Menuju konten utama

Puasa Penghayat Agama Lokal: dari Prihatin hingga Sujud

Meski hanya disebut "aliran kepercayaan", ada banyak sebutan komunitas di Indonesia yang menjalani praktik agama lokal, termasuk cara mereka melakoni puasa. Bagaimana bentuk puasanya?

Puasa Penghayat Agama Lokal: dari Prihatin hingga Sujud
Anak-anak Baduy dalam turut hadir dalam acara Seba Baduy di Pendopo Rangkasbitung. tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Tradisi puasa nyaris ada dalam setiap agama. Namun masing-masing memiliki cara dan pemaknaan berbeda. Di Indonesia, puasa identik dengan menahan makan dan minum. Ini karena mayoritas warga Indonesia pemeluk Islam. Meski demikian, tidak semua puasa itu terkait urusan menahan lapar dan haus saja.

Misalnya komunitas Sedulur Sikep, penganut ajaran Samin Surosentiko alias Raden Kohar, seorang tokoh asal Blora yang pernah melakukan pembangkangan terhadap pemerintah kolonial Belanda pada 1890. Komunitas ini banyak dijumpai di sepanjang Pegunungan Kendeng Utara, belakangan populer berkat perlawanan mereka terhadap pendirian pabrik semen Rembang, Jawa Tengah.

Bagi komunitas ini, puasa diartikan sebagai suatu cara menjalankan hidup setiap hari dalam bentuk perbuatan yang baik.

Gunondo, seorang pemeluk Sedulur Sikep di Kudus, mengatakan bahwa puasa bukan hanya perkara menghindari makan dan menahan lapar, tapi harus disesuaikan dengan perasaan. Jika yang dirasakan tidak baik, demikian katanya menurut Simbah Samin, jangan dilakukan.

“Puasa itu artinya menahan, setiap hari harus kita lakukan. Apa-apa yang jelek jangan dilakukan, itu harus dilakukan setiap hari,” katanya.

Akan tetapi, dalam kebiasaan orang Jawa, dikenal apa yang disebut prihatin, laku hidup sangat sederhana. Laku prihatin ini biasanya dilakukan pada bulan Suro, yang dalam kepercayaan orang Jawa menjadi bulan penting dalam penghayatan kepercayaan.

Bentuk prihatin itu bisa berupa mutih. Mutih berarti seseorang hanya makan nasi putih, tidak ada sayur dan lauk apa pun. Hal ini untuk melatih kesabaran dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Biasanya orang yang prihatin pada bulan Suro memohon kepada Tuhan agar apa yang ia inginkan bisa terwujud.

Dalam praktiknya, laku prihatin dengan mutih bisa dilakukan selama seminggu. Puncaknya, orang yang melakoni mutih tidak makan dan minum, serta tidur semalaman hingga pagi.

“Kalau kita meminta sesuatu yang baik, Tuhan pasti mengabulkan. Saya tidak pernah minta kepada Tuhan untuk menjadi kaya, tapi meminta Tuhan memberikan kesehatan pada keluarga. Sampai sekarang itu terwujud,” ujar Gunondo.

Sebenarnya tidak ada bentuk baku dari laku prihatin. Selagi bagian penting prihatin itu dilakukan, tidak ada yang salah. Bagian terpenting dari prihatin ini adalah cara hidup sehari-hari.

Misalnya, seorang Sedulur Sikep menemukan dompet yang jatuh di jalan; ia tidak boleh mengambilnya. Namun, jika ia menemukan dompet dan ia mengetahui pemiliknya, ia diperbolehkan mengambilnya untuk memberikan kepada si pemilik.

“Jangan sampai ucapan kita menyakiti orang lain, jangan mengambil yang bukan hak kita. Itu yang harus dilakukan setiap hari, yakni menjaga ucapan, tindakan, dan niat,” ujar Gunondo.

Baca:

Infografik HL Puasa Revisi

Puasa sebagai sebuah tindakan juga dijalani oleh penganut kepercayaan Budi Daya.

Bagi penganut Budi Daya, puasa itu terkait dengan tindakan, ucapan, dan pikiran sehari-hari. Sebab, dalam konsep Budi Daya, di dalam diri manusia ada nilai-nilai Tuhan yang sudah tertanam.

Ketua Budi Daya Engkus Ruswana mengatakan, sebab di dalam manusia sudah ada nilai-nilai Tuhan, selanjutnya manusia diberi pilihan untuk menggunakan nilai-nilai itu dalam hidupnya atau tidak.

“Kalau secara spesifik, tidak ada puasa seperti saudara kita umat muslim. Kami meyakini puasa itu sebagai proses menjalani hidup dengan nilai Tuhan,” kata Engkus.

Dalam Budi Daya, sama sekali tidak ada ritual atau upacara khusus dalam pelaksanaan puasa. Sebagian pengikutnya memilih untuk menjaga perilaku dan ucapan daripada sekadar menahan lapar dan haus. Sebab hawa nafsu tidak hanya berasal dari makanan dan minuman, tapi juga nafsu memfitnah, berlaku jahat, dan keburukan lain.

Begitu pula dengan aliran kepercayaan Sapto Darmo. Para penganut agama lokal ini menekankan inti puasa adalah tindakan. Tetapi, sebagaimana tradisi Jawa, ada masa ketika pengikut Sapto Darmo berpuasa menahan lapar dan haus di hari kelahiran.

“Puasanya hanya sehari itu. Ini ada aturannya, wetonnya gimana, ada perhitungannya,” ujar Naen Suryono, seorang tokoh Budi Daya di Jawa Timur.

Naen mengatakan, dalam ritual puasa, seorang pengikut Sapto Darmo biasanya bersujud selama kurang lebih 1 jam. Bentuk sujud yang dilakukan seperti halnya sujud dalam salat umat muslim. Sujud ini dimaknai sebagai cara terbaik menyembah Tuhan, mencerminkan kepasrahan pada Yang Maha Kuasa.

“Biasanya sembari menyampai keinginan dan memohon ampun kepada Tuhan,” ujarnya.

Meski demikian, tidak ada larangan bagi pengikut Sapto Darmo untuk berpuasa dengan cara menahan lapar dan haus seperti halnya penganut agama-agama Samawi. Jika memang cara itu dianggap lebih membuat perasaan sejati, dan membuat dekat dengan Tuhan, itu tidaklah masalah sama sekali.

“Kalau sudah berpuasa, intinya jangan berkelakuan buruk. Justru itu yang harus dipastikan. Niat, ucapan, dan tindakan harus sejalan,” tutur Nean.

Naen berkata ia menjalani puasa pada 2016 saat hari kelahirannya. Ia memohon ampun kepada Tuhan atas segala kekhilafan yang dilakukannya sepanjang tahun.

“Setiap manusia pasti punya salah," tuturnya. "Maka bersujudlah. Memohon ampun."

Baca juga artikel terkait PUASA atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam