Menuju konten utama

Putusan Soal Ubah Status Kelamin Dinilai Tak Majukan HAM LGBT

Permohonan permintaan mengganti status kelamin tidak akan memajukan pemenuhan Hak Asasi Manusia bagi kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Indonesia.

Putusan Soal Ubah Status Kelamin Dinilai Tak Majukan HAM LGBT
Seorang aktivis gay bertopeng memegang poster yang bertuliskan "Homoseksualitas bukan penyakit mental" ketika seorang petugas kepolisian melihat selama protes menuntut kesetaraan bagi orang-orang LGBT (Lesbian, gay, biseksual dan transgender) di Jakarta, Indonesia. AP PHOTO / Dita Alangkara

tirto.id - Peneliti Human Right Watch (HRW) Andreas Harsono menilai, putusan Pengadilan Negeri (PN) Cibinong terkait permintaan pemohon berinisial PD untuk mengganti status kelaminnya pada Jumat (4/1/2109) lalu, tidak akan memajukan pemenuhan Hak Asasi Manusia bagi kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Indonesia.

Kendati begitu, ia juga tidak menyebutnya sebagai kemunduran.

"Ini bukan yang pertama. Pada 1973 ada persetujuan pertama di Jakarta dalam permohonan yang diajukan oleh Vivian (transgender yang pernah mengajukan permohonan ke PN Jakarta Barat-Selatan)," ujar Andreas kepada Tirto, Senin (7/1/2019).

Menurut Andreas, keputusan tersebut mengikuti keputusan yang terjadi pada tahun 1973 sebagai sebuah jurisprudence.

"Ia persis dengan argumentasi Adnan Buyung Nasution (kuasa hukum Vivian) bahwa PN Jakarta bisa menciptakan jurisprudence," terangnya.

Selain itu, kata Andreas, pemenuhan HAM bagi kelompok LGBT di Indonesia justru semakin memburuk. Hal tersebut berkenaan dengan sikap-sikap represif yang dialami kelompok LGBT tersebut.

"Pada tahun 2017, ada lebih dari 300 individu LGBT ditangkap di berbagai tempat di Indonesia, sebagian besar hanya ditahan semalam namun lebih dari 20 diadili dan dihukum penjara," jelasnya.

Tidak hanya itu, lanjutnya, pada tahun 2018 kemarin sejumlah 750 orang yang ditangkap kebanyakan adalah waria. Di mana mereka sebelumnya banyak mengalami penolakan di daerah asalnya lalu berpindah ke tempat baru.

"Kalau keputusan pengadilan karena memang sudah ada jurisprudence. Kalau penangkapan terjadi karena muncul berbagai macam aturan-aturan daerah di mana LGBT dianggap kriminal," tukasnya.

Sebagai informasi, pada Juni 1973, seorang pria bernama Khan Kok Hian atau Iwan Robbyanto Iskandar mengajukan permohonan ke PN Jakarta Barat-Selatan untuk mengganti status kelaminnya setelah melakukan operasi ganti kelamin di Singapura.

Namun, ketika itu ada yang berpendapat secara hukum permohonan Iwan seharusnya ditolak. Lantaran belum ada undang-undang yang mengatur pergantian kelamin dan hakim bukanlah pembuat UU. Pengacara Iwan, Adnan Buyung Nasution ketika itu punya pendapat lain. Menurutnya justru momentum ini merupakan kesempatan bagi hakim untuk membuat hukum.

Setelah melengkapi berbagai berkas-berkas pendukung sebagai syarat dikabulkannya permohonan dan menjalani sidang selama tiga bulan, Iwan akhirnya resmi berganti nama menjadi Vivian Rubianti Iskandar pada 11 November 1973.

Sementara itu, PN Cibinong sejak Oktober 2018 banyak menerima permohonan ganti kelamin. Salah satunya dari seorang perempuan berinisial PD (39), seorang warga Cileungsi Kabupaten Bogor yang meminta status kelaminnya dalam sejumlah dokumen diubah menjadi laki-laki.

Perubahan status kelamin PD akan ditetapkan oleh PN Cibinong pada Selasa (8/1/2019) besok.

Baca juga artikel terkait LGBT atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno