Menuju konten utama
17 Oktober 1967

Pu Yi, Kaisar Tiongkok dan Putra Langit Terakhir

Bagaimana Kaisar Tiongkok terakhir Pu Yi berubah menjadi warga negara biasa?

Ilustrasi Mozaik Henry Puyi. tirto.id/Quita

tirto.id - Ketika menyusun buku tentang Kota Beijing dalam lintasan sejarah Tiongkok pada 1990-an, jurnalis Inggris ahli Tiongkok, Jasper Becker, bertemu salah satu loyalis Dinasti Qing yang juga putra dari pelayan terakhir Kaisar Xuantong, Jin Hengkai. Saat itu, Dinasti Qing yang pernah memerintah Tiongkok Raya selama sekitar tiga ratus tahun telah lama hilang.

Kaisar yang dilayani oleh Yuyan—sang ayah—juga telah lama dilepaskan dari gelar kekaisaran. Ketika sang bekas kaisar meninggal dunia pada 17 Oktober 1967, ia hanya dikenal dengan nama kecil, Henry Puyi. Becker tidak menemui Hengkai tanpa alasan. Orang-orang Manchu yang pada 1990-an itu sudah berkurang drastis dan hanya menjadi anggota masyarakat Tiongkok yang peranannya sangat sedikit dalam pembentukan Kota Beijing.

Mungkin, kita perlu mengingat bahwa Beijing baru menjadi ibu kota kekaisaran pada masa pemerintahan Kaisar Yongle (bertakhta, 1402–1424). Sebelumnya, ibu kota dinasti-dinasti Tiongkok berada di selatan, mulai dari Kota Xi’an (Chang’an), Luoyang, Kaifeng, dan lainnya. Dinasti yang secara penuh menggunakan kota ini sebagai ibu kota adalah Dinasti Qing—dinasti yang dikenal umum sebagai dinastinya “orang asing”.

Stereotip itu muncul karena etnis Manchu yang menjadi etnis para penguasa Qing merupakan kelompok minoritas populasi Tiongkok yang didominasi orang Han. Dengan demikian, melebihi dinasti penguasa yang lain, orang Manchu memengaruhi Beijing dalam taraf yang sangat besar.

Hengkai tinggal di rumah satu kamar dekat Gulou—Menara Lonceng—di Beijing saat ditemui oleh Becker. Sang jurnalis mengisahkan dalam bukunya, City of Heavenly Tranquillity (2008), bahwa hingga saat itu, Hengkai masih percaya bahwa segala hal yang dilakukan kaisarnya, Puyi, merupakan tindakan benar dan “contoh bagi semua keturunan Manchu”.

Tindakan apa yang dicakup oleh kata “segala” dalam penuturan Hengkai itu? Dan kehidupan seperti apa yang telah dilewati oleh Puyi, Putra Langit yang terakhir dari Tiongkok? Hingga akhir hidup, Puyi merupakan seorang raja yang telah tiga kali dimakzulkan dan berakhir sebagai seorang tukang kebun di Kebun Raya Beijing.

Naik dan turun nasibnya selama hidup itu dimulai dari penunjukkan tak terduga yang dilakukan oleh Ibu Suri Cixi ketika sang kaisar masih menuju usia tiga tahun. Ibu Suri Cixi adalah salah satu dari dua permaisuri Kaisar Xianfeng (bertakhta, 1850–1861) dan telah menjadi figur de facto kekuasaan Qing sejak 1860-an. Pada akhir 1908, ia merasa bahwa waktunya sudah tidak lama lagi. Pada 14 November 1908, Kaisar Guangxu (bertakhta, 1875–1908)—yang berada di bawah perwalian Cixi pada sebagian besar masa pemerintahannya—wafat tanpa penerus.

Ibu suri kemudian menunjuk cucu keponakannya, Puyi, putra dari seorang pejabat yang loyal kepada Cixi. Esok harinya, pada 15 November 1908, seperti diceritakan dalam Empress Dowager Cixi: The Concubine Who Launched Modern China (2013) tulisan Jung Chang, Cixi sendiri menghembuskan napas terakhir di Aula Burung Hong di Kota Terlarang. Pada bulan Desember, Puyi naik tahta.

Kaisar kecil itu tentu saja tidak memerintah secara langsung. Istri dari mendiang Kaisar Guangxu, Ibu Suri Longyu, menjadi wali selama masa kecil Puyi. Namun, Tiongkok ketika itu dilanda ketidakstabilan di mana-mana. Sejak 1860-an, kekuatan yang dahulu dikenal besar dan tua di Asia itu menelan kepahitan beruntun akibat Perang Candu Pertama (1839–1842) dan Kedua (1856–1860). Berbagai macam “perjanjian tidak setara” ditandatangani dan membuat negeri-negeri asing dapat mencaplok tanah-tanah Tiongkok secara legal. Mereka meminta kota pelabuhan sebagai konsesi atau ganti rugi perang dan menerapkan hukum serta cara hidup mereka di kota tersebut.

Di kota-kota pelabuhan, modernisasi berjalan cepat, kapitalisme bertumbuh, dan perkembangan ekonomi melesat. Namun, kota-kota ini berada di bawah kekuasaan penuh negara-negara yang menguasainya. Seseorang dapat membayangkan tentang Hong Kong dengan hukum Inggrisnya yang sempat bertahan hingga 1997. Sejarawan Priyanto Wibowo dari Universitas Indonesia menyebut masa ini sebagai periode “hypocolonialism”, yakni kesenjangan besar antara wilayah Tiongkok non-konsesi yang feodal di bawah administrasi kekaisaran dan wilayah “progresif” yang dikuasai kekuatan asing.

Ini menghadirkan bentrokan berbagai aspirasi, antara orang yang ingin pindah ke kota pelabuhan, orang anti-asing yang ingin mengusir alien-alien Eropa, reformis baru yang terpengaruh ide Eropa, dan lain-lainnya. Inilah wajah Tiongkok yang dihadapkan kepada kaisar muda di Beijing. Di tengah kekacauan konstelasi politik itu, pecah sebuah revolusi pada 1911 yang dikenal dengan nama Revolusi Xinhai.

Pada titik ini, pergumulan gagasan di negeri Tiongkok sudah amat rumit. Beberapa pendukung kaisar sebelumnya—Kaisar Guangxu—menyerukan reformasi di dalam tubuh dinasti. Dengan kata lain, tetap menaruh arti penting pada kaisar. Kelompok lain di bawah pimpinan Sun Yatsen juga menyerukan reformasi, namun juga menyerukan diakhirinya dinasti—ini dikenal dengan kelompok republikan. Berhadapan dengan mereka, tentunya berdiri para pejabat pemerintahan yang tidak mau reformasi berjalan secara radikal. Kini, nasib sang kaisar muda ditentukan oleh pihak yang menang dalam pertarungan ide tersebut.

Untuk mempertahankan diri dari kelompok reformis di berbagai sisi, pemerintah kekaisaran meminta panglima pasukan daerah yang terkuat, Yuan Shikai, untuk menjadi perdana menteri dan memulai negosiasi dengan kelompok republikan. Sayangnya, yang ditunjuk akhirnya menunjukkan sisi opurtunis dalam perundingan itu. Yuan Shikai bersepakat dengan kelompok republikan bahwa ia akan meyakinkan kaisar agar turun takhta bila ia diberi kursi presiden dalam republik yang akan dibentuk kaum reformis itu. Syarat disetujui dan akhirnya Yuan Shikai meyakinkan Ibu Suri Longyu—wali dari kaisar kecil Puyi—untuk menandatangani pernyataan turun takhta.

Namun demikian, kaisar dan keluarga dipersilakan untuk tetap tinggal di Kota Terlarang. Kompleks istana itu juga diperbolehkan tetap beroperasi seperti sebelumnya dan akan mendapat anggaran tahunan dari pemerintah republik. Dengan deklarasi tahun 1912 itu, Ibu Suri Longyu telah mengakhiri pemerintahan monarki Tiongkok yang berumur ribuan tahun.

INFOGRAFIK-MOZAIK-Template_Neo_Mozaik-Tirto-01

Infografik Mozaik Henry Puyi. tirto.id/Quita

Di dalam tembok kota, kehidupan tidak banyak berubah. Ribuan kasim yang dipekerjakan sejak masa Ibu Suri Cixi masih menjadi sekrup dan roda gigi dari Kota Terlarang. Namun, Puyi menulis dalam autobiografinya, From Emperor to Citizen (1961), bahwa ia tidak menyukai kasim-kasimnya. Ia sering memukul mereka ketika ia sedang memiliki suasana hati yang buruk. Ketika mendengar bahwa kasim-kasim mencuri barang-barang dari Kota Terlarang, Puyi berniat memecat semua kasimnya. Namun, berkat arahan dari para ibu suri, ia mempertahankan beberapa kasim untuk mengoperasikan Kota Terlarang yang luas.

Sepanjang dekade 1910-an, sekalipun republik muda sudah diproklamirkan, banyak kekuatan tentara mandiri yang memiliki paham beragam. Salah satunya adalah tentara di bawah Panglima Zhang Xun yang pro-dinasti. Pada bulan Juni 1917, ia menyerbu Beijing dan merebut ibu kota kekaisaran itu. Di situ ia kemudian mengangkat kembali Puyi ke atas tahta dan mengibarkan bendera Qing di seluruh kota. Namun, di luar Beijing, kekuatan Zhang Xun tidak signifikan. Akhirnya, Zhang Xun dapat dikalahkan dalam waktu satu bulan dan Puyi kembali dimakzulkan pada bulan Juli 1917. Sekalipun demikian, sang mantan kaisar tetap diperbolehkan tinggal di istananya.

Ia baru diusir keluar dari kota kekaisaran itu pada 1924 ketika panglima perang lain yang anti-dinasti, Feng Yuxiang, menyerbu Beijing. Puyi akhirnya mengambil suaka di wilayah konsesi Jepang di kota pelabuhan Tianjin. Kedekatan Puyi dengan Jepang setidaknya mulai menguat setelah kaisar muda itu menyumbang dana untuk pemulihan gempa besar di Tokyo pada 1923.

Puyi kemudian juga akan ditunjuk menjadi kaisar dari Manchukuo di bawah kuasa Jepang pada 1934 hingga negeri matahari terbit itu keok di Perang Dunia II pada 1945. Karena alasan inilah pemerintah Tiongkok setelah 1949 melihat Puyi sebagai pengkhianat revolusi. Ia dipindahkan dari satu kamp ke kamp lain sebagai tahanan perang dan baru dapat kembali ke Beijing sebagai orang biasa pada 9 Desember 1959.

Pemerintah Tiongkok memberinya sebuah rumah sederhana di dalam kompleks Kuil Guanyin (Avalokiteśvara) di Xizhimen. Ia kemudian bekerja sebagai seorang tukang kebun yang merawat sebidang tanah di pojok Kebun Raya Beijing. Istrinya yang terakhir, Li Shuxian, meratap di depan kuburnya yang sederhana dan hanya bertuliskan “Aisin Gioro Pu Yi” pada tahun 1990-an, ia berucap:

“Ia bukanlah orang biasa, bahkan ada film tentang dia yang memenangkan sembilan Oscar... mereka (pemerintah) harusnya memberi gelar di depan namanya... ‘kaisar terakhir’ seperti di dalam film... atau gelarnya di era komunis. Bagaimanapun, ia adalah anggota Konferensi Penasihat Politik Tiongkok dan peneliti di Biro Sejarah dan Susastra...”.

Baca juga artikel terkait TIONGKOK atau tulisan lainnya dari Christopher Reinhart

tirto.id - Politik
Kontributor: Christopher Reinhart
Penulis: Christopher Reinhart
Editor: Irfan Teguh Pribadi