Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Pulau Onrust, Permata Masa Lalu Kepulauan Seribu

Pulau Onrust pernah menjadi tempat peristirahatan keluarga kerajaan, sempat berfungsi untuk pangkalan militer, kamp tawanan, hingga penampungan gelandangan.

Pulau Onrust, Permata Masa Lalu Kepulauan Seribu
Pulau Onrust, Kepulauan Seribu. FOTO/Istimewa

tirto.id - Dari 105 pulau yang menyusun formasi gugusan Kepulauan Seribu di perairan Teluk Jakarta, terdapat satu pulau yang selalu sibuk. Pulau Onrust namanya. Nama Onrust berasal dari bahasa Belanda yang berarti “tidak pernah beristirahat,” dan begitulah faktanya, setidaknya hingga menjelang dekade 1970-an.

Wilayah Pulau Onrust tidak seberapa besar. Menurut Edi Dimyati (2010: 293) dalam buku 47 Museum Jakarta: Panduan Sang Petualang, pulau ini hanya memiliki luas 7,5 hektare saja. Namun, Onrust punya banyak cerita dan rekam jejak yang teramat panjang, sejak masa kerajaan sampai setelah era kemerdekaan Indonesia.

Pulau Idaman yang Jadi Rebutan

Keluarga istana dari Kesultanan Banten pernah menjadikan Pulau Onrust sebagai salah satu tempat peristirahatan paling favorit, pada abad ke-16 (Bambang Budi Utomo, Warisan Bahari Indonesia, 2017:61). Kala itu, Onrust ibarat permata yang paling bersinar di gugusan Kepulauan Seribu.

Setelah Sunda Kelapa direbut oleh pasukan gabungan Demak dan Cirebon pada 1527, terjadi sengketa terkait hak kepemilikan Pulau Onrust. Pulau yang semula diklaim milik Kesultanan Banten itu dipersoalkan oleh otoritas lokal penguasa baru Sunda Kelapa atau yang kemudian diganti namanya menjadi Jayakarta.

Ribut-ribut memperebutkan pulau idaman itu berlangsung berlarut-larut. Namun, tidak pernah ada upaya yang benar-benar serius untuk menuntaskannya (Chandrian Attahiyyat, Onrust Island, 2000:10), hingga akhirnya datang orang-orang Belanda dengan bendera VOC yang ternyata juga berminat menguasai Pulau Onrust.

Pada November 1610, VOC berupaya menjalin kesepakatan dengan wakil penguasa Kesultanan Banten supaya diizinkan menebang pohon-pohon di Pulau Onrust untuk bahan membuat kapal, dan permohonan tersebut dikabulkan.

Sejak saat itu, tidak sedikit kapal yang memerlukan perbaikan singgah ke Pulau Onrust sebelum melanjutkan pelayaran, atau ketika hendak menuju Jayakarta atau Batavia. Letak pulau yang sangat strategis dan fungsional membuat VOC enggan mengembalikan Onrust kepada Kesultanan Banten.

Jan Pieterzoon Coen yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal VOC sejak 21 Mei 1619 menghendaki agar Pulau Onrust dijadikan koloni (Windoro Adi, Batavia 1740: Menyisir Jejak Betawi, 2010:281). Akhirnya, terjadilah pertikaian antara Belanda dengan Kesultanan Banten. Onrust difungsikan sebagai pangkalan militer VOC untuk melawan Banten yang notabene adalah sang pemilik pulau.

Dikuasai Kaum Penjajah

Pulau Onrust benar-benar memberikan keuntungan bagi Belanda dalam upaya menancapkan pengaruhnya di Nusantara, terutama di kawasan barat Jawa. Tak hanya untuk perang melawan Banten, pulau ini juga menjadi benteng pertahanan VOC dalam persaingan menghadapi kongsi dagang Inggris pada 1618.

Di bawah pengelolaan VOC, pembangunan Pulau Onrust digalakkan terutama untuk menguatkan posisinya sebagai pangkalan militer sekaligus benteng Belanda yang berfungsi sebagai garda depan pertahanan sebelum musuh memasuki Jayakarta atau Batavia.

Proyek tersebut dimulai tahun 1656 dan berlangsung secara bertahap beberapa tahun lamanya yang menghasilkan benteng dengan bentuk segilima dari bata dan batu karang, dilengkapi bastion atau pos pengintai di setiap sudutnya (Didik Pradjoko, dkk., Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia, 2013:196).

Pulau pertahanan di Onrust dilengkapi pula dengan gudang-gudang untuk menyimpan kayu, besi, maupun rempah-rempah dan bahan makanan serta persenjataan termasuk mesiu, juga terdapat dua kincir angin, bengkel, menara pengintai, dan tentu saja ruang tahanan atau penjara.

Menurut catatan Chandrian Attahiyyat (2000:10) dalam buku Onrust Island, hingga tahun 1695 terdapat 148 tentara kompeni dan 200 orang budak yang ditempatkan di Pulau Onrust. Selanjutnya pada 1775, tercatat ada 1.200 orang tinggal di pulau ini, itu belum termasuk 300 orang budak.

Belanda sempat kehilangan kendali atas Onrust pada 1800, ketika Inggris berhasil mengambil-alih pulau tersebut. Pendudukan Inggris di Pulau Onrust berlangsung hingga tahun 1816, namun menimbulkan kerusakan yang sangat nyata. Hampir seluruh bangunan yang ada dihancurkan.

Setelah tidak lagi di bawah penguasaan Inggris, Belanda perlahan-lahan kembali merestorasi kondisi Pulau Onrust. Pada 1828, pembangunan digiatkan lagi. Selain itu, pulau-pulau sekitar, termasuk Pulau Bidadari, Pulau Cipir, dan Pulai Kelor, juga dihidupkan sebagai pendukung Pulau Onrust.

infografik onrust

Nasib Suram Mantan Primadona

Kehadiran Tanjung Priok yang dibangun pada 1883 meredupkan peran Pulau Onrust dalam hal perkapalan dan pelayaran. Memasuki abad ke-20, pulau ini beralih fungsi sebagai sanatorium TBC serta untuk tempat karantina jemaah haji (I.G.N. Anom, dkk., Hasil Pemugaran dan Temuan Benda Cagar Budaya PJP I, 1996:78).

Pada masa itu, orang-orang Indonesia yang akan menunaikan ibadah haji dengan menumpang kapal harus dikarantina terlebih dulu di Pulau Onrust sebelum berangkat ke Mekkah. Demikian pula ketika pulang. Mereka harus benar-benar steril sebelum memasuki wilayah Hindia Belanda.

Nasib Pulau Onrust selanjutnya benar-benar suram. Pulau yang pernah menjadi surga dunia bagi keluarga Kesultanan Banten ini berganti-rupa bagai pulau neraka. Di Onrust, pemerintah kolonial Hindia Belanda memenjarakan para tawanannya, termasuk mereka yang ditangkap dalam peristiwa pemberontakan Zeven Provincien pada awal 1933.

Onrust menjalani peran seperti Alcatraz di Amerika Serikat hingga masa pendudukan Jepang yang merebut Indonesia sejak 1942. Pemerintah militer Dai Nippon mengurung para penjahat kelas berat di pulau ini. Onrust dinilai sudah tidak cocok lagi sebagai benteng pertahanan karena perang pada saat itu sudah memakai teknologi pesawat tempur (Penelitian Arkeologi Pulau Onrust, 1993).

Belanda yang datang lagi bersama Sekutu tak lama setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 memakai kembali fungsi Pulau Onrust sebagai kamp tawanan. Setelah pengakuan kedaulatan jelang 1950, pulau ini digunakan untuk merawat penderita penyakit menular, juga sebagai tempat penampungan pengemis dan gelandangan.

Alwi Shihab (2004) dalam buku Betawi Queen of the East menyebut bahwa di Pulau Onrust inilah dedengkot DI/TTI, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, dieksekusi mati pada 5 September 1962. Dan sejak saat itu, Onrust terbengkalai dan terkesan sebagai pulau angker, dibumbui dengan berbagai cerita horor yang beredar.

Tahun 1972, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin menetapkan Pulau Onrust sebagai pulau bersejarah. Bersama sejumlah pulau lain di sekitarnya, Onrust juga dikukuhkan oleh pemerintah RI sebagai wilayah Suaka Taman Purbakala Kepulauan Seribu. Kini, yang tersisa di Pulau Onrust adalah puing-puing bangunan lama, areal pemakaman, dan museum sederhana.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Maulida Sri Handayani