Menuju konten utama

Proyek Infrastruktur di Flores: Hanya Memakmurkan yang Kaya?

Tanpa menyentuh isu ketimpangan agraria, pembangunan infrastruktur sekadar mempercepat proses komodifikasi sumber daya alam dan manusia.

Proyek Infrastruktur di Flores: Hanya Memakmurkan yang Kaya?
Avatar Emilianus Yakob Sese Tolo. tirto.id/Sabit

tirto.id - Bisakah proyek-proyek infrastruktur pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla mengeluarkan warga Flores dari jerat kemiskinan? Selama tak mengurai sebab-sebab ketimpangan, proyek infrastruktur hanya membuat yang kaya makin kaya dan yang miskin tetap miskin. Termasuk di Flores.

Kepemilikan tanah di Flores dewasa ini mulai terkonsentrasi pada golongan aristokrat dan kaum bermodal. Pada 2011, misalnya, ekspedisi jurnalistik Kompas melaporkan seorang petani di kecamatan Boawae, kabupaten Nagekeo, Flores, yang hanya memiliki 0,12 hektar tanah pertanian. Untuk mempertahankan hidup keluarganya, si petani bernama Flori Seda itu harus bekerja dengan sistem bagi hasil dengan tuan tanah pada tanah pertanian seluas 0,7 hektar.

Ada banyak petani yang bernasib seperti Flori Seda di Flores, terutama di daerah persawahan seperti Mbay dan Lembor yang penetrasi kapitalnya cukup kuat jika dibandingkan dengan daerah pertanian non-persawahan di Flores. Demi bertahan hidup, mereka bekerja dalam sistem bagi hasil 6:4 atau 5:5. Sekitar 40-50% dari penghasilan harus diserahkan kepada tuan tanah. Jika para petani berlahan kecil (1/4-1/2 ha) dan tuna kisma tidak memperoleh lahan garapan dalam sistem bagi hasil—seperti yang terjadi di persawahan Mbay—maka mereka akan bekerja sebagai pekerjaan harian lepas dengan upah harian.

Namun, sejak maraknya mekanisasi pertanian di Flores terutama di tanah pertanian persawahan, banyak petani di Flores memutuskan merantau ke Malaysia sebagai buruh migran. Sebelum berangkat ke negeri jiran, para petani penggarap yang bisa digolongkan sebagai proletariat dan semi-proletariat ini memiliki tanah rata-rata 0-0,5 ha.

Pada 2013, jumlah buruh migran asal NTT (terutama Flores) di Malaysia tercatat sebanyak 75 ribu (yang berstatus ilegal) dan 32 ribu (berstatus legal). Lima tahun kemudian, jumlah TKI NTT di Malaysia meningkat menjadi sekitar 200 ribu. Tiap tahun, NTT mengirim 2.000-4.000 TKI legal dan ilegal ke Malaysia. Banyak dari mereka yang menjadi korban penyelundupan manusia.

Di luar buruh migran, tak sedikit pula massa rakyat Flores yang terlempar dari sektor agraria dan akhirnya menganggur atau bekerja pada sektor informal. Pada 2014, jumlah pengangguran di NTT sebanyak 73,2 ribu orang, yang meningkat menjadi 74,7 ribu orang di tahun 2018. Dari total 2,24 juta angkatan kerja di NTT, 78,91 persennya bekerja di sektor informal.

Di tengah ketimpangan agraria inilah proyek infrastruktur pemerintah hadir di Flores. Banyak pihak yang optimis berpendapat bahwa proyek infrastruktur Jokowi-JK mampu mengeluarkan masyarakat Flores dari kemiskinan. Namun, kemiskinan yang berakar pada ketimpangan ekonomi politik—termasuk ketimpangan agraria—rupanya mustahil diselesaikan dengan intervensi teknis semata seperti yang telah dipraktikkan dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur.

Sebaliknya, kehendak untuk memperbaiki—seperti yang dimaksudkan Tania Murray Li dalam bukunya The Will to Improve (2007)—melalui intervensi teknis pembangunan proyek infrastruktur ala Jokowi-JK di tengah ketimpangan agraria di Flores justru gagal mengatasi kesenjangan ekonomi.

Di bidang pertanian, pembangunan persawahan baru dan pemberian alat-alat pertanian (alsintan) kepada para petani di Flores malah memperumit persoalan ketimpangan agraria di pedesaan. Sebab, tidak jarang alat-alat pertanian yang diberikan itu seperti yang terjadi di Ngada, Flores, dikuasai segelintir petani kaya yang menjadi ketua dan pengurus organisasi masyarakat. Posisi kelas mereka dalam struktur produksi adalah petani kapitalis yang menguasai lahan yang sangat luas.

Para birokrat Flores yang koruptif juga cenderung memanfaatkan proyek-proyek pertanian ini untuk kepentingan kelompok dan keluarganya sendiri. Hal inilah yang menambah ketegangan dan konflik agraria baik vertikal maupun horizontal.

Selain itu, proyek infrastruktur selama pemerintahan Jokowi-JK kerap menyebabkan kasus-kasus perampasan tanah (land grabbing) di Flores. Contohnya bisa dilihat dalam kasus pembangunan bendungan Napung Gete di Maumere Flores. Pembangunan bendungan ini sempat mendapat mendapat perlawanan dari pemilik lahan. Mereka menutup akses ke bendungan yang sedang dibangun akibat ganti rugi yang dijanjikan pemerintah tak kunjung turun. Di Nagekeo, pembangunan Bendungan Lambo yang direncanakan oleh Jokowi-JK masih tersendat akibat masalah pembebasan lahan dan relokasi penduduk yang prosesnya cenderung melibatkan kekerasan aparat.

Siapa yang Diuntungkan?

Tanpa menyentuh isu ketimpangan agraria, sulit melihat pembangunan infrastruktur di Flores sebagai upaya untuk membantu mengeluarkan masyarakat Flores dari kemiskinan. Upaya ini justru sekadar mempercepat proses komodifikasi sumber daya alam dan manusia di Flores. Pasalnya, semakin membaiknya infrastruktur publik yang menghubungkan desa dan kota, orang kota berbondong-bondong berinvestasi dengan membeli tanah di desa-desa Flores.

Pembangunan infrastruktur di pedesaan di Flores tanpa perubahan relasi kepemilikan tanah di tingkat desa hanya akan menambah ketimpangan ekonomi politik setempat. Yang diuntungkan oleh peningkatan kualitas jalan adalah mereka yang menguasai aset-aset produktif, misalnya pengusaha dan tuan tanah di pedesaan.

Di sektor lain, pembangunan infrastruktur pariwisata di Flores juga berdampak pada peningkatan komodifikasi tanah dan sumber daya pariwisata lainnya. Di Labuan Bajo, misalnya, sepetak demi sepetak tanah strategis dikuasai para pemilik modal baik dari Bali, Jakarta, maupun luar negeri.

Berdasarkan data BPS September 2018, kemiskinan di NTT masih berada di atas 20%—tepatnya 21,03%—bersama tiga propinsi lainnya, yakni Papua Barat (22,6%) dan Papua (27,43%). Angka kemiskinan ini dua kali lebih tinggi dari angka kemiskinan nasional (9,66%) yang terus dibanggakan pemerintah menjelang pemilihan umum 2019.

Dilihat dari data ini, kemiskinan di NTT dalam kurun waktu hampir satu dekade (2010-2018) belum mengalami penurunan yang signifikan. Kemiskinan hanya menurun 0,2%, dari 21,23% (2010) menjadi 21,03% (2018). Pembangunan infrastruktur yang digencarkan oleh pemerintah Jokowi-JK di periode pertama tidak berdampak signifikan terhadap penurunan kemiskinan di NTT dan Flores.

Masalahnya memang pembangunan tersebut belum menyentuh persoalan ekonomi politik yang terkait dengan ketimpangan agraria. Berdasarkan data yang dirilis BPS pada Januari 2019, gini ratio di pedesaan (termasuk di di Indonesia Timur) meningkat menjadi 0,324 (2018) dari 0,320 (2017) di tengah peningkatan kucuran dana desa setiap tahun—yang umumnya dipergunakan untuk pembangunan infrastruktur desa—yakni dari Rp20,67 triliun (2015), Rp46,98 triliun (2016), Rp60 triliun (2017 dan 2018), dan Rp70 triliun (2019).

Jika nanti Jokowi meraup suara terbanyak di Flores untuk Pilpres 2019, kemungkinan pembangunan infrastruktur di Indonesia Timur tak menjadi faktor penting di balik kemenangan tersebut. Dengan mayoritas penduduk Flores yang beragama Katolik, efek maraknya politisasi agama oleh kaum Islamis pendukung Prabowo yang berhasil menjerumuskan Ahok ke penjara nampaknya akan membuat masyarakat Flores menjatuhkan pilihan politiknya ke Jokowi-Ma’ruf Amin, pasangan calon yang selama ini dipercaya lebih moderat dan ramah terhadap kelompok minoritas.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.