Menuju konten utama

PSSI Cabut Sanksi Persib: Tanpa Efek Jera, yang Ada Turun Wibawa

Efek jera, hal yang selalu dinanti dari sanksi berat PSSI atas kematian suporter, tak kunjung hadir. PSSI sendiri yang mengamputasi hal itu.

PSSI Cabut Sanksi Persib: Tanpa Efek Jera, yang Ada Turun Wibawa
Seniman Tisna Sanjaya berdiri di depan mural Persib-Persija Damai yang dilukis Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil di bantaran Sungai Citarum, Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (26/9/2018). ANTARA FOTO/Novrian Arbi/aww/18.

tirto.id - Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) resmi mencabut sanksi untuk Persib Bandung lewat SK resmi Exco, Kamis (28/2/2019) kemarin. Dengan demikian, kini bobotoh--sebutan bagi suporter Persib--sudah bisa masuk ke stadion lengkap dengan atribut. Sebagian uang denda--yang totalnya mencapai Rp100 juta--juga dikembalikan.

Menurut Sekjen PSSI Ratu Tisha Destria, ada beberapa hal yang diharapkan muncul dari pencabutan hukuman ini.

"Keputusan ini diambil setelah telaah panjang dan hati-hati, dengan tujuan yang terukur: perbaikan kualitas penyelenggaraan pertandingan, dibarengi upaya edukasi suporter oleh klub," katanya.

Tapi bagi pengamat sepakbola sekaligus jurnalis olahraga senior, Budiarto Shambazy, ada yang tak sinkron antara pencabutan hukuman dan tujuan yang hendak dicapai.

"Dari mana bisa keputusan itu bisa meningkatkan kualitas? Saya kira tidak ada hubungannya sama sekali. Mengada-ada mungkin itu," kata Budiarto saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (1/3/2019) siang.

"Sementara kalau dibilang mengedukasi, apalagi buat efek jera, ya harusnya sanksi itu berlaku sampai habis," imbuhnya.

Dengan kata lain, bagi Budiarto federasi gagal menghadirkan efek jera. Padahal latar belakang sanksi itu adalah peristiwa yang harusnya tak lagi terulang: kematian suporter.

Sejumlah bobotoh mengeroyok suporter Persija, Haringga Sirila, hingga meninggal dunia dalam duel Persib vs Persija akhir September 2018. Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Dedi Prasetyo, korban dikeroyok "dengan menggunakan balok kayu, piring, botol dan benda-benda lainnya."

Dan Haringga bukan yang pertama. Dia adalah korban keenam keributan suporter Persija-Persib. Lima nama lain yang terlebih dulu meninggal: Rangga Cipta Nugraha, Lazuardi, Dani Maulana, Harun Al-Rasyid, Ricko Andrean.

Jika dihitung sejak 1995 sampai Haringga, berdasarkan data Save Our Soccer (SOS), setidaknya ada 76 suporter sepakbola meninggal akibat sepakbola itu sendiri. Sebagian besar dari mereka meninggal dalam kerusuhan.

Atas fakta itu, Koordinator SOS Akmal Marhali menilai pencabutan sanksi oleh PSSI adalah preseden buruk. Pencabutan ini juga berpotensi membikin konflik antarsuporter semakin keruh.

"Akibat pencabutan sanksi ini, justru suporter sendiri yang dirugikan. Karena sekarang jadi muncul pendapat: sanksi diberikan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu, kemudian setelah kompetisi selesai sanksi dicabut. Opini-opini seperti ini, kan, merugikan," kata Akmal kepada reporter Tirto.

Akmal maupun pencinta sepakbola yang ingin menikmati tontonan olahraga di atas lapangan tidak ingin insiden serupa terulang. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa cara PSSI memperlakukan kematian suporter dengan sanksi yang ditarik ulur adalah sikap tidak berwibawa.

"Cara seperti ini tidak memberikan edukasi, justru ini meniadakan kewibawaan PSSI," tandasnya.

Keputusan untuk mencabut hukuman juga sebetulnya bertolak belakang dengan visi Tim Pencari Fakta (TPF) PSSI untuk kematian Haringga. Ketua TPF Gusti Randa mengatakan hukuman terhadap Persib adalah momentum memperbaiki sepakbola Indonesia secara keseluruhan.

Ini ia katakan setelah Komite Disiplin memvonis Persib.

"Bahwa apa yang telah diputuskan, apa yang telah direkomendasikan, menjadi awal momentum untuk perbaikan keseluruhan," katanya.

Reporter Tirto menghubungi Gusti, yang juga Exco PSSI, atas pencabutan sanksi ini. Tapi yang bersangkutan enggan berkomentar.

Baca juga artikel terkait KERUSUHAN SUPORTER atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Rio Apinino