Menuju konten utama

PSI: Pemisahan Bangku di Angkot Hanya Solusi Jangka Pendek Cegah KS

PSI menilai kebijakan tersebut tidak efektif, hanya sebagai solusi jangka pendek dan tidak berkepanjangan dalam mencegah kasus kekerasan seksual.

PSI: Pemisahan Bangku di Angkot Hanya Solusi Jangka Pendek Cegah KS
Sejumlah angkutan kota (angkot) antre menunggu penumpang di Terminal Kampung Melayu, Jakarta, Sabtu (19/9/2020). ANTARA FOTO/Reno Esnir/wsj.

tirto.id - Anggota DPRD DKI dari Fraksi PSI, Eneng Malianasari menilai pemisahan tempat duduk di angkutan kota (Angkot) hanya solusi jangka pendek mencegah pelecehan seksual di transportasi.

Hal tersebut menanggapi wacana Dinas Perhubungan (Dishub) DKI yang akan memisah tempat duduk wanita-pria di angkot sebagai upaya pencegahan terjadinya pelecehan.

"Kebijakan tersebut tidak efektif, hanya sebagai solusi jangka pendek dan tidak berkepanjangan. Belum lagi Dishub tidak memikirkan ruang angkot yang sempit untuk membagi hal tersebut, berbeda dengan TransJakarta atau commuter line yang memiliki ruang luas," kata Eneng melalui keterangan tertulisnya, Selasa (12/7/2022).

Anggota Komisi C DPRD DKI ini menyatakan bahwa problem yang terjadi bukan hanya soal implementasi dari kebijakan tersebut, tapi bagaimana pengawasan dan penertiban yang dilakukan aparat penegak hukum agar tidak terulang lagi kejadian pelecehan tersebut.

Seharusnya, kata dia, pemerintah bersama semua stakeholder baik itu institusi Komnas HAM, Komnas Anak dan Perempuan, juga LSM lainnya untuk duduk bersama membahas strategi berkepanjangan agar tidak lagi terjadi pelecehan di transportasi umum, terutama angkot.

"Dengan duduk bersama, diharap melahirkan solusi jitu menanggulangi hal tercela tersebut terjadi lagi," ucapnya.

Selain itu, dia meminta pemerintah perlu juga merumuskan sistem untuk menciptakan rasa aman dan kenyamanan warga saat berada dalam transportasi umum.

Berdasarkan pernyataan Amnesty International, bahwa pelecehan dan kekerasan seksual termasuk kasus HAM berat. Sehingga tindakan kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual harus ditangani secara sistematis terorganisir agar bisa memutus mata rantai dan selanjutnya mencegah terjadinya kembali pelecehan seksual.

Kewajiban masyarakat melaporkan pelaku pelecehan seksual juga telah diatur secara hukum dalam UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

"Aparat penegak hukum juga diminta untuk memberi hukuman seberat-beratnya pada pelaku pelecehan atau kekerasan seksual sesuai dengan undang-undang yang berlaku," tegasnya.

Dalam Pasal 5 UU TPKS juga mengatur bahwa pelaku perbuatan seksual nonfisik dapat dipidana hingga 9 bulan penjara. Tak hanya itu, UU TPKS juga mengatur pelecehan seksual fisik sebagai salah satu tindak pidana kekerasan seksual.

Menurut Pasal 6 UU TPKS, pelaku pelecehan seksual fisik dapat dipidana hingga 12 tahun penjara dan denda paling banyak Rp300 juta.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL DI ANGKOT atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri