Menuju konten utama

Pusako: Usul PDIP soal Amandemen UUD 1945 untuk Kendalikan Jokowi

Feri menilai alasan PDIP ingin mengamandemen UUD 1945 dan menjadikan MPR sebagai pimpinan tertinggi, karena ada upaya untuk mengendalikan Jokowi.

Pusako: Usul PDIP soal Amandemen UUD 1945 untuk Kendalikan Jokowi
Politisi PDIP, Ahmad Basarah. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas (Unand) Feri Amsari menilai alasan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ngotot ingin mengamandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dan menjadikan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pimpinan tertinggi, karena ada upaya untuk mengendalikan Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi).

Sebab, kata dia, menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi, mampu mengendalikan seluruh ketatanegaraan. Termasuk juga presiden harus bertanggung jawab untuk melaksanakan apa yang dikehendaki MPR melalui Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) .

"Jadi bukan tidak mungkin PDIP mengendalikan Presiden Jokowi, karena ketum partai [Megawati] punya pandangan-pandangan tersendiri [berbeda dengan Jokowi], jadi digunakanlah MPR sebagai alat mengendalikan Presiden ," kata dia kepada Tirto, Senin (12/8/2019).

Bahkan dirinya menilai, tujuan diadakan amandemen UUD 1945 ini bukan hanya untuk kepentingan saat ini saja, tetapi juga jangka panjang. Yaitu ketika Presiden terpilih bukan lagi dari kader PDIP, sehingga mereka bisa tetap mengendalikannya.

Menurutnya, dengan dijadikannya GBHN sebagai landasan seluruh kegiatan kenegaraan, akan sangat bahaya bagi presiden. Sebab, akan ada dua pertanggungjawaban presiden kepada dua lembaga legislatif, yakni kepada DPR RI soal pelaksanaan UUD dan pelaksanaan GBHN kepada MPR.

"Ini merupakan upaya menegasikan sistem presidensial dan meletakkan lagi nuansa sistem parlementer dalam presiden kita dengan meletakan MPR sebagai tertinggi," tuturnya.

Kemudian, ia melihat, bahasan GBHN terlalu umum dan tak detail sehingga dikhawatirkan Presiden bisa saja dituduh melakukan pelanggaran GBHN. Misalnya partai berkuasa yang merasa tersinggung, membawa perkara tersebut ke GBHN

Dirinya menerangkan, jika sekitar 50 persen lebih anggota DPR mengatakan presiden melanggar GBHN. Maka, dirinya menduga presiden bisa diserang oleh DPR dan MPR.

"Menurut saya, presiden harus betul-betul mencermati isu ini, jangan kemudian pemberian kewenangan baru ke MPR bisa merusak sistem ketatanegaraan kita," pungkasnya.

Ketua DPP PDI-P Ahmad Basarah pun membantah pernyataan tersebut. Dirinya menjelaskan, konsep GBHN ini tidak sama seperti zaman orde baru dimana Presiden Soeharto menjadi mandataris MPR.

"Jadi posisi presiden tetap menjadi lembaga negara, dimana presiden dan Wapres dipilih langsung oleh rakyat. Hanya dalam membuat visi dan misi capres-cawapres, cagub , calon bupati , dan calon Wali kota itu tidak bisa setiap ganti berubah sehingga pembangunan bangsa Indonesia dia berubah. Karena setiap pemimpin punya egonya masing-masing," terangnya.

"Oleh karena itu, kita perlu memastikan tentang kepastian hukum pembangunan nasional. Siapa pun presiden, Gubernur, Bupati, Wali Kota, harus sesuai dengan road map pembangunan nasional," tambahnya.

Baca juga artikel terkait AMANDEMEN UUD 1945 atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Politik
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Alexander Haryanto