Menuju konten utama

Puisi dan Perjuangan Tante Jet untuk Indonesia

Selain melalui sajaknya, dukungan Henritte Rolland Holst alias Tante Jet bagi pergerakan nasional Indonesia juga dirasakan secara nyata di mata orang-orang Perhimpunan Indonesia macam Hatta, dkk.

 Puisi dan Perjuangan Tante Jet untuk Indonesia
Henriette Rolland Holst. tirto.id/Sabit

tirto.id - Bukan Aliarcham jika tidak keras kepala. Dia bersikukuh tinggal di Tanah Tinggi ketimbang mengobati sakit paru-parunya ke Tanah Merah, ke dokter Belanda bernama LJA Schoonyet. Setelah keadaan memburuk, barulah Aliarcham dibawa ke Tanah Merah yang membutuhkan waktu perjalanan selama 1 jam dengan perahu bermesin. Dalam perjalanan itu, Aliarcham menghembuskan nafas terakhirnya.

Menurut buku Aliarcham Sedikit Tentang Riwayat dan Perjuangannya (1964) terbitan Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, Aliarcham meninggal pada 1 Juli 1933. Jenasah Aliarcham lalu dimakamkan di Tanah Merah. Dalam buku berjudul Boven Digoel yang ditulis Schoonyet (1936), terlampir foto makam dari Aliarcham. Terlihat kuburnya sedang dijaga seekor anjing. Kuburnya juga diberi pondok dengan corak palu-arit (lambang PKI) dan sebait sajak yang begitu legendaris dalam dunia pergerakan nasional.

Bagi kami kau tak hilang tanpa bekas

Hari ini tumbuh dari masamu

Tangan kami yang neneruskan

Kerja agung jauh hidupmu

Kami tancapkan kata mulia

Hidup penuh harapan

Suluh dinyalakan dalam malammu

Kami yang meneruskan sebagai pelanjut angkatan

Sajak itu adalah milik Henriette Roland Holst yang biasa disapa Jet. Orang Indonesia suka memanggilnya Tante Jet. Seorang perempuan belanda sosialis dan religius. Sajak Henriette Rolland Holst juga pernah ditemukan di kantong seorang pejuang yang gugur dalam peristiwa Lengkong bernama Subijanto, paman dari politisi Prabowo Subianto. Bunyi sajak itu: Kami bukan pembangun candi/Kami hanya pengangkut batu/Kami angkatan yang mesti musnah/Agar menjelma angkatan baru/Di atas pusara kami/Lebih sempurna.

Menurut tokoh pergerakan nasional Ali Sastroamidjojo dalam memoarnya Tonggak-Tonggak di Perjalananku (1974), “Dia [Henriette Roland Holst] adalah penulis dan penyair terkemuka di Negeri Belanda pada waktu itu. Terkenal sebagai seorang sosialis berhaluan kiri, meskipun sosialismenya berdasarkan keagamaan.” Ali Sastroamidjojo cukup mengenal sosok Henriette Roland Holst alias Tante Jet. Begitu juga proklamator Mohammad Hatta.

Setelah Hatta, Ali, Nazir Pamoentjak dan juga Abdulmadjid Djojoadhiningrat ditangkap pada 23 September 1927 dan nyaris dipenjarakan oleh pengadilan imperialis Belanda, Tante Jet tak membiarkan empat pemuda Indonesia yang jadi koloni negaranya itu dipenjara. Meski dia Belanda, tapi dia sangat peduli pada orang-orang Indonesia yang berjuang untuk tak ditindas bangsanya.

"Sudah sejak kami di penjara dia [Jet] menaruh simpati pada pergerakan [nasional] kita. Sering saya menerima buku dari dia yang berguna sekali untuk mengisi waktu saya di sel,” aku Ali Sastroamidjojo. Hatta juga mengenal Tante Jet. Dalam Konferensi Liga Anti Imperialis yang diadakan pada 1927 di Gland, Swiss, Tante Jet juga hadir bersama Hatta. Konferensi itu dihadiri pergerakan nasional dari Asia dan Afrika, dan Jet begitu berpihak pada orang-orang Indonesia.

“Waktu aku uraikan masalah Indonesia pada Konferensi di Gland itu, banyak sekali orang Belanda yang hadir. Ada yang didatangkan dari Volkenbond di Jenewa, mereka antara lain wakil kepala Departemen Perburuhan di Hindia Belanda. Mereka didatangkan untuk menyertai debat dengan aku dan Nyonya Henriette Roland Holst. Mereka terutama membantah, bahwa di Hindia Belanda berlaku rassenjustitie, dua macam pengadilan,” Hatta menuliskannya dalam Mohammad Hatta: Memoar (1979).

Kala itu setidaknya ada yang namanya Raad van Justitie untuk mengadili kasus hukum orang-orang Belanda dan yang sederajat, lalu ada Landraad (pengadilan negeri) untuk mengadili orang Indonesia yang dicap pribumi. Sukarno juga pernah diadili di Landraad Bandung pada 1930. Selain itu, pada 21 April 1929, Tante Jet dan Hatta juga jadi pembicara dalam Konferensi Pemuda Aksi Perdamaian di Haarlem.

“Banyak pemimpin-pemimpin-laki-laki sosialis memandang dia sebagai gurunya,” tulis Sukarno dalam Sarinah: Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia (1963). Hatta salah satunya dan termasuk yang dekat dengannya. Saking dekatnya, Tante Jet adalah salah satu yang dia pamiti saat hendak pulang.

“Setelah selesai mengepak buku-buku itu, aku pergi sehari ke Haarlem dan Amsterdam untuk pamitan dengan Nyonya Henriette Roland Holst dan kawan-kawan yang memimpin Onafhankelijke Sosialistische Partij (OSP),” tulis Hatta.

Infografik Henriette Roland Holst

Di paruh pertama abad ke-20, Tante Jet adalah tokoh sosialis penting di Belanda. Harry Poeze dalam bukunya Di Negeri Penjajah (2008) menyebut, bersama Edo Fimmen dia adalah pemimpin sosialis yang berwibawa. Sebagai pemimpin gerakan sosialis dia terbiasa pidato. Dia orang yang mudah menyesuaikan diri. Menurut Ali Sastroamidjojo, ketika berpidato biasanya “bahasa yang dipakainya disesuaikan dengan suasana pendengar-pendengarnya.”

Baik Hatta maupun Ali Sastroamidjojo terpaut usia sekitar 30 tahun dari Tante Jet. Di tahun 1927, ketika keduanya baru menginjak usia 20-an tahun, Tante Jet beranjak 58 tahun.

Perempuan yang bernama asli Henriette Anna Goverdine van der Schalk ini sejak remaja menulis puisi lalu akrab dengan para pelukis yang membuatnya bertemu Richard Roland Holst. Laki-laki yang kemudian menjadi suaminya dan membuatnya menyandang nama belakang Roland Holst.

Perempuan yang tak dekat dengan kubu sosialis ala Stalin ini menghembuskan nafas terakhirnya di tahun 1952. Di masa hidupnya, dia tak tahu sajak yang ditulisnya terukir di pedalaman Papua yang jauh darinya. Di makam Aliarcham.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani