Menuju konten utama

Puncak Kecerdasan Tak Tergantung Usia, Tapi Gaya Hidup

Gaya hidup sangat menentukan kecerdasan. Mereka yang menerapkan gaya hidup sehat terbukti mampu "menjaga" kecerdasannya hingga di usia senja.

Puncak Kecerdasan Tak Tergantung Usia, Tapi Gaya Hidup
ilustrasi otak kiri dan otak kanan

tirto.id - Ada sebuah keyakinan bahwa puncak kejayaan manusia adalah saat mereka berada di usia "kepala dua" alias 20 tahunan. Alurnya: intelegensi manusia mulai menanjak saat remaja, usia 20-an mencapai puncaknya, cenderung stagnan di kepala tiga, lalu akan turun pelan-pelan saat memasuki kepala empat, lima, dan seterusnya.

Benarkah demikian? Peneliti dari Departement of Brain and Cognitive Science Massachusetts Institute of Tehchnology (MIT) Joshua Hartshrone dan psikiater sekaligus ahli perkembangan saraf Massachusetts General Hospital (MGH) Laura Germine menyatakan bahwa gambaran asli dari persoalan tersebut jauh lebih kompleks.

Sebagaimana dilaporkan MIT News, kedua peneliti itu bekerjasama dalam sebuah penelitian tentang puncak kecerdasan manusia sejak beberapa tahun terakhir. Hingga sekarang penelitian tentang kemampuan kognitif terus berubah. Tantangannya yakni mendapatkan partisipan usia lebih tua dari mahasiswa kampus namun lebih muda dari usia 65 tahun—hal yang juga dihadapi Hartshrone dan Germine.

Keduanya lalu punya inisiatif untuk melaksanakan eksperimen skala besar dari internet, tempat di mana orang dari segala usia bisa dijaring sebagai partisipan. Mereka membuat situs kuis uji otak bernama gameswithwords.org dan testmybrain.org di mana pengunjung bisa menyelesaikan tes dalam beberapa menit. Hartshrone dan Germine berhasil mengumpulkan 3 juta orang dalam beberapa tahun terakhir melalui kedua situs tersebut.

Pada 2011, Germine mempublikasikan hasil risetnya yang menunjukkan kemampuan mengenali wajah seseorang terbangun hingga awal usia 30-an lalu pelan-pelan menurun. Di waktu yang bersamaan Hartshrone juga menjalankan penelitian dengan hasil yang sama namun untuk bidang memori jangka pendek. Keduanya belum jadi jawaban yang memuaskan.

Hartshrone dan Germine kemudian mengeksplorasi lagi sumber data terutama untuk performa partisipan usia dewasa di Weschler Adult Intelligence Scale (sering dipakai untuk mengukur IQ) dan Weschler Memory Scale. Keduanya memuat tes yang mengukur kurang lebih 30 jenis kecerdasan yang berbeda, beberapa di antaranya yakni penghafalan digit, pencarian visual, dan teka-teki perakitan.

Dua peneliti lulusan Harvard itu kemudian menganalisisnya dengan cara baru agar bisa mengkomparasikan puncak usia di tiap sub kecerdasan. Hasilnya, sebagaimana mereka publikasikan di Jurnal Psychological Science, puncak kecerdasan ternyata tersebar di berbagai usia.

“Setelah kami memetakan kapan kemampuan kognitif ini mencapai puncaknya, dan kami tak menemukan satu usia pun yang menunjukkan puncak bagi seluruh kemampuan. Puncak-puncak itu benar-benar tersebar di segala tempat,” kata Hartshrone.

Karena besaran data dirasa belum memuaskan, Hartshrone dan Germine melanjutkan risetnya dengan jumlah partisipan yang lebih besar. Akhirnya mereka menemukan gambaran lebih jelas yang menunjukkan bahwa tiap kemampuan kognitif memunculkan puncaknya di usia yang berbeda-beda. Jadi tak bisa disimpulkan bahwa puncak segala bentuk kecerdasan muncul di usia 20-an.

Sebagai contoh, kecepatan dalam memproses informasi mencapai puncaknya di usia 18-19 tahun, lalu setelahnya pelan-pelan turun. Memori jangka pendek terus berkembang dan menanjak hingga sekitar usia 25 tahun, lalu mulai stagnan dan akhirnya menurun pelan-pelan mulai usia 35 tahun. Sementara itu untuk kemampuan mengevaluasi kondisi emosional orang lain, puncaknya terjadi lebih tua lagi, yakni di kisaran usia 40-an atau 50-an.

Hartshrone dan Germine juga memasukkan tes kosa kata yang bisa dipakai untuk mengukur kecerdasan yang mengkristal (crystallized intelligence), atau istilah untuk akumulasi dari fakta dan pengetahuan seseorang. Hasil yang diperoleh kedua peneliti di riset pertama, berdasarkan riset Wechsler IQ, menunjukkan puncak kemampuan kosa kata terjadi di usia 40-an. Namun riset setelahnya menunjukkan terjadi lebih lanjut, yakni di usia 60-an atau 70-an.

infografik kondisi kognisi tetap tajam usia senja

Jaga Ketajaman Kognisi dengan Gaya Hidup Sehat

Dalam catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), antara 2015-2050 proporsi orang dewasa di dunia akan meningkat hampur dua kali lipat (12 menjadi 22 persen). Ini artinya, ada peningkatan orang usia di atas 60 tahun dari angka 900 juta menjadi hampir 2 miliar orang. Orang-orang tua ini menghadapi tantangan kesehatan fisik dan mental seperti alzheimer dan demensia. Dua penyakit ini benang merahnya yang sama: menurunnya kemampuan kognisi secara drastis.

WHO memperkirakan ada 47,5 juta orang di dunia yang mengidap demensia, dan rata-rata sudah berusia lanjut. Pada 2030 jumlahya diprediksi mencapai angka 75,6 juta dan pada 2050 mencapai 135 juta. Lebih merepotkan lagi sebab sebagian besar dari mereka tinggal di negara atau kawasan dengan pendapatan menengah atau ke bawah. Kondisi ekonomi dan sosial sangat erat kaitannya dengan tingkat penderita dimensia.

Perkara puncak kecerdasan memang relatif. Yang pasti kondisi kognitif seseorang jauh berbeda saat usia jelang 20 tahun dengan usia di atas 60-70 tahun. Tak ada yang bisa dilakukan manusia atas kondisi penuaan dan efek biologis yang mengikuti, akan tetapi untuk perkara ketajaman kognisi setidaknya bisa dipertahankan melalui berbagai praktik sederhana dari gaya hidup yang sehat.

Olahraga, misalnya. Merujuk catatan Christpher Bergland untuk Psychology Today, dalam sebuah riset yang dilakukan oleh peneliti Boston University School of Medicine dan dipublikasikan pada 2013 lalu, ditemukan fakta bahwa olahraga rutin membantu produksi hormon yang bisa meningkatkan daya ingat. Yang perlu diingat adalah pelaksanaan olahraga ini mesti rutin, bukan setengah-setengah.

Dalam kompilasi riset yang dikumpulkan Bergland, gaya hidup lainnya antara lain mau terbuka dengan pengalaman baru, yang menurut peneliti di Universitas Texas lebih penting untuk ketajaman kognisi dibanding mendengar musik klasik atau main teka-teki kata. Jika ingin dimulai dari kecil, jaga selalu kreativitas anak dalam kegiatan seni dan kerajinan sebab menurut riset kebiasaan ini akan membuat mereka tetap inovatif hingga usia senja.

Lakukan juga meditasi yang bagus untuk relaksasi pikiran. Dalam sebuah riset oleh para peneliti dari Universitas Harvard pada 2013 lalu disimpulkan bahwa meditasi berperan penting dalam mencegah penyakit alzheimer dan gejala demensia. Tak lupa juga tidur yang cukup dan berkualitas, sebab tidur yang tak berkualitas menurunkan volume lobus depan atau bagian otak yang bertanggung jawab atas memori dan tindakan.

Selain menjaga diri sendiri, ketajaman kognisi juga bisa dijaga dengan menjaga hubungan yang baik dengan teman, keluarga, pasangan, atau bahkan dengan orang asing. Bergland mengutip hasil riset psikolog Universitas Chicago John Cacioppo yang mengungkapkan bahwa rasa kesepian yang ekstrem dan laten dapat menurunkan daya kognisi seseorang. Intinya, sesekali menikmati sepi boleh, tetapi jangan sampai melupakan hakikat sebagai makhluk sosial juga.

Baca juga artikel terkait KECERDASAAN atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti

Artikel Terkait

Mild report
Selasa, 25 Okt 2016

Siapa Lebih Cerdas: si Malas atau si Aktif?

Mild report
Minggu, 17 Juli 2016

Hidup Dengan Secuil Otak