Menuju konten utama

Puisi Tentang 17 Agustus, Ada Chairil Anwar hingga Taufik Ismail

Kumpulan puisi tentang 17 Agustus, ada karya Chairil Anwar hingga Taufiq Ismail. 

Puisi Tentang 17 Agustus, Ada Chairil Anwar hingga Taufik Ismail
Sejumlah anggota komunitas pengendara sepeda motor melakukan upacara pengibaran bendera merah putih saat Peringatan HUT ke-70 Kemerdekaan RI di Lautan Pasir, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Probolinggo, Jawa Timur, Senin (17/8). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/ama/15

tirto.id - Seluruh masyarakat akan merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh pada 17 Agustus besok.

Ada banyak cara untuk merayakan HUT ke-76 RI di tengah pandemi, seperti mengikuti upacara Detik-Detik Proklamasi secara online, hingga membacakan puisi.

Membaca puisi saat 17 Agustus sudah menjadi tradisi untuk memeriahkan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

Selain itu, puisi juga digunakan untuk mengungkapkan ekspresi serta berperan sebagai salah satu sarana menyampaikan ide atau gagasan terhadap suatu peristiwa.

Puisi juga bisa digunakan sebagai ucapan saat memeriahkan HUT ke-76 Republik Indonesia. Berikut ini adalah beberapa puisi tentang 17 Agustus karya sejumlah sastrawan Indonesia.

"Diponegoro"

Karya Chairil Anwar

Di masa pembangunan ini

Tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti

Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.

Pedang di kanan, keris di kiri.

Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang berpalu

Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti

Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri

Menyediakan api

Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditinda

Sungguhpun dalam ajal baru tercapai

Jika hidup harus merasai.

Maju.

Serbu.

Serang.

Terjang.

Aku

Kalau sampai waktuku

'Kumau tak seorang kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Persetujuan dengan Bung Karno

Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji

Aku sudah cukup lama dengar bicaramu,

Dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu

Dari mulai tanggal 17 Agustus 1945

Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu

Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat

Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar

Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

"Di bawah Kibaran Merah Putih"

Karya M. Taufiq Affandi

Aku tersimpuh

di bawah kibaran merah putih

bayangnya berdansa dengan pasir yang kupijak

melekuk, meliuk, menggelora

Aku tersimpuh

di bawah naungan merah putih

yang enggan turun, enggan layu

setelah lama badai menghujamnya

Mencari pijakan, aku harus bangkit

menepis debu yang menggelayutiku

menebalkan lagi tapak kakiku

ini waktuku berdiri!

Tak lagi aku lengah, takkan

ini tanah bukan tanah tanpa darah

ia terhampar bukan tanpa tangis

terserak cecer tiap partikel mesiu di sana

Jika pada patahan waktu yang lalu

aku bersembunyi, berkarung

pada lipatan detik ini, aku bukanlah kemarin

aku adalah detik ini, aku akan menjadi esok

Aku terhuyung

memegang erat tiang merah putih

aku memanjat asa, memupuk tekad

Indonesia, pegang genggam beraniku!

Genggam… genggam erat

akan kusongsong duri, kutapak tebing

perjuangan ini belum pudar

aku akan mengawalmu, merah putihku!

"Kuukir Nama mu, Pahlawan"

Karya M. Taufiq Affandi

Seperti awan merajut hujan

kusulam namamu di langitku

langit yang Allah bentangkan melalui perihmu

oksigen segar kemerdekaan

yang mengalir dari sesak dadamu

kuhirup seperti aliran sungai surgawi

Seperti akar merambat tanah

kuukir namamu, Pahlawan

dalam-dalam

bukan untuk kukenang

bukan untuk menghiasi bilikku

namun, petuah perjuangan bagiku

Apa yang menggerakkan beranimu?

Apa yang mendobrak takutmu?

Di mana gentar itu?

Tentu saja… tentu saja… ia sirna

pada detik cintamu pada Indonesia terusik

pada detik itu… kekuatan yang tak tampak menguatkanmu

Aku akan berdiam sejenak

di tendamu malam ini

beberapa saat saja

hingga kulitku merasakan dinginmu

dan perutku merasakan laparmu

mataku merasakan perihmu

lalu aku akan mengambil

sisa-sisa aura kosmosmu yang menjejak

kuserap dalam pori-poriku

kuhirup sekuat-kuatnya

hingga mengalir ke dalam nadiku

hingga kuharap kau tahu, kini aku yang jaga merdeka itu

Kuukir namamu, Pahlawan

pada gunung, pada laut

pada udara, pada puisi burung

di tiap huruf namamu, Pahlawan

ada suku kata merdeka

ada doa… untukmu

"Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini"

Karya Taufiq Ismail

Tidak ada pilihan lain

Kita harus berjalan terus

Karena berhenti atau mundur

Berarti hancur

Apakah akan kita jual keyakinan kita

Dalam pengabdian tanpa harga

Akan maukah kita duduk satu meja

Dengan para pembunuh tahun yang lalu

Dalam setiap kalimat yang berakhiran

“Duli Tuanku?”’

Tidak ada lagi pilihan lain

Kita harus berjalan terus

Kita adalah manusia bermata sayu,

Yang di tepi jalan

Mengacungkan tangan untuk oplet

dan bus yang penuh

Kita adalah berpuluh juta

yang bertahun hidup sengsara

Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama

Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka

Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan

Dan seribu pengeras suara yang hampa suara

Tidak ada lagi pilihan lain.

Kita harus

Berjalan terus.

"Karawang Bekasi"

Karya Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi

Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami

Terbayang kami maju dan berdegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu

Kenang, kenanglah kami

Kami sudah coba apa yang kami bisa

Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

Kami sudah beri kami punya jiwa

Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan

Atau tidak untuk apa-apa

Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata

Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang-kenanglah kami

Menjaga Bung Karno

Menjaga Bung Hatta

Menjaga Bung Syahrir

Kami sekarang mayat

Berilah kami arti

Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian

Kenang-kenanglah kami

Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

Menceritakan tentang perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah. Puisi ini tentu sangat menginspirasi bagi kita semua para penerus

bangsa agar selalu semangat membela negara tercinta.

Yang Terampas Dan Yang Terputus

Baca juga artikel terkait 17 AGUSTUS atau tulisan lainnya dari Yandri Daniel Damaledo

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Yandri Daniel Damaledo
Editor: Iswara N Raditya