Menuju konten utama

Putusan MK: Eks Koruptor Bisa Maju Pilkada Usai 5 Tahun Keluar Bui

MK mengubah isi Pasal 7 ayat 2 huruf g sehingga calon kepala daerah harus memenuhi sejumlah syarat, salah satunya eks koruptor boleh maju pilkada setelah 5 tahun keluar bui.

Putusan MK: Eks Koruptor Bisa Maju Pilkada Usai 5 Tahun Keluar Bui
Ketua Mahkamah Konsititusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi dua hakim konstitusi Enny Nurbaningsih (kiri) dan Arief Hidayat (kanan) memimpin sidang pendahuluan sengketa hasil Pemilu Legislatif 2019 di gedung MK, Jakarta, Rabu (10/7/2019). ANTARA FOTO/Reno Esnir/ama.

tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. Uji materi ini diajukan dua lembaga swadaya masyarakat yang fokus terhadap isu pemilu dan korupsi, yaitu: Perludem dan ICW.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman saat membacakan putusan, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (11/12/2019).

Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perppu Nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota.

Mahkamah Konstitusi mengubah isi Pasal 7 ayat 2 huruf g sehingga calon kepala daerah harus memenuhi sejumlah syarat.

Syarat pertama, calon kepala daerah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa.

Syarat kedua, calon kepala daerah yang mantan terpidana harus melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana.

Syarat ketiga adalah calon kepala daerah bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Majelis hakim juga mengabulkan permohonan provisi agar Mahkamah Konstitusi mempercepat proses pemeriksaan permohonan.

Hakim berpendapat, Mahkamah perlu memberikan prioritas pada perkara a qou agar tidak terjadi penyimpangan hukum dalam tahapan penyelesaian perkara pengujian undang-undang sehingga diprioritaskan Mahkamah.

Hal tersebut sesuai alasan pemohon yang menyatakan permohonan berkaitan tahapan pemilukada 2020.

Mahkamah mengacu kepada putusan Mahkamah sebelumnya pada putusan MK Nomor 71/PUU-XIV/2016 yang pernah memutus Pasal 7 ayat 2 huruf g UU 10/2016 serta putusan terkait yakni 4/PUU-VII/2009 tentang norma hukum yang memuat persyaratan tentang pengisian jabatan publik dan putusan MK Nomor 120/PUU-VII/2009 tentang negative legislator.

Dalam pandangan hakim konstitusi, putusan 42/PUU-XIII/2015 dan putusan MK Nomor 71/PUU-XIV/2016 telah bergeser dari rumusan yang bersifat kumulatif menjadi alternatif. Pergeseran membuat longgar syarat untuk memperoleh pemimpin yang bersih, jujur dan berintegritas sesuai putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 lalu.

Mahkamah berpendapat, demokrasi bukan hak individu saja, tetapi juga nilai moralitas seperti kepantasan, kesalehan, kewajara, kemasukakalan, dan keadilan.

Selain itu, hakim konstitusi juga merujuk kepada pejabat negara liberal yang mundur begitu tersandung kasus hukum meski dipilih rakyat. Oleh sebab itu, Mahkamah berpendapat, penerapan syarat secara kumulatif perlu kembali diterapkan sesuai putusan asal di Putusan MK nomor 4/PUU-VII/2009.

"Mahkamah tidak menemukan jalan lain kecuali memberlakukan kembali keempat syarat kumulatif sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009," kata Hakim.

Namun, hakim tetap berkeyakinan kalau terpidana akibat kealpaan maupun terpidana tindak pidana politik tetap bisa maju dalam kontestasi calon kepala daerah. Namun, hakim menolak permohonan pemohon yang meminta agar jeda waktu narapidana harus 10 tahun setelah hukuman.

Gugatan masa tunggu koruptor diajukan Perludem dan ICW. Pengajuan dilakukan karena penggugat beranggapan penting keberadaan masa tunggu bagi para koruptor untuk mendapat kembali mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Baca juga artikel terkait GUGATAN UU PILKADA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz