Menuju konten utama

Puisi Doa Neno Warisman: Potret Strategi Ganda BPN Prabowo-Sandiaga

BPN Prabowo-Sandiga membantah puisi doa Neno sebagai politik identitas. Persoalannya, Neno bukan sekadar pembaca puisi tapi juga Wakil Ketua BPN.

Puisi Doa Neno Warisman: Potret Strategi Ganda BPN Prabowo-Sandiaga
Wakil ketua tim pemenang calon presiden pasangan no urut 02 Prabowo Subianto- Sandiaga Salahudin Uno, Neno Warisman menyampaikan orasi politik saat menghadiri silaturahmi dan deklarasi pemenangan pilpres di Banda Aceh, Minggu (30/9/2018). ANTARA FOTO/Ampelsa

tirto.id - Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno jauh-jauh hari sudah mendeklarasikan strategi kampanye yang bebas dari politik identitas. Namun, strategi itu tampaknya meleset setelah Wakil Ketua BPN Neno Warisman membacakan puisi yang kemudian disebut-sebut doa dalam acara Malam Munajat 212.

Pada 31 Desember 2018, juru bicara BPN Irfan Yusuf Hasyim menyatakan BPN tidak akan menyertakan kembali politik identitas dalam formula kampanye, dan akan fokus pada visi-misi capres saja. Salah satunya adalah membicarakan program-program ekonomi yang langsung menyentuh persoalan masyarakat.

"Alhamdulillah politik identitas sudah mulai berkurang, setiap saya mendampingi Pak Prabowo dan Bang Sandi ke daerah-daerah, hampir sudah tidak ada lagi. Ketika kami berkeliling ke daerah-daerah, pasti ada keluhan dari warga, terutama dari petani," kata Irfan.

Lantas apakah benar BPN Prabowo-Sandiaga sudah tak menggunakan politik identitas dalam kampanyenya?

Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Aditya Perdana menilai tensi perbincangan politik identitas yang dilakukan BPN Prabowo-Sandiaga dan pendukungnya sudah menurun selama Januari hingga penghujung Februari ini.

Namun, isu itu kembali naik setelah pembacaan puisi oleh Neno Warisman. Puisi itu belakangan bahkan disebut-sebut sebagai doa.

"Ketika ada isu soal Neno Warisman ini, kemudian jadi bahan debat, 'apakah momentum Munajat 212 itu kampanye atau bukan?' Itu kampanye 02, misalkan. Tapi, kan, dibantah. Memang tidak ada timses di sana, tapi pentolan-pentolannya 02 ada di sana," ujar Aditya kepada Tirto, Minggu (24/2/2019).

Keberadaan pentolan-pentolan kubu 02 ini, menurut Aditya, menjadikan isu politik identitas seolah sedang dimainkan oleh mereka. Padahal, kubu 02 juga sudah berusaha membuat kampanye lewat isu lain semisal tanah, lingkungan, infrastukur, dan sebagai macamnya.

"Repotnya Neno ini posisinya wakil ketuanya BPN. Di saat yang bersamaan, forum itu bukan forumnya kampanye. Itu bagaimana penjelasannya?," kata Aditya.

Bila memang politik identitas ini sedang jadi bahan yang dimainkan Neno saat membacakan puisinya, Aditya menyayangkan. Ini karena isu identitas ini akan menjadi bahaya laten bagi masyarakat di level bawah. Mereka akan mudah termakan itu ini dibanding mengkritisi isu lain yang dimainkan dua kandidat.

"Jangan kemudian mempertentangkan kelompok-kelompok yang sedang bertarung dalam politik. Sehingga setelah pemilu masih ada sekat-sekat. Itu tidak baik untuk kehidupan masyarakat karena dampaknya akan panjang," ucap Aditya.

BPN Membantah

Juru bicara BPN Prabowo-Sandiaga Nizar Zahro membantah Neno dan BPN sedang memainkan isu politik identitas. Ia menyebut, kehadiran Neno dalam acara Munajat 212 dalam kapasitas sebagai peserta, bukan anggota BPN.

"Kalau semua orang berpuisi, bermunajat, dan berdoa dikatakan politik identitas. Ini, kan, hanya karena momentumnya saja di 212 akhirnya dikatakan politik identitas," ujar Nizar kepada reporter Tirto.

Nizar juga menilai tak ada yang spesial dari puisi yang dibacakan Neno, apalagi sampai dituding sebagai politik identitas.

"Maksud Neno Warisman itu untuk membangkitkan semua umat Islam atau peserta Munajat 212, berdoa kepada Allah SWT untuk mendapatkan kepemimpinan yang lebih baik. Kan, tidak menggiring ke salah satu paslon," ujarnya.

Ia memastikan BPN tetap berkomitmen untuk tidak menggunakan politik identitas dalam kampanye Pilpres 2019. Ia malah menuding Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin lah yang menggunakan politik identitas.

Ia mengacu pada ucapan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan yang membandingkan kualitas agama Prabowo dengan Jokowi.

"Kalau tidak salah, sekitar satu bulan lalu Pak Luhut juga menyampaikan bahwa dia tahu kualitas keislamannya Pak Jokowi, soal ketaatan dan kewajiban seorang muslim. Dia membandingkan dengan Pak Prabowo," jelasnya.

Strategi Ganda

Nizar boleh saja membantah. Namun bagi pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, apa yang dilakukan Neno merupakan bentuk strategi ganda BPN Prabowo-Sandiaga dalam Pilpres 2019.

Pada satu sisi, kata Adi, BPN mencoba memainkan isu ekonomi melalui program-program yang diusung Prabowo-Sandiaga. Namun pada sisi lain, BPN mencoba menghimpun basis masa Islam yang tidak puas kepada Jokowi.

"Saat ini, 212 menjadi satu fenomena politik yang cukup mewarnai pilpres dan eksistensinya cukup diperhitungkan karena mampu memobilisasi massa dengan skala besar," ujar Adi kepada Tirto.

Adi menilai acara Munajat 212 kemarin sebagai bentuk konsolidasi politik aktivis 212 menjelang masa pencoblosan.

"Narasi umumnya doa kebangsaan memang, tapi kalau melihat aktor dan orasi politiknya secara tak langsung sangat terkait dengan pilpres," jelasnya.

Adi menjelaskan, isu ekonomi digunakan BPN untuk menjaring massa seperti ibu rumah tangga, petani, nelayan dan buruh. Sementara isu politik identitas berbasis agama untuk menjaring kalangan tertentu saja.

"Perubahan strategi semacam ini mengikuti dinamika lapangan. Bukan [BPN] tak konsisten, perubahan strategi saja tergantung arah mata angin," ujar Adi.

"Sejak awal semua ingin pemilu yang rasional, nyatanya kedua paslon masih pakai sentimen primordial macam agama. Sistem pemilu kita memungkinkan semua orang tak konsisten," tandasnya.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Politik
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Gilang Ramadhan & Mufti Sholih