPKM Mikro. Apapun istilahnya, orang-orang masih dapat berkegiatan—bahkan berkerumun—di luar rumah.

Quarantine Tales hadir dengan konteks karantina tanggung tersebut. Berbentuk omnibus, film yang pertama kali tayang di Bioskop Online ini memiliki lima segmen: Nougat (Dian Sastrowardoyo), Prankster (Jason Iskandar), Cook Book (Ifa Isfansyah), Happy Girls Don’t Cry (Aco Tenri), dan The Protocol (Sidharta Tata). Happy Girls Don’t Cry mengangkat pandemi yang mewujud sebagai kesulitan ekonomi; Nougat dan Prankster berkutat pada relasi yang dirawat dan dirusak lewat komunikasi virtual; Cook Book menggambarkan rutinitas baru seorang koki yang melambat dan merambat ke masa lalu; dan The Protocol mengolah rasa waswas terhadap jenazah suspek COVID-19.

Melihat judul film ini, seseorang mungkin menduga bahwa cerita akan berlangsung sepenuhnya di rumah. Kenyataannya tidak begitu. Di antara segmen-segmen tersebut, hanya Cook Book dan Prankster yang terasa seperti “karantina”, sedangkan yang lainnya tidak demikian. The Protocol sepenuhnya di luar rumah; Happy Girls Don’t Cry berisikan momen keluar-masuk rumah dan orang-orang berkunjung; sementara Nougat, yang rentang latar waktunya panjang, justru mengisyaratkan adanya ketemuan saat sedang pandemi. Tentunya, di tengah keengganan pemerintah menerapkan lockdown, semua itu adalah potret yang cukup wajar. Akan tetapi, minimnya eksplorasi akan tema karantina itu sendiri membuat film ini gagal mencapai potensi maksimal.

Baru Sebatas Latar

Quarantine Tales memang menyuguhkan beragam pokok soal pandemi. Film ini tidak terjebak pada pesan-pesan yang generik ataupun moralis, sebagaimana yang tampak pada Pagebluk: Pandemi Punya Cerita (2020) yang disponsori oleh pemerintah. Secara tersirat, kita justru dapat disuguhkan beberapa kehadiran isu-isu yang relatif tidak berkaitan dengan COVID-19, seperti Mei 1998 di Cook Book, cyber-bullying di Prankster, ataupun masalah rumah tangga di Nougat. Segmen-segmen dalam Quarantine Tales juga bertutur secara lebih luwes; ini sedikit banyak terasa dalam Cook Book yang imajinatif ataupun The Protocol yang nyeleneh.

Namun, di tengah keleluasaan pengolahan tema itu, para pembuat Quarantine Tales tampaknya masih terpaku pada pembuatan film yang konvensional—segmen yang mengangkat kejadian virtual pun masih melakukan perekaman fisik. Belum terlihat ada pengupayaan syuting hibrid, sebagaimana yang diterapkan dalam karya lain, semisal Host(2020) karya Rob Savage. Host perlu disebut di sini karena berisikan siasat filmmaking yang khas akan masa pandemi; film yang tayang di Shudder ini direkam lewat aplikasi Zoom, yang mana para aktor harus menyiapkan sendiri set di rumahnya, sementara Rob Savage menyutradarainya secara virtual.

Memang tidak semua film dapat diproduksi dengan cara demikian—pasti ada saja konsep atau ide cerita yang harus diwujudkan lewat cara konvensional. Akan tetapi, eksplorasi ini amatlah penting untuk dicoba, terlebih untuk film yang mengangkat soal karantina. Kemungkinan eksplorasi itu pun ada banyak, tak hanya memanfaatkan Zoom sebagaimana Host (2020), tapi bisa juga seperti dalam kompilasi Homemade (2020), di mana salah satu pembuatnya, Paolo Sorrentino, menggunakan figurin—Ratu Elizabeth dan Paus—untuk bercerita.

Infografik Misbar Quarantine Tales

Infografik Misbar Quarantine Tales. tirto.id/Fuad

Manfaat Bersiasat

Harapan akan adanya siasat ini mungkin dapat dianggap sebagai celoteh rewel di kondisi perfilman yang sudah sulit. Namun, sesungguhnya, harapan-harapan semacam ini dapat dipertimbangkan, karena mengandung peluang-peluang baru yang dapat menguntungkan pembuat film sendiri. Merekam segalanya secara virtual, misalnya, dapat memangkas keperluan tes swab antigen kru dan talent yang belakangan ini membuat biaya produksi membengkak. Selain itu, siasat-siasat lain ini dapat bekerja dalam upaya make-believe film.

Nyatanya, ada rasa yang berbeda ketika komunikasi virtual tidak direkam secara virtual. Percakapan video dalam beberapa segmen, misalnya, terasa janggal lantaran terlalu jernih, mulus, dan tidak ada lag—berbeda dengan apa yang disuguhkan dalam Host atau bahkan Homemade (bagian Pablo Larrain). Padahal, penonton pun rasanya tidak akan protes soal gambar yang tidak tajam; selain karena apa yang ditangkap memang peristiwa virtual, sebagian penonton juga menyaksikan film ini di layar yang relatif kecil, seperti laptop atau bahkan smartphone—dan yang pasti bukan layar bioskop.

Keberadaan lag seperti yang disebut sebelumnya itu juga bisa mendukung penceritaan. Segmen dengan cerita seperti Nougat—yang mengintip kondisi masing-masing tempat tinggal tokohnya—dapat memfungsikan lag atau masalah koneksi tersebut untuk memperburuk komunikasi yang memang sudah buruk, atau sesederhana menekankan kondisi finansial tokohnya. Toh, bukankah kecepatan internet, latar video-call, kerepotan meeting virtual, dan kejernihan gambar hari ini berbicara banyak mengenai karakter seseorang?

Di luar potensinya yang tidak dimaksimalkan, Quarantine Tales jelas tidak buruk. Ada Happy Girls Don’t Cry, yang mengangkat isu yang begitu relevan pada masa sekarang. Menghadirkan komputer Mac di keluarga tidak mampu, segmen ini menangkap ironi di balik giveaway—yang ternyata memang tidak pernah mengenai si penerima, tapi selalu soal si pemberi. Perselisihan orang tua dan anak dalam menyikapi materi—yang sejak era digital ini dapat diperoleh hanya lewat handphone dan internet—juga jadi potret yang penting.

Namun, omnibus yang bergantung pada satu film bukanlah omnibus yang ideal, apalagi jika diketahui bahwa Happy Girls Don’t Cry sebenarnya tidak membutuhkan latar pandemi untuk bisa bekerja—kemiskinan dan giveaway selalu ada kapan saja. Perlu ada keutuhan lain, dan di titik ini, Quarantine Tales terasa lemah. Latar pandemi dalam Quarantine Tales bagaikan benang merah yang menebal dan menipis sesuka hati. Sementara dari aspek teknis, karantina juga belum diterjemahkan ke dalam metode-metode baru yang sesungguhnya bisa menjadi solusi baru, terutama ketika penularan masih marak seperti hari ini.

Baca juga artikel terkait MISBAR atau tulisan lainnya

tirto.id - Film
Reporter: Avicenna Raksa Santana
Editor: Windu Jusuf