Menuju konten utama
Omnibus Law

Putusan MK soal UU Cipta Kerja: Negara Terbukti Lakukan Hal Ilegal

Putusan MK ini harus menjadi catatan penting bagi pemerintah dan DPR dalam proses pembentukan perundangan di masa depan.

Hakim Konstitusi Anwar Usman (tengah), Aswanto (kiri) dan Saldi Isra (kanan) memimpin sidang Pengujian Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945 di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (5/8/2021). ANTARA FOTO/Reno Esnir/wsj.

tirto.id - Polemik Undang-Undang Nomor 20 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja memasuki babak baru. Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan undang-undang yang dikenal dengan omnibus law cipta kerja itu bertentangan dengan UUD 1945 dan harus diperbaiki dalam 2 tahun.

“Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan’," ujar Ketua Mahkamah sekaligus Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan, di Gedung MK, Jakarta, Kamis (25/11/2021).

Putusan MK juga menyatakan UU Cipta Kerja tetap berlaku sampai perbaikan dalam kurun waktu 2 tahun. MK memerintahkan kepada pembuat undang-undang untuk segera memperbaiki UU Cipta Kerja dalam dua tahun. Apabila tidak, seluruh ketentuan dalam UU Cipta Kerja dinyatakan tidak berlaku dan inkonstitusional.

Putusan juga memerintahkan agar pemerintah tidak mengeluarkan aturan teknis tentang Undang-Undang Cipta Kerja setelah putusan MK dibacakan.

“Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” kata Anwar.

Dalam pertimbangan putusan perkara 91/PUU-XVIII/2020 itu, Mahkamah menilai alasan pemerintah untuk melakukan revisi sejumlah undang-undang demi memangkas waktu tidak dapat dibenarkan. Pemerintah tidak boleh mengambil jalan pintas yang tidak sesuai dengan UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) yang merupakan turunan UUD 1945. MK juga menganulir dalih pemerintah bahwa UU Cipta Kerja sama dengan UU No. 7 Tahun 2017 maupun UU 32 tahun 2004.

Mahkamah juga menemukan perubahan materi muatan RUU Cipta Kerja secara substansial. Mereka mencontohkan halaman 151-152 RUU Cipta Kerja hasil pengesahan antara DPR dengan pemerintah yang membahas tentang perubahan Pasal 46 pada UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Akan tetapi, Pasal 46 tidak termuat dalam UU No. 11 tahun 2020 di halaman 227-228.

Selain itu, ada juga perubahan substansi di halaman 388 RUU Ciptaker yang disetujui DPR dan presiden mengubah UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Aturan tersebut mengubah ketentuan Pasal 7 ayat 8 yang semula berbunyi “Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf e merupakan usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, dan menengah.”

Namun pada halaman 610 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan) ketentuan Pasal 7 ayat (8) diubah menjadi “Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf e merupakan usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Usaha Mikro dan Kecil.” Perubahan tersebut menghilangkan kata “menengah.”

Mahkamah juga menemukan kesalahan pengutipan dalam rujukan pasal yakni Pasal 6 UU 11/2020 yang mengacu pada Pasal 5 ayat 1 huruf a, sementara muatan materi Pasal 5 mengarah ke Pasal 4. Berdasarkan dari temuan tersebut, Mahkamah menyatakan ada cacat formil yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 5 UU 12/2011.

Dalam pertimbangan Mahkamah juga memerintahkan pembuat undang-undang untuk membentuk landasan hukum baku dengan metode omnibus law. Hal tersebut demi memenuhi amanat UU No. 12 tahun 2011 sesuai Pasal 22A UUD 1945.

Ada Perbedaan Pandangan Hakim MK

Putusan Mahkamah tidak 100 persen bulat. Setidaknya ada 4 hakim menyatakan perbedaan pendapat, yakni hakim konstitusi Arief Hidayat, Anwar Usman, Manahan M. P. Sitompul dan hakim konstitusi Daniel Yusmich P. Foekh.

Arief dan Anwar mengajukan dissenting pada poin permasalahan yang harus dijawab, yakni apakah metode omnibus law dalam proses pembentukan undang-undang perlu mengubah undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Kedua hakim ini juga memandang konsep omnibus law sudah terjadi di Indonesia lewat Pasal 192 UU 13 tahun 2003 yang mencabut 15 peraturan perundang-undangan atau Pasal 571 UU No. 7 tahun 2017 yang mencabut 3 undang-undang. Di sisi lain, pertimbangan pembentukan UU Cipta Kerja juga membuktikan adanya desakan regulasi demi kepentingan publik. Oleh karena itu, mereka mendorong perlu adanya pengaturan lebih lanjut untuk mengakomodir metode omnibus law secepatnya.

Sementara itu, Manahan dan Daniel berbeda pendapat dalam putusan karena menilai UU Cipta Kerja sudah sah secara konstitusional. Kedua hakim konstitusi menilai syarat formil UU Cipta Kerja. Hakim justru menyinggung soal aksi walkout buruh dalam rapat yang sama seperti saat DPR walkout saat rapat paripurna sehingga undang-undang tetap disetujui. Mereka menilai aksi walkout tidak sama diartikan sebagai tanpa ada partisipasi publik.

Oleh karena itu, Mahkamah seharusnya menyatakan UU Cipta Kerja konstitusional karena UU PPP tidak mengatur metode omnibus law walau sudah pernah dilakukan di Indonesia. Mereka juga mendorong agar pembentuk undang-undang merevisi UU PPP yang memuat metode omnibus dalam kurun waktu 2 tahun. Setelah diakomodir, pemerintah baru bisa menerapkan omnibus law seperti UU Cipta Kerja.

Terbukti Pemerintah Salah

Putusan MK menjadi angin positif bagi pemohon maupun sejumlah organisasi publik. UU sapu jagat ini menuai pro-kontra sejak diperkenalkan ke publik pada Februari 2020. Pemerintah langsung roadshow untuk menggolkan undang-undang ini. Namun penyusunan draf tersebut justru alot karena kerap mendengar penolakan dari berbagai organisasi sipil, terutama buruh.

Namun pemerintah tetap tancap gas. Pada akhirnya, 2 April 2020 langsung dibahas oleh DPR dan pemerintah. DPR pun membagi anggota mereka hingga menggelar rapat maraton sampai 64 rapat, 65 kali panja dan 6 kali tim perumus dan tim sinkronisasi menyelesaikan undang-undang tersebut. Pada akhirnya, RUU Cipta Kerja disahkan jadi UU pada Senin (5/10/2020) di saat pandemic COVID-19.

Aktivis lintas sektor mulai dari lingkungan hingga minerba keberatan dengan kehadiran UU Cipta Kerja. Buruh, yang sudah menolak sejak awal, kerap kali melakukan penolakan. Terakhir, mereka mengajukan judicial review secara formil dan materiil ke MK.

Kuasa Hukum Pemohon uji formil UU Cipta Kerja dari KSPI Muhammad Imam Nasef senang dengan putusan MK pada perkara Nomor 91. Meski perkara mereka berbeda, yakni perkara No 6/PUU-XIX/2021, pertimbangan dan dalil perkara mereka diakomodir dalam putusan perkara Nomor 91.

“Walaupun yang diputus adalah perkara Nomor 91 (PUU-XVIII/2020), tapi argumentasi pertimbangan hukum, sebenarnya semua berkaitan dengan dalil yang kami ajukan,” kata dia dalam konferensi pers daring, Kamis (25/11/2021).

Ia menilai, klaim mereka bahwa UU Cipta Kerja ilegal sudah dijawab dalam putusan MK. Dugaan mereka pun terbukti karena pertimbangan mereka dijadikan pertimbangan putusan oleh MK.

“Di situ menjadi inti dalil permohonan kami bahwa UU Cipta Kerja dirumuskan dengan metode yang ilegal. Kenapa ilegal? Karena metode omnibus law tidak pernah diatur dalam undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Kami menyebutnya ilegal dan dibenarkan oleh MK,” jelas Imam.

Organisasi sipil yang menolak UU Cipta Kerja juga merespons positif putusan MK ini. YLBHI dan 17 LBH se-Indonesia menilai putusan MK menegaskan bahwa klaim sejumlah pihak bila UU Cipta Kerja adalah kesalahan menjadi nyata. Mereka mendesak agar UU Cipta Kerja dan aturan turunan dihentikan.

“Pemerintah telah kehilangan legitimasi dalam menerapkan UU Cipta Kerja. Padahal saat ini UU Cipta Kerja telah diberlakukan beserta seluruh PP turunannya. Maka penting untuk menghentikan segera UU ini dan seluruh PP turunannya demi mencegah timbulnya korban dari masyarakat dan lingkungan hidup,” kata Kadiv Advokasi YLBHI M. Isnur dalam keterangan, Kamis (25/11/2021).

YLBHI dan 17 LBH se-Indonesia mendesak agar pemerintah untuk menghentikan seluruh proyek strategis yang telah merampas hak masyarakat dan merusak lingkungan hidup akibat UU Cipta Kerja. Mereka pun menuntut pemerintah tidak mengulang kesalahan dengan mendengar aspirasi publik. Sebab, pemerintah tidak bergeming saat publik menyatakan UU Cipta Kerja melanggar konstitusi.

“Pemerintah dan DPR harus menyadari kesalahan, bahwa terdapat kesalahan mendasar dalam pembentukan perundangan dan tidak mengulangi, karena kekeliruan seperti ini juga dilakukan di UU KPK, UU Minerba, UU MK, dan banyak peraturan perundang-undangan lainnya baik secara prosedur maupun isi," kata Isnur.

Di sisi lain, YLBHI juga mengkritik langkah MK. Isnur menuturkan, MK seharusnya berani bersikap tegas dengan membatalkan aturan jika memang undang-undang tersebut bermasalah.

“Seharusnya MK membuat putusan dengan menyatakan ‘Batal’ saja, sehingga tidak membuat bingung dan mentoleransi pelanggaran. Ini juga membuat kondisi yang tidak mudah dipenuhi, dan malah menimbulkan ketidakpastian hukum. Bahkan 4 dari 9 hakim menyatakan dissenting dalam arti berpendapat UU OLCK sesuai dengan konstitusi," kata Isnur.

Isnur menambahkan “Putusan MK ini seolah menegaskan kekhawatiran masyarakat sipil terhadap MK yang tunduk pada eksekutif menjadi terbukti.”

Pemerintah Tegaskan UU Cipta Kerja Tetap Berlaku

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan pemerintah akan patuh dengan putusan MK. Namun mereka menegaskan UU Cipta Kerja tetap berlaku.

“Putusan MK telah menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku secara konstitusional sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukannya sesuai dengan tenggang waktu yang ditetapkan oleh MK yaitu harus dilakukan perbaikan paling lama 2 tahun sejak putusan dibacakan,” kata Airlangga, Kamis (25/11/2021).

Airlangga juga menegaskan pemerintah akan patuh pada putusan MK bahwa tidak boleh ada aturan baru yang bersifat strategis hingga proses perbaikan UU Cipta Kerja selesai. Namun Ia menegaskan, aturan turunan UU Cipta Kerja yang sudah dikeluarkan saat ini tetap berlaku.

“Dengan demikian peraturan perundangan yang telah diberlakukan untuk melaksanakan UU Cipta Kerja tetap berlaku," tegas Airlangga.

Airlangga menambahkan, “Pemerintah akan segera menindaklanjuti putusan MK yang dimaksud melalui penyiapan perbaikan undang-undang dan melaksanakan dengan sebaik-baiknya arahan Mahkamah Konstitusi lainnya sebagaimana dimaksud dalam putusan MK tersebut.”

Baca juga artikel terkait UU CIPTA KERJA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz
-->