Menuju konten utama
Kenangan Ramadan

Puasa 11 Jam di Cape Town dengan Nuansa Mirip Jakarta

Suasana Cape Town mirip Jakarta, membuat Ramadan di sana lebih berkesan daripada berpuasa di Amerika Serikat.

Puasa 11 Jam di Cape Town dengan Nuansa Mirip Jakarta
kenangan ramadan di cape town. FOTO/Istimewa

tirto.id - Ihsan Tria Pramanda adalah mahasiswa master di Northwestern University, Amerika Serikat (AS). Meski kuliah di AS, ia punya pengalaman bisa menginjakkan kaki di Benua Afrika. Perjumpaannya dengan daratan Afrika terjadi saat musim

panas 2015 lalu. Periode yang biasanya dipilih sebagai jadwal melakukan program internship di negara-negara berkembang seperti Afrika Selatan.

Ihsan tiba Cape Town, Afrika Selatan, tepat pada Ramadan kedua dua tahun lalu. Cape Town, merupakan salah satu dari kota di Afrika Selatan dan salah satu kota terbesar di Afrika. Ia berkesempatan tinggal di sana selama tiga bulan, sejak akhir Juni hingga awal September 2015, sebagai bagian dari program internshipnya yang diwajibkan kampusnya.

Melewati Ramadan di negeri orang, apalagi di Afrika tentu jadi pengalaman yang tak terlupakan. Di antara mahasiswa lain yang ikut program internship hanya Ihsan yang Muslim.

“Untuk berpuasa selama berkegiatan di kampus tidak ada masalah, karena saya berada di kampus dari jam 9 pagi hingga 5 sore,” ungkap Ihsan.

Untuk urusan perut seperti membeli makanan bukan suatu masalah, ia bisa membeli di supermarket terdekat. Keperluan sahur, ia membuat roti lapis, sedangkan untuk berbuka ia lebih memilih makan di luar, terkadang sendiri atau bersama-sama rekannya. Tantangan berpuasa baru terasa saat di luar hari kerja, ketika ia biasanya jalan-jalan dengan kawan-kawannya mengunjungi perkebunan anggur di Provinsi Western Cape, atau safari ke cagar alam.

Biasanya paket tur wisata seringkali sudah termasuk paket makan siang. Sebagai penggemar makan Ihsan jadi sering sedih sendiri karena harus melewatkan kesempatan semacam itu. “Apalagi jika makanan disediakan secara prasmanan,” kata Ihsan. Namun bagi Ihsan, itu hanyalah godaan yang sepele, “tak signifikan sampai menggangu puasa saya,” katanya.

Dari pelbagai aktivitasnya selama Ramadan di Cape Town, ia punya pengalaman yang terus dikenang. Ihsan biasanya akan tetap duduk bersama kawan-kawan lainnya, membaur, ketika mereka menikmati makan siang. Kawan-kawan Ihsan tahu kalau dirinya berpuasa, tapi tak ada yang merasa perlu sungkan dengan menjaga-jaga makanannya. Suasana ini tentu saja berbeda dari yang biasanya terjadi di Indonesia.

“Pengalaman ini berkesan,” kata Ihsan.

“Tinggal di negeri orang lain menurut saya adalah pengalaman yang sangat berharga. Setiap orang perlu merasakannya setidaknya sekali seumur hidup jika memiliki kesempatan dan kemampuan. Dengan tinggal di negeri orang lain, terutama yang lingkungan dan budayanya berbeda jauh dengan kampung halaman, kita akan belajar bahwa dunia ini sangat luas dan isinya sangat beragam.”

Berpuasa di Cape Town, bagi Ihsan tak ada kendala berarti termasuk masalah cuaca. Pada Juni-September adalah musim panas di belahan Bumi utara, sebaliknya musim dingin di bagian selatan, termasuk di Kota Cape Town.

Infografik ramadan di cape town kenangan ramadan

Iklim dan bentang alam tidak memungkinkan Cape Town mengalami hujan salju. Musim dingin di sana lebih identik terjadi hujan dan angin. Puasa di Cape Town lebih singkat dari Indonesia yang sampai 14 jam per hari.

“Konsekuensinya, saya berpuasa hanya sekitar 11 jam per hari,” kata Ihsan.

Imsak dimulai sekitar pukul 6.00 hingga 6.30 pagi dan berbuka sekitar pukul 5.45 hingga 6 sore. “Hal ini tentu lebih "menguntungkan" dibanding pada waktu yang sama di AS dimana kita harus berpuasa 16 jam. Untuk suasana Ramadan juga tidak ada kendala berarti.”

Populasi Muslim di Cape Town memang minoritas, hanya di bawah 10 persen dari total populasi, tapi keberadaan komunitasnya cukup terasa. Ihsan mencontohkan suara azan yang berbeda dengan di AS. “Di Cape Town azan bebas untuk diperdengarkan keluar dari masjid,” katanya.

Jumlah masjid di Cape Town memang terbatas tapi azan tetap terdengar dari kejauhan. Inilah yang membuatnya masih bisa menikmati suasana Ramadan lebih berkesan daripada di Negeri Paman Sam.

Suasana di Cape Town, menurut Ihsan, kurang lebih mirip-mirip dengan Jakarta. Daerah pusat kota dipenuhi oleh gedung-gedung, fasilitas publik, serta area komersil dan hiburan. Ada daerah pemukiman yang kelas atas bersanding langsung dengan daerah pemukiman sangat kumuh.

“Jadi kehidupan di Cape Town sangat dinamis sebagaimana kota besar pada umumnya,” ungkap Ihsan.

Ihsan juga berkesempatan buka puasa di kawasan Bo-Kaap, sebuah area tempat tinggal komunitas Cape Malay di kaki dan lereng Signal Hill, Cape Town. Cape Malay adalah sebutan untuk komunitas Muslim di sana. Mereka umumnya adalah peranakan warga Indonesia, Malaysia, dan Asia Selatan yang berimigrasi ke wilayah Afrika Selatan sejak abad ke-17.

“Kebetulan Belanda sama-sama menjadi penguasa di Asia Tenggara dan juga Afrika Selatan pada masa itu. Mereka bercampur dengan penduduk asli dan juga imigran dari daerah lain di Afrika menghasilkan keturunan dengan identitas etnis dan budaya yang khas,” kenang Ihsan.

Bo-Kaap terkenal dengan rumah-rumah penduduk bergaya arsitektur unik, tersusun rapat, dan dicat dengan warna-warni cerah. Selain ingin melihat keunikan itu, Ihsan juga berharap bisa menemukan masakan Melayu untuk berbuka puasa.

“Saya duga akan mirip dengan masakan Indonesia,” katanya.

Namun nyatanya, masakan khas yang disajikan, semisal samosa (semacam pastel) dan bobotie (kari daging) lebih mirip masakan India atau Asia Selatan dengan sedikit pengaruh Eropa, bukan melayu. “Rasanya (memang) sangat lezat.”

Ihsanmerasa lebih gampang beradaptasi di Cape Town, ketimbang tempat tinggalnya di Chicago, Amerika Serikat. “Karena suasananya jauh lebih mirip Indonesia. Mungkin karena sama-sama negara berkembang,” ungkapnya.

Cape Town juga kota yang multi-etnis. Ada penduduk asli Afrika, keturunan Eropa (Belanda, Jerman, Inggris), serta keturunan Timur Tengah dan Asia Selatan.

“Sangat sedikit dari Asia Timur,” kata Ihsan.

Bentang alam, tata kota, dan aktivitas keseharian masyarakatnya juga sangat mirip dengan suasana di Indonesia, semacam pasar tradisional, pedagang di trotoar, bahkan angkot, yang disebut taksi ada juga di sana.

“Saya tidak menemui perbedaan menyulitkan untuk beradaptasi dan menjalankan ibadah di bulan Ramadan,” katanya.

Baca juga artikel terkait DUNIA RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra