Menuju konten utama

Puluhan Petugas KPPS Meninggal: Haruskah Pemilu Serentak Diakhiri?

Pemilu serentak yang terdiri dari pemilihan legislatif tingkat kota/kabupaten, provinsi, DPR RI, DPD, hingga capres cawapres membuat petugas kelelahan dalam proses hitung surat suara.

Petugas Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) menyegel amplop yang berisi surat suara sebelum didistribusikan ke kelurahan di gudang logistik KPU Jakarta Pusat, GOR Kemayoran, Jakarta, Selasa (16/4/2019). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc.

tirto.id - Kabar duka datang dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Puluhan petugas meninggal dunia usai bekerja pada hari pemilihan umum, 17 April lalu. Sebabnya macam-macam, dari mulai kecelakaan hingga--yang jumlahnya paling banyak--kelelahan.

Meski belum ada catatan resmi dari penyelenggara pemilu, namun berdasarkan rekapitulasi akun Twitter @nasibaik yang merujuk pemberitaan media massa, setidaknya ada 31 petugas KPPS dinyatakan meninggal dunia setelah bertugas.

Di Jawa Barat, petugas KPPS yang meninggal sedikitnya 12 orang, mereka bertugas di sembilan kabupaten/kota. Hal ini dikatakan Ketua KPUD Jawa Barat, Rifqi Ali Mubarok, seperti diberitakan Antara.

Malangnya keluarga mereka tak mendapat santunan apa-apa dari pemerintah. Rifqi hanya bilang akan mengupayakannya, meski tak janji akan terealisasikan atau tidak.

"Agak susah [memberikan santunan]. Tidak mengenal santunan. Tadi kami koordinasi dengan pemerintah provinsi, kami upayakan ada santunan," kata Rifqi di Gedung Sate Bandung, Sabtu (20/4/2019) seperti diberitakan Antara.

Bagi petugas, sistem pemilu serentak yang baru digelar tahun ini memang membuat jam kerja mereka amat panjang. Para petugas mesti menghitung ratusan atau bahkan ribuan surat suara presiden-wakil presiden, DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kota atau kabupaten, dan DPD RI.

Rifaldi (20), misalnya, seorang petugas di Desa Leuwinutug, Citeureup, Bogor, baru selesai bekerja pada 18 April pukul 5 dini hari. Padahal ia telah mulai bekerja sejak subuh sehari sebelumnya.

"Itu dengan catatan: penghitungan di tempat saya bertugas lebih cepat selesai dibanding tempat lain," katanya kepada reporter Tirto, Minggu (21/4/2019).

Selain melakukan rekapitulasi, menyusun laporan, dan melengkapi berita acara, orang seperti Rifaldi juga harus membantu memfasilitasi calon pemilih agar mendapatkan haknya. Petugas juga bertanggung jawab terhadap fisik TPS. Artinya, mereka juga bekerja sebelum hari pemilihan--meski beban terberat tetap pada hari H.

"Kalau sebelum hari pemilihan biasa aja, sih. Yang kerasa capek itu pas pemilihan. Karena harus benar-benar standby. Itu kan sampai malam banget biasanya," kata Visca (23) petugas KPPS di TPS 25 Kelurahan Pucungrejo, Kecamatan Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, kepada kepada reporter Tirto.

Perlu Evaluasi, Bukan Glorifikasi

Kabar ini lantas mendapat respons simpatik dari warga net di Twitter. Mereka bersama-sama mengicaukan tagar #PahlawanPemilu dan #IndonesiaElectionHeroes hingga menjadi trending topic. Ada pula tagar #KPUJanganCurang.

Tagar-tagar itu mulanya dimaksudkan untuk memberi penghargaan kepada mereka yang rela berkorban demi lancarnya pemilu. Namun jumlah korban jiwa yang sangat banyak membuat tagar-tagar itu terasa seperti sebuah ironi.

Para petugas meninggal karena kegagalan pemerintah mengantisipasi dampak terburuk dari sistem yang mereka buat.

Daripada mengglorifikasi dan membikin kita lupa bahwa para petugas KPPS adalah korban, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramdhanil mengatakan ini sebaiknya jadi momentum untuk mengevaluasi total sistem pemilu.

"Berpulangnya seseorang tentu sudah menjadi takdir masing-masing. Namun, jika hendak melihat sebab kelelahan dari anggota KPPS, memang perlu dievaluasi beban kerja mereka," katanya kepada reporter Tirto.

Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto, lantas mengusulkan adanya asuransi atau semacam jaminan kesehatan bagi petugas KPPS.

"Usulan pemberian asuransi itu hal yang wajar mengingat mereka juga sangat mungkin lebih menjaga independensi KPU, meningkatkan kualitas demokrasi, dan pelayanan yang sebaik-baiknya," kata Hasto.

Bagi Fadli usul tersebut tak begitu mendesak meski memang penting. Yang mendesak, sekali lagi, adalah bagaimana meminimalisasi beban kerja yang berlebih itu, yang pangkalnya adalah sistem pemilu serentak.

"Itu [asuransi] instrumen teknis yang bisa saja dipertimbangkan, tergantung anggaran negara. Tapi yang paling mendasar adalah soal sistem penyelenggaraan Pemilu serentaknya," kata Fadli.

Fadli lantas mengusulkan agar pemilul serentak dibagi dua saja.

"Kalau pemilu serentaknya bisa diformat dengan lebih proporsional, maka kejadian KPPS kelelahan bisa diminimalisir. Salah satunya adalah membagi pemilu serentak menjadi dua, yakni pemilu serentak nasional [capres-cawapres, DPR, dan DPD] dan pemilu serentak lokal [DPRD]," ujar Fadli.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Herdanang Ahmad Fauzan
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Jay Akbar