Menuju konten utama

Putusan MK Soal Larangan Motor Pakai GPS Tak Paham Kondisi Kekinian

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait larangan kendaraan bermotor menggunakan Global Positioning System (GPS) dinilai tidak memperhatikan kondisi kekinian.

Putusan MK Soal Larangan Motor Pakai GPS Tak Paham Kondisi Kekinian
Pembalap nasional yang juga pendiri Rifat Drive Labs (RDL) Rifat Sungkar memberikan pelatihan cara berkendara dengan baik kepada sejumlah pengendara GO-JEK di Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Rabu (28/3/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal.

tirto.id - Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait larangan kendaraan bermotor menggunakan Global Positioning System (GPS).

"Harus diakui bahwa hakim MK tidak membawa pemahaman generasi X dan milenial dalam penggunaan teknologi dan itu sebabnya putusan kali ini tidak tepat dalam memahami kondisi kekinian," kata Feri kepada Tirto, Kamis (31/1/2019).

Feri memandang, hakim konstitusi lupa bahwa keberadaan GPS sudah diakui di seluruh dunia. Selain itu, perlengkapan GPS sudah terpasang ada di berbagai telepon genggam. Penggunaan GPS pun dianggap sudah membantu pengendara dalam berkendara.

"MK tidak memahami bahwa GPS merupakan alat yang digunakan di seluruh dunia untuk berkendara dan tidak dianggap mengganggu fokus berkendara tetapi malah membantu kenyamanan pengemudi untuk tahu arah tujuan," kata Feri.

Feri memandang, putusan MK tentang GPS akan berdampak luas kepada para pengendara. Masyarakat justru berpotensi celaka dalam perjalanan karena melihat rambu-rambu yang belum tentu aman.

Selain itu, putusan MK juga berdampak pada pengemudi ojek online. Para driver atau sopir ojek online menggunakan layanan GPS yang terhubung dengan aplikasi provider. Dengan keluarnya putusan MK, publik bisa berspekulasi ada motif lain dalam putusan MK.

"Bukan tidak mungkin orang awam berpendapat bahwa putusan MK berkaitan dengan persaingan bisnis kendaraan manual dan online. Dugaan itu tentu tidak tepat tapi MK harus memperbaiki kesalahan pemahaman itu dengan memperbaiki dulu pemahaman hakim terhadap layanan GPS," kata Feri.

Oleh karena itu, ia menyarankan MK memperbaiki putusan apabila ada gugatan lanjutan. Bahkan, penggugat bisa mengajukan gugatan baru selama memenuhi syarat gugatan yakni menggunakan alasan berbeda dan menggunakan uji undang-undang dasar yang berbeda.

Mahkamah Konstitusi (MK) memutus menolak penafsiran yang diajukan oleh kelompok pengendara terkait penggunaan GPS dalam kendaraan.

Sebelumnya, pemohon yang terdiri atas Toyota Soluna Community, dalam hal ini diwakili oleh Sanjaya Adi Putra dan Naldi Zen; dan pengendara bernama Irfan meminta penjelasan Pasal 106 ayat (1) terhadap frasa “menggunakan telepon” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk penggunaan aplikasi sistem navigasi yang berbasiskan satelit yang biasa disebut Global Positioning System (GPS) yang terdapat dalam telepon pintar (Smartphone)”.

Penggugat juga meminta MK menyatakan Pasal 283 terhadap frasa “melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan” bertentangan dengan UUD 1945.

Hal itu juga dinilai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk penggunaan aplikasi sistem navigasi yang berbasiskan satelit yang biasa disebut Global Positioning System (GPS) yang terdapat dalam telepon pintar (Smartphone)”. Namun, gugatan tersebut ditolak karena tidak tidak berdasarkan hukum.

"Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum," kutip amar putusan dengan nomor perkara Nomor 23/PUU-XVI/2018 sebagaimana dilansir dari laman MK.

Baca juga artikel terkait OJEK ONLINE atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri